• Kolom
  • CATATAN SI BOB #6: Peter yang Menulis Tanpa Mengalami

CATATAN SI BOB #6: Peter yang Menulis Tanpa Mengalami

Peter masih menulis. Tentang hutan yang tak pernah ia kunjungi. Tentang sungai yang tak pernah ia selami. Tentang penderitaan yang tak pernah ia rasakan.

Bob Anwar

Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]

Ilustrasi. Jalan Braga, salah satu tempat di Bandung yang memiliki kedai-kedai kopi, 11 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

7 Januari 2025


BandungBergerak.id – Peter duduk di sudut kedai kopi Dago Pakar. Gitarnya bersandar pada dinding kaca. Ia sedang menulis lagu tentang hutan yang terbakar di Kalimantan. Asap mengepul dari cangkir kopinya - seharga setengah hari upah buruh tani. Di bawah sana, Bandung berkedip-kedip seperti konstelasi palsu.

Dulu, para penyair menulis: "lalang, belantara/rimba dan kelam/adalah batas antara/aku dan suram." Mereka mengenal lalang yang memotong kulit. Mereka pernah tersesat di hutan. Mereka tahu bagaimana rasanya takut pada kelam yang benar-benar kelam. Peter tidak. Ia hanya tahu hashtag #SaveKalimantan.

Tubuh, kata Merleau-Ponty, adalah cara pertama kita mengenal dunia. Tapi tubuh Peter tak pernah benar-benar mengalami. Ia mengenal hujan dari balik kaca kedai kopi. Ia mencium asap kebakaran hutan dari notifikasi ponsel. Ia menyaksikan banjir bandang melalui Instagram Story. Begitu banyak lapisan antara dia dan dunia yang ia tuliskan.

Mungkin sekitar tahun 2000-an, seniman urban masih punya ingatan tentang sawah yang berubah jadi mal. Mereka masih ingat rasa lumpur di kaki. Peter tidak punya memori seperti itu. Yang ia miliki hanyalah gambar-gambar dari media sosial. Statistik dari LSM lingkungan. Video-video kampanye. Semuanya berjarak, seperti kota di bawah kakinya –terlalu jauh untuk benar-benar nyata.

Baca Juga: CATATAN SI BOB #3: Dari Reguleran ke Idealisme
CATATAN SI BOB #4: Hujan, Metafora, dan Kerang yang Kosong
CATATAN SI BOB #5: Tentang Panggung Ketiga

Jurang yang Memisahkan

Inilah ironi yang jarang kita sadari: semakin tinggi kita membangun kedai-kedai kopi, semakin dalam jurang yang memisahkan kita dari tanah yang kita pijak. Semakin keras kita berteriak tentang krisis lingkungan, semakin tebal dinding kaca yang memisahkan kita dari apa yang kita perjuangkan. Kita barangkali generasi yang suka berbicara tentang "ground zero" sambil tak pernah rela meninggalkan zona nyaman.

"Langit yang Menghitam", begitu judul lagu barunya. Tapi langit yang ia kenal hanya dari foto-foto portal berita. Kesedihan yang nyata untuk pemandangan yang tak pernah ia saksikan. Paradoks yang menggema di ruang-ruang kedai kopi, di mana orang-orang membayar mahal untuk view dan validasi.

Di industri musik indie, paradoks ini justru menguntungkan. Album-album bertema lingkungan sempat dijual dalam bentuk vinyl. Merchandise diproduksi massal di pabrik-pabrik yang sama dengan fast fashion yang mereka kritik. "Sustainable" menjadi aesthetic. "Eco-friendly" menjadi branding. Bumi menangis dalam bahasa yang tak pernah kita pelajari.

"Kepedulian anak muda sekarang luar biasa," kata seorang promotor. Ia sedang merencanakan konser dengan tema save the earth. Venue-nya ada di mal. Akan ada merchendise edisi terbatas. Kepedulian telah menjadi pertunjukan - sebuah panggung tempat kita semua berakting peduli sambil tetap nyaman dengan privilese.

Jari-jari Peter menari di atas keyboard. Ia menulis tentang dunia yang tak pernah ia jamah. Dari ketinggian, kemiskinan terlihat seperti lukisan abstrak. Polusi seperti special effect. Mungkin memang beginilah cara kita mencintai sekarang: dari balik kaca, dengan jarak yang aman, seperti menulis surat cinta untuk orang yang tak pernah kita temui.

Di kedai ini, di antara aroma kopi yang mahal dan obrolan tentang krisis iklim, Peter masih menulis. Tentang hutan yang tak pernah ia kunjungi. Tentang sungai yang tak pernah ia selami. Tentang penderitaan yang tak pernah ia rasakan. Di luar, langit Bandung menghitam. Kali ini sungguhan. Barangkali kita memang telah sampai pada titik di mana menulis tentang kehancuran telah menjadi industri yang lebih menguntungkan daripada menyelamatkannya.

Dan Peter, dengan lagu-lagunya yang melankolik, hanyalah salah satu dari sekian jenis penulis yang menuai royalti dari setiap bencana. Bukankah begitu cara kapitalisme bekerja? Bahkan kepunahan pun bisa dijual, selama kita pandai membungkusnya dalam metafora yang cukup puitis.

25-12-2024

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//