• Kolom
  • CATATAN SI BOB #1: Ketika Seorang Setengah Aktivis Setengah Religius Ingin Bikin Lagu yang Bagus

CATATAN SI BOB #1: Ketika Seorang Setengah Aktivis Setengah Religius Ingin Bikin Lagu yang Bagus

Lagu yang bagus bukanlah yang paling lantang menyuarakan kritik atau yang paling merdu melantunkan pujian.

Bob Anwar

Musisi Bandung

Festival musik di Dago Elos, Bandung, Selasa, 15 Oktober 2024 merayakan kemenangan atas vonis bersalah keluarga Muller oleh pengadilan. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

19 November 2024


BandungBergerak.id – Di sebuah kedai kopi di Jalan Braga, seorang pemuda duduk gelisah. Di hadapannya, sebuah buku catatan terbuka, penuh coretan lirik yang setengah jadi. Ia ingin menulis lagu, katanya. Lagu yang bagus. Tapi apa sebenarnya yang ia tulis? Sebuah manifesto atau sebuah doa? Sementara di kejauhan, di sudut-sudut gelap Kiaracondong, remaja-remaja putus sekolah bergumul dengan nasib, dan Tom sibuk mencari nada untuk kata "perubahan".

Pemuda ini, sebut saja Tom, adalah potret generasi Bandung hari ini. Setengah aktivis, peduli pada masalah sosial, geram pada ketidakadilan. Setengah religius, mencari makna, merindukan ketenangan spiritual. Dan kini ia ingin menulis lagu. Lagu yang bagus, katanya. Tapi apa itu lagu yang bagus? Di luar, Bandung berkembang tidak merata: pusat kota yang gemerlap kontras dengan pinggiran yang masih tertinggal.

Goenawan Mohamad pernah menulis, "Kita hidup dari paradoks ke paradoks." Mungkin Tom juga sedang hidup dalam paradoks. Ingin berteriak lantang tentang keadilan sosial, tapi juga ingin berbisik lembut tentang cinta Ilahi. Ingin menggerakkan massa dengan semangat perlawanan, tapi juga ingin menenangkan jiwa dengan zikir personal. Bandung sendiri adalah paradoks: kota kreatif yang tenggelam dalam kemacetan, sementara anak-anak di pinggiran rel masih berjuang untuk sesuap nasi.

Lalu Tom teringat tren musik Bandung saat ini. Folk religius sedang naik daun, dipopulerkan oleh band-band indie yang kerap manggung di Pasar Cikapundung. Kritik sosial dalam balutan melodi manis juga laku keras, seperti yang sering dibawakan di tempat nongkrong anak muda. Haruskah ia mengikuti arus ini? Bukankah ini kesempatan sempurna untuk menyalurkan dua sisi dirinya?

Tapi tunggu. Bukankah musik, pada hakikatnya, adalah ekspresi jiwa yang paling jujur? Lantas, di mana kejujuran ketika seseorang memaksakan diri menjadi aktivis dalam satu bait, lalu beralih menjadi pendakwah di bait berikutnya? Bandung, dengan jutaan penduduknya, menyimpan jutaan cerita yang mungkin lebih layak dituangkan dalam lagu.

Baca Juga: Agar Musik Klasik Indonesia tak Terpinggirkan
Untungnya Musik Universal, Akmal Mungkin Tidak Menyadarinya
Musik dari Orang-orang Muda Bandung Membela Dago Elos

Kejujuran dalam Bermusik

Tom teringat Efek Rumah Kaca. Bagaimana band itu, di awal kemunculannya, berani membawakan lagu-lagu yang tidak mengikuti arus utama. "Melankolia" berbicara tentang keresahan jiwa tanpa pretense, tanpa keinginan untuk terlihat aktivis atau religius. Mereka hanya jujur, dan justru kejujuran itulah yang membuat musik mereka bertahan, bahkan di tengah gempuran musik pop yang mendominasi radio-radio Bandung kala itu.

Maka Tom, dan mungkin juga kita, perlu bertanya: Ketika kita menulis lagu, apakah kita sedang berkarya atau sedang berkampanye? Apakah kita sedang mengekspresikan diri atau sedang membangun citra? Bandung, dengan puluhan kampusnya, mungkin bisa menjawab. Tapi apakah jawaban itu akan sama di gang-gang sempit Cibaduyut, di mana anak-anak pekerja sepatu berjuang mengejar mimpi?

Kejujuran dalam bermusik bukan berarti harus memilih menjadi aktivis atau religius. Kejujuran adalah keberanian untuk mengakui bahwa kita, sebagai manusia, adalah makhluk yang kompleks. Bahwa kita bisa peduli pada masalah sosial sekaligus merindukan kedamaian spiritual. Bahwa kita bisa marah pada ketidakadilan sekaligus bersyukur atas keindahan hidup. Bandung, dengan beragam wajahnya, adalah mozaik kompleksitas manusia.

Jadi Tom, jika kau ingin menulis lagu yang bagus, mulailah dengan kejujuran. Tulislah tentang pergulatan batinmu sebagai seorang yang setengah aktivis setengah religius. Nyanyikan tentang dilemamu, keraguanmu, dan harapanmu. Biarkan lagumu menjadi cermin jiwamu yang kompleks, bukan sekadar corong ideologi atau dakwah. Mungkin inspirasi itu ada di antara hiruk-pikuk Kota Kembang yang tak pernah lelap.

Karena pada akhirnya, lagu yang bagus bukanlah yang paling lantang menyuarakan kritik atau yang paling merdu melantunkan pujian. Lagu yang bagus adalah yang paling jujur menggambarkan kegalauan dan keindahan menjadi manusia. Dan mungkin, dalam kejujuran itulah, pesan aktivisme dan spiritualmu akan jauh lebih mengena. Seperti Bandung, yang mungkin tidak sempurna, tapi selalu memiliki cara untuk membuat kita merenung tentang apa artinya menjadi manusia.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//