CATATAN SI BOB #7: Bersama Mantan Pianis Klasik di Los Cihapit
Mungkin inilah ironi terbesar generasi kita: di tengah konektivitas yang tak terbatas, kita justru kehilangan koneksi paling esensial.
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
22 Januari 2025
BandungBergerak.id – Ada yang aneh dalam cara Inggrid memandang ponselnya saat kami bertemu di Los Cihapit. Petang itu, layar ponselnya berkedip-kedip dengan notifikasi tak henti. "Lima juta streaming dalam seminggu!" katanya, suaranya bergetar antara bangga dan gamang. Matanya berbinar, tapi ada kekosongan di sana, seperti cermin yang memantulkan terlalu banyak cahaya hingga kehilangan fungsinya: memantulkan bayangan.
Sekitar delapan bulan lalu, di studionya di Dago Resort, piano tua warisan ibunya masih berdiri dengan keangkuhan klasiknya. Dulu, sebelum era streaming, setiap tuts piano itu adalah portal menuju dunia yang tak terbatas. Kini, seperti yang sering saya lihat dalam video-video TikTok-nya, piano itu hanya properti yang bersaing dengan ring light dan tripod: saksi bisu dari pergeseran makna musikal yang tak terelakkan.
"Engagement rate-mu turun drastis bulan ini," kata manajernya tadi pagi, begitu Inggrid bercerita sambil mengaduk kopi yang dingin. "Kita perlu konten yang lebih catchy." Ia tertawa getir. "Dan aku hanya bisa mengangguk," katanya, jemarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk meja seperti sedang memainkan piano imajiner, "seolah 'catchy' adalah resep yang bisa menyembuhkan semua penyakit musik modern."
Inggrid yang sekarang adalah produk dari ritual pagi yang berbeda: cek analytics, baca komentar, ukur engagement. Dashboard di ponselnya menunjukkan grafik dan angka yang rumit. "Lihat, ini conversion rate-ku minggu lalu," jelasnya dengan keahlian seorang analis data. Ada ironi yang menyesakkan: dulu ia menghabiskan pagi dengan membedah sonata, kini dengan menganalisis metadata.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #4: Hujan, Metafora, dan Kerang yang Kosong
CATATAN SI BOB #5: Tentang Panggung Ketiga
CATATAN SI BOB #6: Peter yang Menulis Tanpa Mengalami
Era Playlist Viral
Dari laptop terbarunya, mengalir lagu-lagu yang sedang trending: produk sempurna dari pabrik konten yang beroperasi 24/7. Auto-tune adalah make-up digital mereka, views adalah nilai jual mereka. "Ini yang orang mau sekarang," katanya, nadanya seperti dokter yang membacakan diagnosa. Dingin dan datar. Inggrid, dengan segala kompleksitas musikalnya, kini harus berenang di kolam yang dangkal ini.
"Kamu masih ingat Martha Argerich?" tanyanya tiba-tiba, jemarinya kini benar-benar memainkan Chopin di udara kosong. "Dulu aku ingin seperti dia." Ada jeda yang Panjang disusul helaan napas sebelum ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Tapi siapa yang masih peduli dengan pianis klasik di era playlist viral?"
Sebelum pertemuan ini, saya menelusuri jejak digital Inggrid yang lama: video-video awalnya yang masih tersimpan di sudut YouTube. Dia, pianonya, dan kejujuran yang kini menjadi barang langka. View-nya kecil, tapi komentar-komentarnya dalam. "Ini yang membuatku jatuh cinta dengan musik," tulis seseorang. Inggrid tak pernah membalas, terlalu perih untuk mengakui bahwa ia pun merindukan dirinya yang lama.
"Masih ingat tidak?" tanyanya, matanya menerawang ke luar jendela. "Dulu aku bisa berlatih piano lima jam sehari tanpa peduli siapa yang mendengar." Ia bercerita tentang masa ketika musiknya murni lahir dari panggilan jiwa, ketika setiap harmoni adalah pencarian akan kebenaran, bukan soal aritmatika.
Era Baru, Monetisasi
Di era ini, monetisasi adalah dewa baru yang haus persembahan. Setiap nada harus membawa return of investment-nya sendiri. Melodi yang tak menghasilkan uang adalah melodi yang tak layak dimainkan. Dan Inggrid, seperti banyak seniman sejenis lainnya, terperangkap dalam logika pasar itu.
Ponselnya berdering lagi: notifikasi tentang sepuluh juta streaming. Tangannya gemetar menuang kopi yang baru, entah karena kafein atau karena beban angka-angka itu. "Aneh ya," bisiknya, "semakin banyak yang mendengar, semakin sepi rasanya."
Mungkin inilah ironi terbesar generasi kita: di tengah konektivitas yang tak terbatas, kita justru kehilangan koneksi paling esensial. Dalam temaram Los Cihapit, Inggrid menatap keluar jendela, ke arah gerimis yang perlahan turun. Untuk sesaat, saya melihat dalam matanya bayangan gadis kecil yang dulu memainkan Für Elise.
Di era di mana autentisitas diperjualbelikan dan ketulusan diukur dengan metrics, mungkin mempertahankan kemurnian adalah bentuk pemberontakan yang paling berani.
11/01/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik