CATATAN SI BOB #16: Jeremy yang Guru Honorer Sekaligus Musisi itu
Mereka adalah resistensi yang lirih. Bantahan halus pada industri yang terobsesi dengan angka dan popularitas.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
29 April 2025
BandungBergerak.id – Jeremy. Nama yang tak istimewa. Seperti debu. Tak terlihat, tapi selalu ada.
Pagi itu hujan mulai berhenti. Ia berdiri di ambang pintu kelas, dengan daftar hadir berupa kertas HVS kumal. Guru honorer. Sesekali ia menatap luar jendela. Seakan ada yang tertinggal di sana. Mungkin melodi yang tak sempat ia selesaikan semalam. Mungkin juga kenangan tentang panggung-panggung kecil yang kini tak lagi menyediakan ruang untuknya.
Saya menemuinya minggu lalu. Di kedai kopi yang hampir tutup. Ia membawa gitarnya. Bukan Yamaha atau Gibson. Hanya gitar lokal tanpa merek yang peliturnya mulai mengelupas. "Ini yang kupunya," katanya tanpa malu. Tanpa perlu menjelaskan. Seperti juga ia tak perlu menjelaskan mengapa masih bertahan sebagai musisi, meski namanya tak pernah muncul di daftar penyanyi yang diagung-agungkan kaum urban.
Di antara dentingan sendok dan cangkir, ia memainkan satu lagu. Tentang kota. Tentang orang-orang yang berlalu-lalang tanpa saling mengenal. Tentang dirinya yang tak lagi dikenali. Anehnya, bukan kesedihan yang kurasakan. Melainkan kemarahan yang tenang. Kemarahan yang telah diperam menjadi semacam kebijaksanaan.
Dulu Pramoedya menulis tentang "mereka yang dilupakan sejarah". Jeremy bukan tokoh sejarah. Ia bahkan bukan siapa-siapa dalam peta musik Indonesia yang kini dikuasai algoritma dan modal. Tapi justru dalam ketidakhadiran itulah, ia hadir sebagai pertanyaan: apa yang tersisa ketika musik tak lagi menjadi bahasa perlawanan? Atau setidaknya, sebuah rekam kejujuran?
Baca Juga: CATATAN SI BOB #13: Aa dan Siasat Perkawanan Popularitas
CATATAN SI BOB #14: Totti dan Pertanyaan Eksistensi
CATATAN SI BOB #15: Komunitas adalah Ketiadaan itu Sendiri
Berkarya dalam Sunyi
Ada ironi di sini. Di zaman ketika semua orang berlomba untuk didengar, Jeremy justru memilih berkarya dalam sunyi. Bukan karena ideologi. Tapi karena memang hanya itu yang tersisa baginya. Dan ironi lain: sebagai guru dengan gaji tak seberapa, ia justru lebih merdeka dalam berkarya dibanding rekan-rekannya yang harus takluk pada selera industri.
Seusai bermain, ia bercerita tentang murid-muridnya. "Mereka tak tahu saya bermain musik," ujarnya. Lalu terdiam. Seakan dalam diam itu ada pernyataan yang lebih kuat daripada deretan kata-kata. Sunyi yang memiliki kekuatan.
Lima kilometer dari tempatnya mengajar, berdiri megah gedung label musik besar. Tempat di mana lagu-lagu diproduksi seperti roti pabrik. Jeremy pernah ke sana sekali. Ditolak. Bukan karena karyanya buruk, tapi karena "tak komersial".
Di sekitar gedung itu, ribuan "Jeremy" yang lain. Guru. Pekerja warung. Tukang ojek. Mereka yang tak pernah diundang ke meja makan kapitalisme. Mereka yang menanti giliran yang tak kunjung tiba. Mencipta di sudut-sudut kota. Bernyanyi di kamar mandi. Melukis di garasi sempit. Budaya tumbuh di tempat-tempat tak terduga. Seperti rumput liar yang mencari celah di antara beton-beton. Dan seperti rumput liar, kerap dianggap hama. Padahal dari sanalah sesungguhnya segala bermula. Dari yang kecil. Yang terlupakan. Yang tak pernah dihitung.
Saya teringat Chairil Anwar: "Hidup hanya menunda kekalahan." Tapi bagi Jeremy, bermusik adalah menolak mengakui bahwa ia telah kalah. Menolak. Meski tahu bahwa penolakannya itu tak berujung pada apa-apa selain kepuasan pribadi bahwa ia masih mampu bersuara.
Di sudut-sudut kota ini, yang makin lama makin kehilangan ruang publik, Jeremy dan sesamanya adalah semacam anomali. Mereka bertahan tanpa perlu diakui. Berkarya tanpa perlu penghargaan. Dalam sekali waktu. Mereka adalah resistensi yang lirih. Bantahan halus pada industri yang terobsesi dengan angka dan popularitas.
Dan mungkin memang di sinilah letak kekalahan kita: bahwa kita tak lagi bisa mengenali keindahan dalam hal-hal kecil seperti guru honorer yang setiap malam masih memetik gitarnya. Yang masih percaya bahwa musik adalah bahasa yang tak bisa dijual. Yang masih yakin, entah dari mana keyakinan itu datang, bahwa ada makna dalam apa yang ia lakukan. Meski tak ada yang mendengar. Meski tak ada yang peduli. Meski hanya bagian dari debu dan sunyi.
25/04/2025
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Bob Anwar, dan tulisan-tulisan lainnya tentang musik