• Opini
  • Menelaah Sepak Terjang Anarko di Bumi Palestina

Menelaah Sepak Terjang Anarko di Bumi Palestina

Gerakan anarkisme telah lama meramaikan ekosistem perlawanan di Tepi Barat demi pembebasan rakyat Palestina dari Israel.

Mansurni Abadi

Divisi riset NGO SMT Asia Pasifik/ Mahasiswa S2 Jurusan Komunikasi di Avondale University , Australia

Ilustrasi serangan militer Israel terhadap bangsa Palestina. (Desain: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

17 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Dalam sepuluh tahun terakhir persoalan anarkisme dengan para pengikutnya yang disebut anarko menjadi momok di bumi Indonesia. Konon, kelompok yang selalu berpakaian hitam-hitam dengan penutup muka sembari mengibar-ngibarkan bendera hitam dan merah dengan molotov dan batu sebagai senjata utama itu menjadi dalang berbagai kerusuhan.

Namun, pada jarak 7.900 kilometer tepatnya di Tepi Barat, wilayah yang seharusnya berada di bawah kontrol penuh Palestina yang justru  dipecah-pecah oleh Israel  menjadi enklave-enklave yang membatasi ruang gerak penduduknya sembari menghadirkan ancaman perampasan ruang hidup dan nyawa setiap saat, gerakan anarkisme sebagai gerakan perlawanan yang menolak entitas otoritas baik dari sisi Palestina maupun Israel serta beroperasi tanpa adanya struktur dan bahkan tanpa nama, telah lama eksis meramaikan ekosistem perlawanan  pembebasan rakyat Palestina. Gerakan anarkisme dengan keberagaman anggota dari kalangan Yahudi, Arab, dan etnis-etnis lain di Tepi Barat, melakukan perlawanan bersama dengan gerakan agama, nasionalis, dan kiri lainnya (sosialis dan komunis).

Baca Juga: Tiga Alasan Logis sebagai Rakyat untuk Menolak Militerisme
Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas
Persoalan Anarko dan Lima Ancaman yang Lebih Berbahaya darinya

Tiga Strategi Gerakan Anarko di Bumi Palestina

Metode yang dipergunakan para kamerad anarko di Tepi Barat juga sama dengan anarko yang ada di Indonesia. Yakni, pertama, mutual aid yang menekankan pembangunan kekuatan kolektif dari bawah (akar rumput) dengan menciptakan jaringan dukungan mandiri yang menggantikan fungsi negara yang terlalu kapitalistik dan bertendensi fasis.

Yang menarik, mutual aid ini menemukan resonansi yang dalam dengan praktik gotong royong yang melekat dalam budaya Indonesia serta Arab dan Yahudi. Di Indonesia misalnya budaya  Sunda dengan konsepsi  mempertajam pikiran (silih asah), saling mengasihi (silih asih), dan saling menjaga (silih asuh). Sementara di Arab dan Yahudi mewujud dalam konsepsi ta'awun (التعاون) atau tolong-menolong yang merupakan turunan langsung dari nilai-nilai keislaman di mana saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan secara individual maupun kolektif dianggap sebagai kewajiban komunitas dan konsepsi tzedakah (צדקה) yang bermakna lebih luas dari sekadar amal yakni keadilan kolektif untuk saling menopang melalui prinsip gemilut chasadim (גמילות חסדים) atau perbuatan kasih yang tulus tanpa pamrih –keduanya dilandasi oleh kewajiban etis dan mekanisme solidaritas sosial untuk memastikan ketahanan komunitas secara otonom.

Kedua, direct action yang menekankan pada upaya untuk mengambil tindakan secara mandiri dengan kekuatan dan sumber daya mereka sendiri untuk mengubah realitas, tanpa perantara seperti pemerintah atau lembaga hukum. Menurut Uri Gordon, seorang anarkis dari kalangan Yahudi anti zionis, tindakan langsung memiliki  dua wajah. Yaitu wajah konfrontatif  yang secara fisik menghalangi atau mengganggu proyek yang menindas dan wajah konstruktif yang mewujudkan politik prefiguratif untuk membangun masa depan yang diinginkan dari sekarang melalui pembentukan kolektif maupun komune dengan menerapkan  konsensus anarkisme dalam pengambilan keputusan.

Konsepsi direct action juga terhubung secara historis dengan masyarakat Arab dan Yahudi. Dalam sejarah Yahudi, ada narasi Exodus (keluar dari Mesir) sebagai sebuah aksi langsung secara kolektif yang dilakukan oleh masyarakat  Yahudi yang saat itu diperbudak, tanpa menunggu pertolongan dari penguasa. Sementara itu, dalam tradisi Arab dan Islam awal, hijrah Nabi Muhammad ke Madinah juga bukanlah sebuah pelarian pasif, melainkan sebuah aksi langsung yang strategis untuk membangun kekuatan politik dan masyarakat baru yang mandiri, lepas dari penindasan Quraisy. Dari dua kisah tersebut, ada sebuah logika yang sejalan dengan semangat direct action, bahwa perubahan yang hakiki harus diraih melalui inisiatif dan kekuatan sendiri dengan mengambil tindakan nyata yang langsung mengubah kondisi material dan sosial, alih-alih hanya bergantung pada permohonan, protokol, atau perantara institusional.

Yang ketiga adalah insurection (insureksi). Dalam konteks anarkisme, insureksi merujuk pada pemberontakan spontan dan aksi langsung yang bersifat sosial serta taktis, dalam bentuk perlawanan seperti sabotase, pemogokan, atau serangan kecil-kecilan dengan tujuan membangkitkan kekuatan kolektif tanpa bergantung pada organisasi hierarkis , ketokohan , dan strategi jangka panjang –sebagaimana dijelaskan oleh pemikir seperti Max Stirner yang membedakannya sebagai bentuk "bangkit" yang instan dan individual.  Berbeda dengan revolusi yang sering kali melibatkan perencanaan sistematis, perebutan kekuasaan negara, dan pembentukan tatanan baru yang justru berpotensi menciptakan struktur otoriter baru, maka insureksi lebih menekankan pada pembebasan langsung dan berkelanjutan tanpa akhir yang ditentukan di mana kekuatannya terletak pada gelombang pemberontakan sosial yang menyebar secara organik daripada konflik militer besar-besaran.

Tiga gerakan anarkisme yang cukup dikenal di bumi Palestina yaitu Against the Wall, Fauda, dan Radical Bloc Tel Aviv-Jaffa menggunakan pola insureksi dalam melawan pendudukan Israel. Against the Wall melakukan sabotase terhadap pembatasan ruang gerak tentara Israel terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Sejak 2003 hingga sekarang, kelompok ini sangat aktif mengorganisir demonstrasi sembari merusak Checkpoint dan pagar pembatas yang dibuat oleh otoritas Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Karena perbuatan insureksi tersebut, salah satu aktivis Against the Wall bernama Limor Goldstein pada tahun 2006 ditembak di mata kanannya oleh pihak keamanan Israel saat mencoba merobohkan pagar pembatas di wilayah Bil’in, Tepi Barat. Tahun 2009, pemerintah Israel membayar kompensasi sebesar 3,25 juta shekel pada Limor yang mengalami cacat permanen akibat penembakan tersebut. Sepak terjang Against the Wall dapat disaksikan di kanal Youtube Anar Vid  dan tulisan-tulisan mereka di situs anarchist library berjudul Anarchists Against the Wall.

Bagi gerakan Against the Wall, jalur pembatas berupa tembok pemisah dan checkpoint keamanan yang berbelit-belit justru menciptakan ghetto yaitu daerah kantong yang menghalangi hubungan normal masyarakat Palestina dengan dunia sekitar –mirip seperti yang dilakukan Nazi kepada bangsa Yahudi.   Apalagi dalam konteks ekologis, ribuan pepohonan termasuk buah-buahan banyak ditebang untuk membersihkan jalan tersebut.

Dari segi ekonomi, pembatas tersebut menghalangi rakyat Palestina memperoleh rezeki. Dari segi sosial, pembatas tersebut memisahkan banyak keluarga. Pemerintah Israel sebenarnya menganggap rute tersebut hanya sebagai tindakan pengamanan, namun Mahkamah Agung Israel dan Mahkamah Internasional telah menyatakan bahwa rute tersebut ilegal dan sangat membahayakan kehidupan penduduk.

Sementara Fauda menggunakan pola-pola gerilya kota dengan melempar molotov dan batu ke pos-pos pemeriksaan aparat Israel. Kelompok ini juga melakukan serangan dadakan ke konvoi aparat Israel.

Dan yang terakhir, ada gerakan anarkisme terbaru yang saat artikel ini disusun tengah viral, yakni Radical Bloc TLV yang eksis di media sosial Instagram dan X. Kelompok ini melakukan aksi penerobosan ke Jalur Gaza yang direspons secara represif oleh pihak keamanan Israel. Rekan saya bernama Andre X, seorang eksis asal Rusia yang mendapatkan paspor  Israel karena identitas Yahudi, terlibat di barisan Radical Bloc TLV.

Menolak Solusi Dua Negara

Pada dasarnya semua front kiri dari kalangan Yahudi sepakat pada persoalan penindasan berkepanjangan di tanah yang mereka tinggali harus diakhiri dengan cara-cara yang adil dan taktis, sehingga tidak terjebak ke dalam neo-kolonialisme dan neo-imprealisme yang berkepanjangan. Namun perbedaan mendasar antara kelompok anarkis Yahudi dan front kiri  ada pada persoalan eksistensi negara. Bagi kelompok anarkis atau anarko, eksistensi negara itu memuakkan, baik itu sebagai entitas Israel maupun Palestina, apalagi solusi dua negara bagi mereka sangat tidak di perlukan karena hanya memperpanjang penindasan dalam bentuk lain.

Anarchists Against the Wall bersama front anarkis di Palestina pada tahun 2013, menulis buku berjudul Two States for Two Peoples—Two States Too Many dengan argumen seperti: “Negara Israel dan Otoritas Palestina tidak akan pernah mencapai kesepakatan ‘perdamaian’, hal tersebut tidak akan terwujud karena keinginan Israel akan ‘keamanan’ dan ‘eksistensi’ bagi warga negaranya tidak akan bertemu dengan  keinginan Palestina akan ‘kemerdekaan’.”

Mereka menganggap solusi two state solution  hanya sekadar  akan menjadi bagian dari konfigurasi kepentingan-kepentingan lain. Dalam cara berpikir mereka, konsep-konsep tersebut asing, bahkan di antara kelompok masyarakat Palestina yang ingin merdeka seratus persen dan kelompok kanan Yahudi yang ingin Israel Raya mengenyahkan entitas Palestina yang mereka anggap terhina (Goyim).

Toh, kelompok anarkis Yahudi bahkan memandang Israel hanyalah perpanjangan kebiadaban kekuatan imperialis dan kolonialis di wilayah Timur Tengah dengan menggunakan generasi muda Yahudi untuk terjun ke medan laga agar saling membunuh atas nama nasionalisme yang dipermainkan oleh kaum elite sendiri. Bahkan saat perang Gaza terjadi saja, anak dari Perdana Menteri Israel tidak ikut terlibat perang, ia justru bersantai di Pantai Miami, Amerika Serikat.

Oleh karena itu, bagi kelompok Yahudi dan Arab yang anarkis, seruan untuk perubahan revolusioner dengan menghapus penindasan dan eksploitasi kelas tanpa chauvinisme (nasionalisme sempit) dan nalar kemanusiaan yang melampaui paksaan otoritas lebih diutamakan, ketimbang memperkuat entitas negara yang hanya membuka ruang penindasan dari kalangan elite terhadap masyarakat di level bawah.

Menolak Wajib Militer

Di Israel, setiap warga negaranya yang sudah memasuki usia 18 tahun wajib mengikuti wajib militer. Berbeda dari wajib militer di negara lainnya yang jarang berkonfrontasi secara militer dengan pihak lawan, eskalasi konflik di Israel selalu ada setiap saat. Akibatnya, banyak generasi muda Israel sendiri yang tewas, cacat permanen, dan menderita trauma akibat konflik ini. Tidak sedikit juga yang kemudian menjadi penjahat perang ketika diperintahkan untuk menembak warga Palestina yang melawan.

Atas nama nasionalisme dan agama menjadi frasa yang di angkat untuk menyuntik semangat mereka ke medan perang. Bagi kelompok anarkis Yahudi, hal ini amat memuakkan saat ada segolongan elite memerintahkan rakyatnya sendiri mati di medan laga sementara mereka nyaman ditampuk kekuasaan dengan memainkan ketakutan yang mereka ciptakan sendiri.

Oleh karena itu, kelompok anarkis di kalangan Yahudi sejalan dengan kelompok kiri Israel dalam penolakan pada wajib militer. Akibatnya, banyak yang berakhir di tahanan karena menolak perintah negara. Namun kembali pada  ajaran anarkisme, sering kali masalah itu bukan datang dari ketidakpatuhan. Ada praksis dalam anarkisme yang bernama pembangkangan sipil atau civil disobedience yang selalu mereka terapkan untuk  berhadapan dengan entitas negara.

Kita yang di Indonesia, sepatutnya mengambil pelajaran dari sepak terjang anarko dibumi Palestina. Perjuangan Palestina harus kita naikkan lagi level kesadarannya bukan semata-mata perihal agama dan kesukuan, namun justru terhubung dengan nyala perlawanan untuk  melawan sistem yang menindas – termasuk membawa semangat perlawanan dalam setiap front melawan penguasa zalim

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//