CATATAN SI BOB #2: Sebulan Setelah Sarjana Sastra Wisuda
Mungkin setiap generasi perlu menemukan sendiri bahwa cinta pada sastra tidak otomatis bisa membayar tagihan listrik.
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
26 November 2024
BandungBergerak.id – Beberapa hari setelah wisuda, Pablo, seorang sarjana sastra, duduk di sebuah kedai kopi tua di Jalan Alkateri. Ia menulis surat lamaran untuk posisi content writer. Di hadapannya, sebuah halaman web meminta "minimal 2 tahun pengalaman SEO dan pemahaman Google Analytics". Masih segar dalam ingatan bagaimana ia menulis analisis tentang strukturalisme genetik dalam Bumi Manusia. Tidak, ia tak yakin Goldmann punya definisi tentang SEO.
Di mejanya, secangkir kopi tubruk mendingin. Pablo menatap keluar jendela, ke sebuah poster yang terpasang sembarang di tembok seberang: "Dicari: social media manager dengan kemampuan membuat konten viral". Ia tersenyum getir. Empat tahun mengkaji Chairil Anwar dan Pramoedya tidak mengajarinya bagaimana membuat sesuatu menjadi viral. Kecuali mungkin, virus kesepian dalam "Aku" atau wabah penderitaan dalam "Bukan Pasar Malam".
Pagi tadi ia mampir ke kampus, ke ruang seminar tempat ia dulu belajar teori Lotman tentang semiotika budaya. Sepi. Hanya ada seorang dosen muda yang sedang membereskan makalah. "Sedang apa?" tanya Pablo. "Menulis artikel tentang bagaimana media sosial menggerus minat baca sastra," jawab sang dosen sambil tersenyum. Pablo ingin mengatakan sesuatu tentang Sapardi yang viral di Instagram, tapi ia diam saja.
Baca Juga: Perkara Sastra di Ruang Pendidikan Kita
CATATAN SI BOB #1: Ketika Seorang Setengah Aktivis Setengah Religius Ingin Bikin Lagu yang Bagus
Sastra tidak Mati
Di perpustakaan yang tak berubah –masih dengan aroma kertas tua dan debu yang sama– ia membuka-buka lagi skripsinya. Di layar ponselnya, notifikasi LinkedIn memberitahu bahwa lamarannya untuk posisi copy writer ditolak lagi. Derrida pernah bilang bahwa makna selalu tertunda. Pablo kini paham: begitu juga dengan gaji pertama.
"Kamu terlalu banyak berpikir," kata Stacy, teman seangkatannya yang kini bekerja sebagai digital marketing. "Coba lihat caption yang kubuat: 'Kalau Hamlet ragu-ragu, kamu jangan. Beli sekarang, diskon tinggal 2 jam lagi!'" Pablo tertawa. Ia teringat bagaimana dulu mereka berdebat tentang dilema eksistensial dalam "to be or not to be".
Yang menarik, di antara teman-teman seangkatannya, Elvira justru menemukan cara sendiri. Ia membuat podcast sastra yang menjelaskan Pramoedya dengan referensi Marvel dan Netflix. "Tetralogi Buru itu seperti Avengers," katanya, "tapi dengan kolonialisme sebagai Thanos." Pablo mengakui: ia tak pernah terpikir untuk menjelaskan Minke seperti itu.
Di kantin fakultas, Pablo mendengar mahasiswa baru berdiskusi tentang masa depan. "Yang penting passion," kata salah seorang. Pablo ingin mengatakan bahwa passion tak bisa dimakan, tapi ia ingat bagaimana dulu ia juga pernah semuda dan seyakin itu. Mungkin setiap generasi perlu menemukan sendiri bahwa cinta pada sastra tidak otomatis bisa membayar tagihan listrik.
Pablo akhirnya mengirim surat lamarannya. Dalam attachment, ia sertakan blog pribadinya - tempat ia menulis ulasan film dengan analisis Barthes dan meme dari Twitter. Mungkin ini caranya berdamai: membawa Barthes ke zaman algoritma, atau sebaliknya. Seperti kata Borges, setiap pembacaan adalah penulisan ulang.
Magrib bergema. Pablo membereskan laptopnya. Beberapa langkah kemudian, seorang penyair tua membacakan puisinya, di depan Gedung Asia-Afrika. Tak ada yang mendengarkan –semua sibuk dengan ponsel masing-masing. Pablo teringat kata dosennya dulu: "Sastra tidak mati, ia hanya bermetamorfosis." Mungkin tugasnya sekarang adalah menjadi saksi metamorfosis itu, sambil pelan-pelan belajar bahasa baru yang tak pernah ia pelajari di kelas.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang sastra