CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #16: Jejak Surat Kabar Sunda, Senjata Pena Bernama Kudjang
Surat Kabar Kudjang dan media massa berbahasa Sunda lainnya membuktikan bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana menjaga jati diri.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
18 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Dalam perjalanan sejarah pers di Tatar Sunda, surat kabar bukan sekadar lembaran berita, melainkan cermin semangat zaman. Di antara deretan media yang pernah mewarnai masa keemasan media cetak bahasa Sunda, berdirilah Kalawarta (Surat Kabar) Kudjang sebuah surat kabar yang mengangkat pena sebagai senjata, menjunjung budaya sebagai pedoman, dan menegakkan muruah Sunda melalui tulisan.
Bagi masyarakat Sunda, kujang bukan sekadar bilah logam berlekuk indah. Ia adalah pusaka warisan leluhur simbol keberanian, keteguhan hati, dan kewibawaan. Sejak ratusan tahun silam, kujang menjadi senjata ampuh untuk membela diri dan menjaga ketenteraman lemah cai Sunda.
Semangat itulah yang kemudian menjelma dalam bentuk lain Surat Kabar Kudjang, media berbahasa Sunda yang hadir bukan hanya sebagai penyalur aspirasi, tetapi juga sebagai senjata pena untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan martabat budaya Sunda.
Rekaning Daya Marganing Laksana sebagai moto Surat Kabar Kudjang, mengandung makna filosofis yang dalam. Secara bebas, dapat dimaknai sebagai “perihal daya yang menjadi jalan bagi terlaksananya sesuatu.”
Ia menegaskan bahwa setiap keberhasilan hanya dapat dicapai melalui daya yakni usaha, kerja keras, dan tindakan yang sungguh-sungguh. Cita-cita tidak mungkin terwujud tanpa kesungguhan dan kerja nyata yang berkesinambungan.
Dalam semangat yang sama, Kudjang berpegang pada misinya yaitu turut Ngamumule Kabudayaan Keur Kajayaan Lemah Cai jeung Bangsa, yang berarti turut menumbuhkan kebudayaan untuk kemakmuran masyarakat, tanah air, dan bangsa.
Sang pendiri, R. Ema Bratakoesoemah menegaskan bahwa Kudjang dimaksudkan untuk menjadi panggeuing (pengingat), obor pupuntangan (penerang jalan), sekaligus pedoman hidup bagi masyarakat Sunda.

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #13: Melihat Setengah Abad Bandung di Koran Pikiran Rakyat Edisi Tahun 1956
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #14: Kisah Harian Berita Nasional, Koran Perjuangan dari Yogyakarta
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #15: Melihat Kembali Poster Film di Surat Kabar GALA Bandung Tahun 1970-an
Dari Buletin Stensilan ke Oplah Puluhan Ribu
Kudjang pertama kali terbit pada 20 Januari 1956 di bawah naungan Yayasan Kudjang. Bentuk awalnya hanya berupa buletin stensilan, namun semangatnya besar. Selain R. Ema Bratakoesoemah, tokoh lain yang ikut membidani kelahirannya antara lain R. Soetisna Senjaya, R. Soepyan Iskandar, dan Prof. Ir. Otong Kosasih.
Dalam waktu singkat, Kudjang berkembang pesat. Terbit rutin setiap minggu, tampilannya berubah menjadi ukuran 43×30 cm, setebal 12 halaman dengan ukuran setengah dari surat kabar biasa. Oplanya terus meningkat. Pada masa jayanya, Kudjang mampu menembus 60 ribu eksemplar, sementara Mangle mencapai 90 ribu eksemplar.
Masa itu merupakan periode keemasan pers Sunda. Media bukan hanya corong budaya, tetapi juga sumber penghidupan yang layak bagi para karyawannya. Gaji wartawan terhitung pantas, oplah stabil, dan pembaca setia.
Surat Kabar Kudjang terbitan akhir Desember tahun 1967 memuat box redaksi. Adapun susunan Redaksi Kalawarta Kudjang sebagai berikut.
Pimpinan Umum: Ema Bratakoesoema
Dewan Redaksi: R.E. Hidayat S. (Sé Sépuh), Ewo Kustiwa, Rachmat Basuni Sur, Engkos Kosasih
Tata Usaha: Achmid
Penerbit: Yayasan Kudjang
Izin Terbit: Keputusan Menteri Penerangan RI No. 0116/SK/DPHM/SIT/’66, 22 Februari 1966
SIPK No. B 1102/C/K 2/II, 30 Oktober 1967
Langganan: Rp 10 per bulan
Iklan: Harga dapat dibicarakan
Pembayaran: Di muka
Alamat Redaksi & Tata Usaha: Jl. Asia-Afrika No. 128, Bandung. Telp. 4627
Anggota SPS Pers
Setelah sempat meredup, Kudjang sempat bangkit kembali dengan manajemen baru di bawah kepemimpinan Drs. H. Uu Rukmana. Dengan mengusung moto ngajaga lembur, akur jeung dulur, panceg ’na galur. Kudjang menggandeng jurnalis senior dan generasi muda, memperbarui desain perwajahan, menambah jumlah halaman menjadi 16, namun tetap mempertahankan ukuran khasnya.
Menjelang akhir 1990-an, kehadiran kembali Kudjang menegaskan posisinya sebagai salah satu media berbahasa Sunda tertua yang masih bertahan, bersama Mangle (1957). Saat itu, setidaknya terdapat sepuluh media cetak berbahasa Sunda yang aktif, di antaranya Galura (Grup Pikiran Rakyat), Giwangkara, Mandiri, Swara Cangkurileung, Cupumanik, Sunda Midang, serta suplemen berbahasa Sunda di Suara Daerah (PGRI Jabar) dan Bhinneka Karya Winaya (KOPRI Jabar).
Sejarah mencatat, urang Sunda pernah memiliki 36 media berbahasa Sunda. Dua di antaranya bahkan terbit harian yakni Sinar Pasoendan (1933–1942) dan Sipatahoenan (1924–1942 di Tasikmalaya, lalu 1969–1985 di Bandung).
Majalah Sunda tertua adalah Parahiangan (1919), terbitan Balai Poestaka di Jakarta di bawah asuhan M.A. Salmoen dan R. Satjadibrata. Setelah kemerdekaan Indonesia, media cetak berbahasa Sunda kembali bersemi dan mencapai puncak kejayaan pada era 1950–1970-an.
Berbagai majalah dan surat kabar Sunda bermunculan: Pajajaran (1949), Panghegar (1952), Warga (1954), Candra (1954), Kiwari (1957), Mangle (1957), Sari (1963), Sangkuriang (1964), Campaka (1965), Kutawaringin (1966), Baranangsiang (1966), hingga Pelet (1966).
Selain Mangle dan Galura yang masih bertahan hingga kini, sejumlah media lain sempat mewarnai dunia pers Sunda: Cupumanik, Seni Budaya, Ujung Galuh, Sunda Midang, Bina Da’wah, Iber, Balebat, Hanjuang Bodas, Logay, Panggugah, Cakakak, dan Sampurasun.

Media Berbahasa Sunda Mulai Surup
Namun, seiring perkembangan zaman, banyak media berbahasa Sunda yang berhenti terbit akibat keterbatasan dana, perubahan kebiasaan baca, dan tantangan digitalisasi. Koran Sunda misalnya, berhenti terbit pada pertengahan 2007. Kini, media berbahasa Sunda yang masih eksis hanyalah Majalah Mangle dan Surat Kabar Mingguan Galura.
Dalam catatan sejarah pers daerah, Kudjang dan media Sunda lainnya membuktikan bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana menjaga jati diri.
Menggunakan, memelihara, dan mengembangkan bahasa Sunda adalah bagian dari keseharian urang Sunda. Membaca, menulis, dan memajukan media berbahasa Sunda merupakan tanggung jawab budaya yang harus terus dijaga.
Media cetak berbahasa daerah mengalami kemunduran sejak media elektronik tumbuh pesat di masyarakat. Demikian pula media cetak berbahasa Sunda, meski masih ada yang terbit hingga sekarang, tetapi tidak begitu berkembang. Padahal, media Sunda sempat mengalami kejayaan sampai tahun 1970-an.
Kini, gema Kudjang mungkin telah mereda, namun warisannya tetap menyala dalam ingatan sejarah pers Sunda. Ia mengajarkan bahwa bahasa dan budaya tidak hanya perlu dijaga, tetapi juga diperjuangkan lewat tulisan dan kerja kebudayaan yang berkelanjutan. Selama masih ada yang menulis dan membaca dalam basa Sunda, semangat Kudjang tak kan pernah benar-benar padam.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB