CATATAN SI BOB #8: Viral Seni, Viral Sepi
Di tengah dunia yang terobsesi dengan keterlihatan, seni sedang melakukan sesuatu yang sudah lama hilang dari budaya kita yakni keberanian untuk tidak terlihat.
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
29 Januari 2025
BandungBergerak.id – Di sebuah museum yang sepi, saya pernah melihat sebuah instalasi: ribuan cermin kecil bergerak mengikuti algoritma, memantulkan satu titik cahaya menjadi ribuan konstelasi. Pengunjung lain sibuk memotret, tapi seorang kakek justru diam mengamati. "Seperti manusia zaman sekarang ya," katanya pelan, "satu kesedihan dipecah jadi ribuan tontonan." Saya teringat kalimat ini ketika pertama kali mendengar Seni bernyanyi.
Di kamarnya yang sempit di lantai tiga sebuah kos-kosan di Dago, suara Seni mengalir bersama petikan gitar usang. Tidak ada yang istimewa dalam lagu patah hati yang ia tulis jam tiga pagi itu. Hanya kejujuran seorang anak muda tentang cinta yang gagal. Tapi algoritma, seperti dewa-dewa dalam naskah kuno, punya cara sendiri untuk mengubah air mata menjadi hujan meteor.
Dalam babak-babak awal tragedi Yunani, tokoh utama sering tidak menyadari bahwa ia sedang melangkah ke dalam labirin takdirnya sendiri. Seni pun begitu. Ia tak tahu bahwa rekaman sederhananya akan memantul dari satu layar ke layer lain, menciptakan ribuan Narcissus digital yang masing-masing mengklaim versi Seni mereka sebagai yang paling otentik.
Di dekat Perpustakaan Daerah, di sudut yang jarang dikunjungi, ada seorang pengamen yang hampir setiap sore memainkan kecapi. "Tidak ada yang populer dari petikan kecapi," katanya suatu hari sambil tersenyum, "tapi setiap nadanya mengandung kesedihan yang sama sejak zaman Kerajaan Pajajaran." Mungkin inilah yang hilang dari musik Seni setelah ia viral: keberanian untuk membiarkan kesedihannya tetap sedih.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #5: Tentang Panggung Ketiga
CATATAN SI BOB #6: Peter yang Menulis Tanpa Mengalami
CATATAN SI BOB #7: Bersama Mantan Pianis Klasik di Los Cihapit
Kerinduan pada Seni yang Dulu
Saya mengamati bagaimana Seni mulai bernyanyi dengan cara berbeda. Seperti pembaca berita yang takut salah mengucap nama presiden. Ada yang hilang dalam suaranya: sesuatu yang tak bisa dinamai tapi bisa dirasakan, seperti aroma kopi Puntang yang tak bisa difoto. Bukankah ini paradoks terbesar era digital: bagaimana ketakutan untuk hilang justru membuat kita kehilangan diri sendiri?
Di sebuah kafe di Braga, Seni membawakan lagu viralnya untuk ke sekian kali. Tepuk tangan penonton terdengar seperti hujan buatan: terlalu teratur, terlalu bisa diprediksi. "Lagu ini yang membuat saya ada," katanya di akhir pertunjukan. Saya teringat pada naskah-naskah Sophocles, bagaimana para tokohnya sering mengucapkan kalimat-kalimat yang tanpa mereka sadari adalah ramalan tentang ketiadaan mereka sendiri.
Yang aneh adalah bagaimana zaman ini menciptakan nostalgia instan. Orang-orang mulai merindukan "Seni yang dulu", seolah ada Seni lain yang hidup di masa lalu yang jauh, padahal viralnya baru kemarin sore. Barangkali inilah bentuk baru dari apa yang disebut para filsuf Yunani sebagai pharmakon: sesuatu yang menjadi obat sekaligus racun.
Suatu malam, di tengah gerimis khas Bandung, saya mendengar suara gitar dari kamar Seni. Tidak ada yang merekam, tidak ada yang mendengar selain tembok dan udara malam. Untuk pertama kalinya sejak ia viral, musiknya terdengar seperti musik lagi: bukan seperti pantulan dari pantulan dari pantulan. Sementara di media sosial, orang-orang mulai mencari-cari Seni. Hashtag #WhereisSeni menjadi trending.
Mereka tak tahu bahwa Seni sedang melakukan sesuatu yang sudah lama hilang dari budaya kita: keberanian untuk tidak terlihat. Di tengah dunia yang terobsesi dengan keterlihatan, mungkin ini adalah bentuk pencapaian sesungguhnya: memilih untuk menjadi bayangan. Seperti kunang-kunang di Tahura yang hanya bisa kita lihat cahayanya ketika kita berhenti mencoba menangkapnya.
28/01/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik