CATATAN SI BOB #19: Asep Bukan Tokoh Fiksi, Ia adalah Pedagang Batagor yang Novelnya Masuk Nominasi 10 Besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2025
Sastra bisa lahir dari mana saja, bahkan dari lapak batagor yang bau anyir dan banyak tumpahan minyak.

Bob Anwar
Musisi dan penulis asal Kota Bandung. Dapat di hubungi di Instagram @bobanwar_ atau [email protected]
9 Juni 2025
BandungBergerak - Biasanya saya menulis esai dengan menggunakan tokoh fiksi karena di negeri yang aparat dan pejabatnya mudah tersinggung ini, itu termasuk proses kreatif menyenangkan. Namun tidak untuk tulisan kali ini. Tokohnya, tokoh nyata.
Asep Ardian. Pedagang batagor yang sempat saya jumpai di Konser Pejalan 2024, acara musik yang digagas komunitas Sadar Kawanan, Nusa Layaran. Di tangannya, minyak mendidih dan bumbu berbaur. Di kepala yang sama, kata-kata juga mendidih. Antara satu pembeli dan yang lain, yang datangnya kian langka, ia membaca. Kafka tentang metamorfosis, Camus tentang absurditas, Murakami tentang kesepian di kota besar. Buku-buku itu ia letakkan di samping panci, bersebelahan dengan kecap dan sambal.
Kebiasaan aneh untuk seorang pedagang kaki lima. Tapi mungkin justru karena aneh itulah Oni Jouska lahir. Sebual novel terbitan Ellunar, September 2024.
Oni Jouska. Novel yang bertutur dari mata ikan remora. Pilihan narator yang ganjil. Siapa yang peduli dengan sudut pandang ikan parasit? Di zaman ketika semua orang sibuk membicarakan diri sendiri, self love, healing, mental health, Asep malah memilih bercerita tentang laut yang jauh. Tentang kerusakan yang tak terlihat mata. Tentang manusia yang lupa bahwa mereka bukan satu-satunya penghuni bumi ini.
Keputusan itu mahal. Tidak hanya karena uang, tapi juga karena waktu dan kesendirian. Gramsci pernah menulis: setiap orang adalah intelektual, meski tidak semua orang punya fungsi intelektual dalam masyarakat. Asep membuktikan sebaliknya: seorang pedagang batagor bisa menjalankan fungsi intelektual dengan caranya sendiri. Dengan uang belanja menyusut, dampak dari kebijakan ekonomi yang mencekik pengusaha kecil, Asep menerbitkan novelnya. Sementara penulis lain menulis sesuai tren, didukung penerbit besar dengan segala fasilitasnya. Asep memilih jalan sepi: menulis tentang yang tidak laku, dengan ongkos yang ditanggung sendiri.
Dan lalu datang kabar: Oni Jouska masuk nominasi 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. Bersanding dengan Ziggy, dengan Malik Ridwan, dengan nama-nama yang sudah mapan. Tim juri yang dipimpin Eka Kurniawan dan Hasan Aspahani memilih novel seorang pedagang batagor dari pinggiran Bandung. Bukan karena belas kasihan. Tapi karena kualitas.
Di sinilah mulai terasa janggal. Daerah lain merayakan ketika warganya masuk nominasi bergengsi. Bandung, kota yang mengklaim kota kreatif, juga kini konon ingin maju secara literasi, malah diam. Seolah pencapaian Asep bukan sesuatu yang perlu dirayakan. Kenapa? Karena dia "cuma" pedagang batagor? Karena bukunya tidak bicara tentang hal-hal yang sedang hits?
Atau mungkin karena kita sudah terlalu nyaman dengan definisi sempit tentang siapa yang layak disebut sastrawan. Kita masih terjebak pada romantisasi bahwa sastra adalah domain kalangan terpelajar, organisasi atau UKM kampus, juga komunitas-komunitas eksklusif yang punya waktu luang untuk berdebat teori dan berdiskusi keajegan opini. Padahal Asep membuktikan sebaliknya: sastra bisa lahir dari mana saja, bahkan dari lapak batagor yang bau anyir dan banyak tumpahan minyak.
Ironi yang lebih dalam: Asep yang hidup di pinggiran justru mampu melihat gambaran besar tentang kehancuran. Sementara mereka yang hidup di pusat, yang punya akses pendidikan tinggi dan fasilitas ilmu pengetahuan, seringkali terjebak pada hal-hal sempit. Asep menulis tentang laut yang diperkosa, tentang hubungan keluarga yang renggang, tentang manusia yang kehilangan empati pada alam. Tema-tema besar yang diabaikan karena tidak "seksi" di mata pasar, cenderung mengancam para investor dan penguasa setempat.
Keputusan Asep melanjutkan Oni Jouska menjadi trilogi setelah mendapat pengakuan adalah momen penting. Bukan karena ia jadi sombong, tapi karena ia akhirnya yakin: suaranya layak didengar. Pengakuan dari Kusala Sastra memberikan legitimasi bahwa pilihannya menulis tentang hal-hal yang "jauh nun di sana" adalah pilihan yang tepat.
Tapi legitimasi itu datang dari luar. Dari juri-juri yang tidak mengenal Asep secara personal. Yang melihat karyanya tanpa prasangka tentang latar belakangnya. Sementara di tempat kelahirannya sendiri, ia tetap sepi perhatian. Seolah kehebatan baru bisa diakui kalau sudah diakui orang lain dulu.
Baca Juga: CATATAN SI BOB #18: Berkah Pangeran Biru untuk UsepCATATAN SI BOB #17: Steven, Potret Musisi Indie Kita yang Sebenarnya
Suara Pinggiran
Fenomena ini sebenarnya cermin dari masalah yang lebih besar: kita kehilangan kemampuan untuk melihat keajaiban di sekitar kita. Kita lebih mudah kagum pada yang datang dari jauh ketimbang yang tumbuh di halaman sendiri. "A prophet is not honored in his own country," kata Yesus dalam Injil. Tapi mengapa demikian?
Mungkin karena kedekatan membuat kita buta. Asep Ardian yang setiap hari kita lihat berjualan batagor sulit kita bayangkan sebagai penulis novel yang berkualitas tinggi. Kita sudah terlalu terbiasa mengotak-ngotakkan orang. Pedagang ya pedagang, penulis ya penulis. Padahal kehidupan tidak sesederhana itu.
Atau mungkin karena kita masih terjangkit sindrom kolonial: yang datang dari luar, yang diakui pihak lain, baru pantas kita hormati. Kita belum sepenuhnya percaya pada kemampuan anak bangsa sendiri, apalagi yang berasal dari kalangan pinggiran.
Oni Jouska dan Asep Ardian menantang semua prasangka itu. Keduanya membuktikan bahwa karya besar bisa lahir dari tempat tidak terduga, dari orang yang tidak kita perkirakan. Novel itu tidak hanya bicara tentang ikan remora dan laut yang rusak. Ia juga bicara tentang kita: tentang bagaimana kita melihat dan menilai sesama.
Akankah kita masih akan terus mengabaikan suara-suara pinggiran? Akankah kita masih akan terjebak pada definisi sempit tentang siapa yang layak didengar? Ataukah kita mulai membuka mata, dan telinga untuk mendengar cerita-cerita yang selama ini terlewat? Cerita dari mata ikan remora yang ternyata bisa melihat jauh lebih jernih daripada mata kita yang merasa berada di pusat segalanya.
07/08/2025
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB