• Kolom
  • CATATAN SI BOB #3: Dari Reguleran ke Idealisme

CATATAN SI BOB #3: Dari Reguleran ke Idealisme

Kapitalisme telah menciptakan dikotomi palsu: sukses dengan musik karya sendiri, atau selamat dengan menghibur orang lain. Seolah tak ada ruang di antara keduanya.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Penampilan kolaborasi antara Adew Habsta dan Denny Darko dengan JBI yang menerjemahkan musik bagi teman-teman tuli, Minggu, 05 Mei 2024. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak.id)

6 Desember 2024


BandungBergerak.id – Theodor Adorno pernah menulis bahwa musik populer adalah bentuk komodifikasi seni yang membuat pendengar menjadi konsumen pasif. Tapi ia lupa satu hal: bahwa di balik setiap lagu pop yang diulang-ulang, ada musisi yang bermimpi menciptakan resonansinya sendiri.

Setiap malam di sudut-sudut kota, para musisi reguler menyanyikan "Perfect" Ed Sheeran untuk ke sekian kali. Di gawai mereka tersimpan demo-demo yang menunggu waktu lahir. Mereka mahir, tentu. Tapi kemahiran itu adalah topeng yang mereka kenakan sambil diam-diam merangkai melodi sendiri.

Scene independen bergerak dalam orbit yang berbeda. Di panggung Mosi Balada, Adew Habtsa baru saja menggaungkan karya-karyanya. Sore masih setia dengan sound yang mereka yakini di Jajarans Festival. Mereka yang berhasil adalah mereka yang tak berkompromi, begitu narasi yang kita percayai.

The Beatles bermain 12 jam sehari di Hamburg sebelum menciptakan "Yesterday". Ahmad Dhani menghabiskan malamnya di pub-pub Surabaya sebelum melahirkan "Kangen". Sejarah selalu punya cara untuk menertawakan arogansi kita tentang 'kemurnian' berkarya.

Masalahnya bukan soal pilihan menjadi musisi reguler. Masalahnya adalah sistem yang membuat para pemusik tak punya pilihan lain. Kapitalisme telah menciptakan dikotomi palsu: sukses dengan karya sendiri atau selamat dengan menghibur orang lain. Seolah tak ada ruang di antara keduanya.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #1: Ketika Seorang Setengah Aktivis Setengah Religius Ingin Bikin Lagu yang Bagus
CATATAN SI BOB #2: Sebulan Setelah Sarjana Sastra Wisuda

Ketika Idealisme harus Bertemu Realitas.

Scene indie, dengan segala romantisisme yang ia pelihara, kadang lupa bahwa tidak semua musisi dilahirkan dengan modal sosial yang sama. Ada yang harus menghidupi keluarga, ada yang harus membayar utang. Reguleran bukan sekadar pilihan –ia adalah jalan yang tersisa ketika idealisme harus bertemu realitas.

Ada ironi yang lebih dalam: justru di panggung-panggung reguler inilah, banyak musisi mengasah kemampuan mereka hingga titanium. Improvisasi, adaptasi, kemampuan membaca crowd –bukankah ini juga bentuk kesenian yang Adorno abaikan? Mungkin inilah yang luput dari perdebatan indie versus reguleran: bahwa keduanya adalah wajah berbeda dari pencarian yang sama.

Di sebuah kontrakan, di pinggiran Kota Bandung, seorang gitaris menutup laptopnya setelah merekam demo. Besok ia akan kembali menyanyikan lagu-lagu orang lain. Tapi malam ini, di depan meja kerja yang sunyi, ia adalah pencipta –seperti Kurt Cobain yang dulu menyimpan mimpinya di antara sapuan pel dan ember.

Mungkin inilah paradoks bermusik di era kontemporer: sebuah tarian rumit antara idealisme dan realitas. Bukan soal memilih satu dan membuang yang lain, tapi bagaimana bergerak di antara keduanya tanpa kehilangan jiwa.

Di titik ini, perdebatan tentang "kemurnian berkarya" menjadi tak relevan. Yang tersisa hanyalah musisi, karyanya, dan zaman yang terus berubah. 

Reguleran atau indie, keduanya adalah spektrum yang sama dalam upaya manusia menghadirkan musik ke dunia –sebuah dunia yang, seperti kata Adorno, mungkin memang telah terkomodifikasi, tapi tak pernah sepenuhnya bisa membunuh mimpi.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//