CATATAN SI BOB #9: Garcia adalah Balada Sedih Kota ini
Ada paradoks dalam cara sebuah kota menjual dirinya sebagai surga kreativitas, sementara di balik layar, setiap ekspresi seni harus membayar upeti pada ketakutan.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/8/4/2/842_300x206.jpg)
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
12 Februari 2025
BandungBergerak.id – Ada yang aneh dalam cara sebuah kota bernyanyi. Saya menemukan ini pada suatu magrib di sebuah kedai kopi tua di Bandung, ketika seorang perempuan bernama Garcia memainkan gitarnya. Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak-jejak air di kaca jendela, seperti tangisan yang tertahan. Di luar sana, seseorang dengan jaket organisasi sedang menghitung uang.
Saya teringat pada apa yang pernah ditulis Walter Benjamin tentang kota Paris di abad ke-19: bagaimana sebuah kota bisa menjadi panggung di mana tragedi dan komedi dimainkan secara bersamaan. Di Bandung, tragedi itu bernama "keamanan": sebuah kata yang telah kehilangan maknanya, seperti diksi “senja” yang terlalu sering dituliskan hingga maknanya menjadi kosong.
Garcia bernyanyi tentang cinta. Tapi bukankah setiap lagu cinta, pada dasarnya, adalah sebuah elegi? Seperti kota ini yang mencintai dirinya dengan cara yang salah: mengaku kreatif sambil membiarkan kreativitas diperas hingga kering, menyebut diri modern sambil memelihara praktik-praktik premanisme yang dibungkus rapi dalam nama-nama organisasi.
Di sudut kedai, seorang pria dengan badan tegap mendengarkan dengan wajah keruh. Ia adalah bagian dari apa yang oleh sosiolog sebut "ekonomi bayangan": dunia paralel di mana kekerasan dikonversi menjadi angka-angka dalam buku kas. Tapi Garcia terus bernyanyi, seolah-olah melodi adalah satu-satunya kejujuran yang tersisa di kota ini.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #6: Peter yang Menulis Tanpa Mengalami
CATATAN SI BOB #7: Bersama Mantan Pianis Klasik di Los Cihapit
CATATAN SI BOB #8: Viral Seni, Viral Sepi
Ketakutan itu Memiliki Warna
Saya terngiang ucapan Bruce Wayne dalam The Batman. Ia berkata, “Fear is a tools”, bagaimana rasa takut bisa menjadi alat untuk mengatur masyarakat. Di Bandung, ketakutan itu memiliki warna seragam dan nomor rekening. Ia hadir dalam bentuk "sumbangan keamanan", "dana pembinaan", "biaya perlindungan": eufemisme yang membuat pemerasan terdengar hampir mulia.
Suara Garcia lembut, hampir seperti bisikan. Tapi bukankah bisikan, seperti yang dikatakan penyair Sapardi, kadang bisa lebih tajam dari teriakan? Ia menyanyikan balada tentang sepasang kekasih yang bertemu di taman kota, tapi siapa pun yang mendengar tahu bahwa ini adalah metafora: tentang pertemuan antara kekuasaan dan kepatuhan, antara ancaman dan ketakutan.
Pos-pos polisi berdiri seperti patung-patung di sudut kota: ada tapi tak hadir, melihat tapi tak menyaksikan. Sementara itu, roda-roda motor para pemungut upeti terus berputar, menggilasi apa yang tersisa dari mimpi tentang kota yang benar-benar merdeka. Garcia mengubah semua ini menjadi melodi, menjadikan kesedihan sebagai bentuk perlawanan yang paling murni.
"Mengapa tidak menyanyikan lagu yang lebih ceria?" tanya seseorang. Garcia tersenyum. Ada yang lebih menyedihkan dari kesedihan: kepura-puraan bahwa semua baik-baik saja. Seperti spanduk-spanduk "kota kreatif" yang berkibar di jalan-jalan, sementara di bawahnya, seniman jalanan menghitung sisa penghasilan yang belum diperas.
Ada paradoks dalam cara sebuah kota menjual dirinya sebagai surga kreativitas, sementara di balik layar, setiap ekspresi seni harus membayar upeti pada ketakutan. Mungkin inilah yang dimaksud Goenawan Mohamad ketika menulis tentang "kemunafikan yang telah menjadi kebudayaan": bagaimana kita telah belajar untuk hidup dengan kontradiksi, untuk menormalisasi yang abnormal.
Malam ini Garcia akan bernyanyi lagi. Ia akan memainkan gitarnya dan memetik balada-balada sedih tentang cinta. Tapi dalam setiap notnya, kita akan mendengar kisah yang lebih besar: tentang sebuah kota yang telah lupa caranya melawan, tentang aparat yang telah lupa caranya menjaga, tentang warga yang telah lupa bahwa ketakutan bukanlah harga yang wajar untuk sebuah keamanan. Dan sementara ia bernyanyi, hujan turun lagi di luar sana, seperti tangisan yang akhirnya berani keluar.
11/02/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik