• Opini
  • Negeri yang Mana Ini?

Negeri yang Mana Ini?

Mereka memang tidak membakar buku, tetapi membuat generasi yang takut membacanya.

Foggy FF

Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.

Membaca buku bukan kejahatan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

19 Oktober 2025


BandungBergerak – Syahdan, pada masa Musa dilahirkan, Firaun yang megalomania takut pada nubuat langit: akan lahir seorang anak lelaki dari bangsa tertindas yang kelak mengguncang piramida kuasa dan menumbangkan takhtanya. Maka, ia perintahkan semua bayi lelaki dibunuh agar tidak sempat tumbuh menjadi seorang pembebas. Sungai Nil yang tenang menjadi makam bagi generasi yang tak berani banyak berkata-kata. Firaun dikenang bukan hanya sebagai raja, tetapi juga sebagai pencabut nyawa, sebagai penguasa yang takut pada anak-anak.

Berabad kemudian, di padang pasir Arabia, kisah serupa terulang dalam rupa lain. Pada masa jahiliyah, anak perempuan dianggap noda bagi kuasa patriarki. Maka setiap kali seorang anak perempuan lahir, bumi menjadi saksi kebiadaban yang dibuat seolah regulasi: mereka dikubur hidup-hidup dalam pasir panas, sebelum sempat menatap langit kehidupan. Kaum itu dikenang sebagai pembunuh anak perempuan, sebagai bangsa yang takut pada kehidupan Ibu bumi.

Dan kini, kisah itu berulang di zaman yang katanya beradab.

Pengetahuan sebagai Ancaman

Ada negeri yang punya banyak sekali seremoni. Negeri yang menyanyikan lagu kebangsaan di setiap upacara, menyebut dirinya rumah terbuka bagi semua warganya, mengedepankan inklusivitas di atas bidik senjata, katanya. Tapi negeri itu pun punya ketakutannya sendiri: bukan pada anak lelaki seperti firaun, bukan pada anak perempuan seperti zaman jahiliyah, melainkan pada anak yang terlalu banyak bertanya dan mencari kebenaran lewat membaca.

Anak-anak yang membaca buku yang tidak ada di daftar resmi, yang menuliskan pikirannya di ruang terbuka, yang menatap dunia dengan rasa ingin tahu sambil bertanya ada apa, mereka dicurigai. Anak-anak yang diam di kelas aman, yang mengulang pelajaran tanpa bertanya, justru diberi penghargaan. Maka negeri ini tidak membunuh anak-anaknya seperti Firaun, tetapi mengambil mereka —dari sekolah, dari jalanan, dari rumah, dari ruang digital— karena satu hal sederhana: mereka berpikir setelah membaca buku.

Laporan-laporan lembaga hak asasi mencatat meningkatnya kriminalisasi pelajar dan mahasiswa yang bersuara kritis. Di negeri yang katanya menjunjung kebebasan, buku bisa dilarang hanya karena memuat pertanyaan yang terlalu berani. Di kampus, diskusi dibubarkan dengan alasan keamanan. Di perpustakaan, beberapa judul “dibersihkan” dengan dalih moralitas. Bahkan di ruang paling aman, pada beberapa rumah, orang tua mulai berbisik: “jangan terlalu vokal, Nak, nanti kamu diambil.”

Entah sejak kapan, membaca menjadi sebuah tindakan politik.

Dalam sejarah sosial, peradaban yang takut pada anak-anak yang berpikir adalah peradaban yang tumbuh menua. Dalam sains, ini disebut ketakutan sistemik terhadap otonomi kognitif: ketika negara memandang pengetahuan bukan sebagai cahaya (enlightenment), tapi sebuah ancaman. Maka, setiap anak yang belajar di luar batas ‘aturan’ dianggap pembangkang, dan setiap kata “mengapa” dari mulut anak yang kritis, dihadiahi ancaman.

Anak-anak yang dahulu berlari di halaman sekolah kini tumbuh dalam kurungan algoritma, diatur apa yang boleh dibaca, dihapus isi kepalanya dari apa yang dianggap berbahaya. Negeri ini memang tidak mengubur anak-anaknya, tapi menenggelamkan mereka dalam ketakutan subtil: ketakutan untuk berpikir merdeka.

Baca Juga: Mindfulness: Menemukan Sisi Terang dan Gelap Keberadaan
Darurat Kesehatan Mental: Tragedi Banjaran dan Peran Penting Masyarakat sebagai Sistem Pendukung

Generasi Takut Membaca

Syahdan, karena kehilangan generasi yang berani bertanya, negeri itu kelak hancur bukan karena perang, melainkan karena kebodohan yang dilembagakan. Infrastruktur megah berdiri, tapi di bawahnya tak ada yang mampu menafsirkan peradaban. Maka dalam buku sejarah masa depan, mungkin negeri itu akan dikenang bukan sebagai bangsa pembunuh anak seperti generasinya Firaun, melainkan sebagai bangsa yang mengancam nalar anak-anaknya sendiri.

Dan pada akhirnya, sejarawan akan menuliskan kisahnya dengan satir:

“Mereka bukan membunuh dengan peluru, tetapi dengan menyebar ketakutan. Mereka memang tidak membakar buku, tetapi membuat generasi yang takut membacanya.”

Negeri yang mana ini?

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//