CATATAN SI BOB #4: Hujan, Metafora, dan Kerang yang Kosong
Seamus teringat bagaimana dulu musik indie adalah tentang mencari suara sendiri, bukan tentang meniru suara orang lain yang sedang meniru suara orang lain lagi.
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
11 Desember 2024
BandungBergerak.id – Seamus menatap hujan dari jendela kafe, di daerah Dago. Suaranya stabil dan ritmis, seperti metronom alam yang mengatur tempo kota. Tidak ada gonggongan di sana –tidak pernah ada. Di playlist yang sedang berputar, seorang penyanyi dengan menggemaskan, bernyanyi: "Ia menggonggong bak suara hujan." Seamus mendengus. Lima tahun sejak ia meninggalkan bangku kuliah sastra, dan kini metafora pun telah kehilangan akal sehatnya di tangan generasi yang terlalu percaya diri.
Ada yang aneh dengan skena indie hari ini. Mereka yang dulu mendaku memberontak terhadap industri musik mainstream, kini justru menciptakan industrinya sendiri –sebuah pabrik kata-kata yang memproduksi metafora secara massal. Seperti pantai yang dipenuhi pemungut kerang, mereka berlarian mengumpulkan kata-kata yang berkilau, tak peduli cangkang-cangkang itu kosong. Roland Barthes mungkin akan terheran-heran: kematian pengarang yang ia konsepkan telah berevolusi menjadi sesuatu yang lebih mengerikan –kematian bahasa itu sendiri.
Di kafe-kafe Bandung yang semakin ramai dengan para pencari makna, Seamus mendengar bagaimana kata-kata diperdagangkan seperti kerang-kerang plastik made in China. "Senja membakar tubuhku menjadi abu, hitam mengendap di dalam paru-paru." Jika tubuh sudah menjadi abu, dari mana datangnya paru-paru? Di sudut lain kota ini, Chairil Anwar pernah menulis "Aku ini binatang jalang" –metafora yang menggigit karena kesederhanaan dan ketepatan maknanya.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #1: Ketika Seorang Setengah Aktivis Setengah Religius Ingin Bikin Lagu yang Bagus
CATATAN SI BOB #2: Sebulan Setelah Sarjana Sastra Wisuda
CATATAN SI BOB #3: Dari Reguleran ke Idealisme
Cangkang Kosong
Metafora, dalam keindahannya yang sejati, adalah jembatan pemahaman –bukan tembok penghalang makna. Ketika Goenawan Mohamad menulis "Di Kota ini, Kata Orang, Gerimis Telah Menjadi Logam", ia tidak sekadar menumpuk kata-kata. Ia menangkap dengan tepat bagaimana modernitas membuat kita kehilangan sesuatu yang esensial. Metafora yang berhasil selalu membuat kita tersentak: "Ah, jadi begitu rupanya."
Di era digital ini, di mana setiap orang berlomba menjadi pemuisi, atau setidaknya pencetak quotes bijak, metafora telah kehilangan tajinya. Para pemungut kerang tidak peduli bahwa anjing dan hujan punya karakter suara yang bertolak belakang. Tidak penting bahwa abu tidak mungkin punya paru-paru. Yang penting adalah tampak dalam –seolah puisi adalah soal membuat yang biasa menjadi tidak biasa, yang masuk akal menjadi tidak masuk akal.
Di feed Instagram-nya yang penuh dengan foto-foto musisi berpose serius dengan gitar, kata "eksperimental" telah menjelma menjadi pembenaran untuk mengumpulkan cangkang-cangkang kata kosong. Para kritikus musik –jika mereka masih layak disebut kritikus– seakan membiarkan kebiasaan ini. Setiap cangkang kosong disebut avant-garde, seolah kebingungan adalah bukti pencapaian artistik. Mereka lupa bahwa kerang yang benar-benar berisi mutiara tidak perlu berteriak tentang isinya. Seperti kata Nietzsche: "Mereka yang paling dalam tidak takut terlihat dangkal."
Di antara tumpukan kerang kosong itu, Seamus menemukan beberapa yang masih berisi kehidupan. Bernadya bernyanyi: "11.000 kilometer kutempuh sendirian, bawa pelukku yang ternyata tak kaurindukan." Presisi yang menusuk –tanpa perlu mengumpulkan kilauan kata dan menumpuk metafora. Kejujuran yang mengingatkannya pada Sapardi menulis "Hujan Bulan Juni" –sederhana namun menggetarkan.
Hujan masih membasuh pekarangan kafe. Seamus teringat bagaimana dulu musik indie adalah tentang mencari suara sendiri, bukan tentang meniru suara orang lain yang sedang meniru suara orang lain lagi. Ia membuka aplikasi note di ponselnya. Ada lirik yang ingin ia tulis, kali ini tanpa perlu berlari ke pantai metafora atau memunguti kerang-kerang yang sekadar berkilau.
Mungkin begitulah caranya menyelamatkan bahasa: dengan memahami bahwa mutiara yang sejati tidak perlu berpura-pura menjadi mutiara.
10/12/2024
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik