CATATAN SI BOB #5: Tentang Panggung Ketiga
Ketika kualitas diukur dari ukuran "font" di poster, ketika eksistensi bergantung pada jumlah "instastory", musik hanyalah formalitas.
Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
19 Desember 2024
BandungBergerak.id – Michelle berdiri di ujung panggung ketiga, jauh dari gemuruh main stage. Pukul dua siang. Matahari tepat di atas kepala. Penonton masih sibuk mengantre merchandise artis utama. Nanti, di Instagram story-nya, ia akan menulis dengan bangga: "Catch us at (nama festival)!" –seolah tampil di siang bolong, dengan para penonton yang sibuk swafoto, adalah sebuah legitimasi.
Di grup WhatsApp band indie, foto perform di festival telah menjadi mata uang baru. Musisi berlomba-lomba memamerkan di mana mereka tampil, dengan siapa mereka berbagi panggung. Michelle memandangi gitarnya yang basah oleh keringat. Dulu ia menulis lagu tentang kesepian dengan jujur. Kini, lagu-lagu itu hanya menjadi background noise bagi para pemburu konten.
FOMO –fear of missing out– adalah agama baru. Mereka rela tampil kapan saja, di mana saja, dengan bayaran berapa pun. Yang penting ada bukti bahwa mereka "ada". Michelle baru saja menerima tawaran main di festival lain –pukul sebelas pagi, di panggung yang lebih kecil lagi. Ia akan menerimanya, tentu saja.
Festival musik hari ini adalah pasar raya validasi. Band-band kecil menggadaikan harga dirinya demi bisa masuk lineup, meski hanya sebagai pengisi waktu saat penonton masih berkemas dari rumah. Di Instagram, nama band tercetak paling kecil di bagian bawah poster adalah bukti eksistensi yang ironis.
Michelle mengamati teman-teman satu scene-nya. Tidak ada yang bertanya lagi tentang esensi musik, tentang kejujuran berkarya. Algoritma hanya peduli pada engagement, dan engagement hanya peduli pada yang tampak keren.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #2: Sebulan Setelah Sarjana Sastra Wisuda
CATATAN SI BOB #3: Dari Reguleran ke Idealisme
CATATAN SI BOB #4: Hujan, Metafora, dan Kerang yang Kosong
Eksistensi Musik Indie?
Seorang penonton meminta foto bersama –bukan karena ia mengenal musiknya, tapi karena "keren kan foto sama yang habis manggung”. Michelle tersenyum. Inilah validasi era digital: sesingkat durasi sebuah Instagram story.
Selepas perform, di backstage yang sepi, Michelle menatap ponselnya. Notifikasi tag foto membanjir - kebanyakan dari orang yang bahkan tak mendengarkan musiknya. Dulu musik indie adalah soal kejujuran berkarya. Kini, kejujuran itu sendiri telah menjadi barang mewah.
Di parkiran festival, Michelle berpapasan dengan band senior yang dulu ia kagumi. Mereka baru selesai main di panggung kedua –sebuah 'upgrade' dari tahun lalu. "Next year main stage," kata vokalisnya bangga. Tidak ada yang membahas musik. Tidak ada yang peduli musik.
Mungkin begini caranya musik indie mati: bukan karena kalah dengan musik mainstream, tapi karena terlalu sibuk berswafoto di depan backdrop festival. Ketika kualitas diukur dari ukuran font di poster, ketika eksistensi bergantung pada jumlah instastory, musik hanyalah formalitas –sebuah alasan untuk menulis "living the dream" di caption. Dan Michelle, di panggung ketiganya yang panas dan sepi, adalah bagian dari mimpi kosong itu.
"Sebutkan segala penjara dan itu adalah aku," tulis AS Dharta, menolak segala kedangkalan berpikir. Hari ini, di panggung ketiga yang terik, Michelle dan kaumnya justru berlomba-lomba masuk ke dalam penjara validasi. Membangun sel-sel dari likes dan views. Bermusik bukan lagi untuk membebaskan diri, tapi untuk membuktikan diri –bahkan jika bukti itu hanya berupa foto di bawah matahari yang menertawakan.
18/12/2024
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik