• Kampus
  • Pemutaran Film Turang di Dome Fikom Unpad, Muncul Setelah Tenggelam di Masa Orde Baru

Pemutaran Film Turang di Dome Fikom Unpad, Muncul Setelah Tenggelam di Masa Orde Baru

Film Turang karya Bachtiar Siagian mengisahkan para pejuang revolusi dari kalangan rakyat jelata, si sebuah desa terpencil Sumatera Utara.

Film Turang karya Bachtiar Siagian diputar di Dome Fikom Unpad, Jatinangor, Kamis malam, 16 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah18 Oktober 2025


BandungBergerak - Rusli dan rekanannya, Karemban, bercakap-cakap di atas pedati yang merayap di atas tanah dengan lanskap alam tanah Karo, Sumatera Utara. Mereka merindukan kampung halaman yang lama ditinggalkan.

“Kalau tidak karena republik, tidak mau aku bekerja begini, bapak,” ujar Kembaren pada Rusli, pemimpin pejuang.

Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan suara iring-iringan patroli tentara Belanda. Mereka bersiap, tidak bisa lari ke mana-mana. Ketahuan. Mereka kalah jumlah. Rusli terluka dan Karemban, yang tengah merindukan istri dan anaknya, tewas.

“Turang! Turang!”

Adegan tersebut menjadi pembuka yang cukup menegangkan dari film “Turang” karya Bachtiar Siagian, seniman Lekra yang karya-karyanya diberangus di era Orde Baru. Film Turang diputar di Dome Fikom Unpad, Jatinangor, Kamis malam, 16 Oktober 2025.

Hampir 90 menit penonton diajak berkelana menyelami suasana revolusi di sebuah daerah terpencil dan jauh dari ibu kota, dengan nuansa keindahan perdesaan Tana Karo dan tradisi adat istiadatnya. Hal ini didukung kemampuan akting para pemainnya yang merupakan rakyat jelata.

Di akhir film disematkan sebuah penggalan puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar, lengkap dengan kibaran sangsaka merah putih.

Namun dalam catatan sejarah, film yang kental dengan nilai-nilai nasionalis ini justru diberangus penguasa Orde Baru. Mengapa?

Stigmatisasi Terhadap Karya Seni Kiri

Pelabelan terhadap film-film karya para sineas kiri tidak terlepas dari upaya pemerintah masa itu untuk memberangus segala hal yang berkaitan dengan PKI secara sistematis. Masalah ini dibahas dalam sesi diskusi bertajuk “Terbuang Dalam Waktu: Film Turang yang Terbit Kembali” yang diinisiasi BEM Fikom Unpad, usai pemutaran film Turang.

Roby Septian, pustakawan Perpustakaan Bunga di Tembok sekaligus moderator, mengatakan labeling atau stigma ‘kiri’ tidaklah berdasar. Peran militer dalam melakukan sensor juga sangat kental.

Ia merujuk pada arsip yang dikeluarkan Komando Operasi Tertinggi Indonesia (KOTI) tentang pembekuan organisasi-organisasi, salah satunya Lekra. Aset-aset mereka juga dinyatakan patus dimusnahkan.

Sandi Jaya Saputra, lebih dikenal Useng, seorang akademisi Fikom Unpad menimpali, film Turang (1958) berisi aksi, romansa, humanisme, dan musik. Namun film ini dianggap berbahaya hanya karena afiliasi sutradaranya ke gerakan kiri.

Meski demikian, Useng menegaskan di bawah tekanan rezim otoriter seni akan tetap hidup. Ia mengibaratkan seni dengan puisi Wiji Thukul, yaitu Bunga di Tembok.

“Bahwa rezim itu meskipun sangat ketat menjadi tembok yang sangat kuat gitu tapi pelan-pelan ditaburi gitu, berbunga, dan lain-lain akhirnya bisa menghancurkan gitu.” tuturnya.

Tragedi 1965 yang ‘membersihkan’ semua hal terkait komunis, termasuk orang-orangnya, berpengaruh besar pada kebudayaan Indonesia, termasuk film. Kini, zaman menuntut mengumpulkan dan merawat arsip-arsip di masa lalu, sehingga generasi masa kini bisa melihat kebudayaan secara lebih utuh.

Bunga Siagian, putri Bachtiar Siagian yang hadir melalui telekonferensi di diskusi film ini, menceritakan usaha penelusuran film Turang yang melewati proses panjang. Arsip film Turang berhasil selamat dari pemberangusan Orde Baru. Di masa pemberangusan, arsip film ini tersimpan di balai arsip film Rusia.

Butuh waktu dua tahun bagi Bunga Siagian untuk mendapatkan kopian film tersebut. Beruntungnya, lewat jejaring dan solidaritas semua hal itu dapat tercapai. Bunga menyatakan bahwa dalam prosesnya terbentuk suatu solidaritas transnasional, persis menganut semangat Konferensi Asia Afrika.

Agar kejadian dalam konteks pemusnahan kebudayaan pascatragedi 1965 tidak terulang, perlu adanya upaya agar masyarakat dapat mengingat kembali bahwa ada periode Indonesia yang sangat progresif.

“Yang bisa dilakuin sekarang adalah bagaimana memobilisasi arsip buat aku gitu,” ungkap Bunga yang juga kurator dan seniman.

Baca Juga: Mendiskusikan Sisi Suram Kota Bandung dalam Film Dokumenter Penggusuran Tamansari
ULAS FILM: Kekerasan yang Tak Diperlihatkan, Pemanfaatan Off-Screen Violence dalam Film Babon

Film Turang karya Bachtiar Siagian diputar di Dome Fikom Unpad, Jatinangor, Kamis malam, 16 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Film Turang karya Bachtiar Siagian diputar di Dome Fikom Unpad, Jatinangor, Kamis malam, 16 Oktober 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Catatan dari Dokumen Los Angeles Filmforum

Film Turang pernah diputar di Los Angeles Filmforum, forum film independen yang didirikan tahun 1975. Dalam dokumen perilisan film Turang di forum ini Bunga Siagian menyampaikan komentar bahwa film buatan ayahnya ini adalah arsip penting kaum kiri terkait dekolonisasi.

“Turang menyuarakan seruan untuk mengakui dan mengembalikan kedaulatan nasional kepada pemiliknya yang sah: rakyat,” kata Bunga, diakses dari laman resmi, Sabtu, 18 Oktober 2025.

Dokumen Los Angeles Filmforum menyebut Bachtiar Siagian (1923-2002) adalah salah satu sineas Indonesia terhebat yang aktif antara masa kemerdekaan bangsa dan peristiwa musim gugur 1965. Ia memimpin Festival Film Afro-Asia ke-3 di Jakarta, dan

merupakan anggota Lekra, sebuah organisasi budaya kiri (1950-1965). Sebagai seorang sineas dan anggota kelompok kiri, Bachtiar menambatkan realisme sinematiknya pada realitas sosial dunia ketiga.

Sebagian besar filmnya hilang akibat kekerasan antikomunis oleh rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1965, yang menyebabkan persekusi dan sering kali pembunuhan terhadap kaum sayap kiri dan orang-orang lain yang dianggap subversif. Siagian berakhir di penjara selama dua belas tahun, dan tidak pernah menyutradarai film lagi.

Dokumen Los Angeles Filmforum juga mencatat, film Turang memenangkan empat penghargaan di Festival Film Indonesia tahun 1960, termasuk Film Terbaik.

Masih di dokumen yang sama, Devika Girish menceritakan upaya Bunga Siagian dalam menelusuri karya-karya sang ayah. Menurut Devika, Bunga belum pernah menonton Turang dan film lain karya ayahnya sampai tumbuh dewasa.

Namun, dalam dekade terakhir, pencarian Bunga akan karya ayahnya mulai membuahkan hasil. Pada tahun 2013, cetakan filmnya, Violetta (1962), muncul di Sinematek Indonesia di Jakarta, setelah disumbangkan oleh seorang manajer "pemutaran keliling".

Tahun 2023, Turang ditemukan di Arsip Federasi Rusia di Moskow—sebuah salinannya masih ada di sana setelah film tersebut diputar di Festival Film Afro-Asia di Tashkent, Uzbekistan pada tahun 1958.

Setelah mendapatkan salinan film Turang, Bunga mempersembahkan film ini ke hadapan penonton yang memadati Festival Film Internasional Rotterdam (IFFR).

Dalam catatan Devika, film ini menjadi puncak dari sebuah retrospektif yang didedikasikan untuk film-film yang diputar di tiga Festival Film Afro-Asia pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an: edisi di Kairo pada tahun 1960 dan Jakarta pada tahun 1964 menyusul acara perdana di Tashkent.

“Festival-festival ini mewujudkan semangat Konferensi Afro-Asia yang bersejarah tahun 1955 di Bandung, Indonesia, tempat 29 negara Asia dan Afrika, banyak di antaranya baru merdeka atau sedang dalam proses dekolonisasi, bertemu untuk membentuk aliansi anti-imperialis yang didedikasikan untuk penentuan nasib sendiri, kedaulatan, dan perdamaian,” catat Devika.

Devika melanjutkan, dengan dunia yang terbelah selama Perang Dingin antara Dunia Pertama AS dan Barat, dan Dunia Kedua Uni Soviet dan Blok Timur, negara-negara Asia Afrika yang mencakup lebih dari separuh populasi bumi pada saat itu, mendeklarasikan diri mereka sebagai "Dunia Ketiga" dan memetakan jalur independen sebagai Gerakan Non-Blok di Konferensi Beograd tahun 1961.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//