Darurat Kesehatan Mental: Tragedi Banjaran dan Peran Penting Masyarakat sebagai Sistem Pendukung
Tragedi Banjaran bukan hanya kisah pilu satu keluarga, tetapi juga cermin dari darurat kesehatan mental yang sedang kita hadapi.

Foggy FF
Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.
18 September 2025
BandungBergerak - Peristiwa tragis di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kembali menyibak kenyataan yang sering ditutupi dengan eufemisme: seorang ibu berusia 34 tahun ditemukan meninggal dengan cara gantung diri, sementara dua anaknya, masing-masing berusia 9 tahun dan 11 bulan, ditemukan tak bernyawa di dekatnya. Di kamar itu, polisi menemukan sepucuk surat wasiat yang berulang kali menyebut kesulitan ekonomi serta permintaan maaf. Kesimpulan sementara aparat menyatakan bahwa tidak ada pihak luar yang terlibat, melainkan tragedi internal keluarga.
Namun, mengurainya hanya sebagai “kasus bunuh diri karena faktor ekonomi” adalah sebuah penyederhanaan yang bisa jadi malah menyesatkan. Perspektif psikologi kontemporer menegaskan bahwa depresi, sebagai gangguan mental yang sangat terkait dengan bunuh diri, lahir dari interaksi rumit antara kondisi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam kasus Banjaran, tekanan finansial memang menjadi pemicu, tetapi ia bekerja di atas kondisi struktural yang rapuh: depresi yang tidak terdeteksi, stigma yang menutup korban dari pertolongan lingkungan sekitarnya, serta minimnya fasilitas kesehatan mental yang layak di tingkat lokal.
Bukan Sekadar Masalah Pribadi
Saya yang bergulat sekian lama dalam kampanye pengentasan stigma kesehatan mental, seringkali berhubungan dengan para penyintas dari berbagai support group, turut merasa prihatin ketika kasus ini terjadi bahkan di lokasi yang cukup dekat. Dalam psikologi klinis, depresi dianalisis sebagai sebuah gangguan medis serius. Gejalanya tidak sekadar sedih, melainkan perasaan hampa, kehilangan energi, gangguan tidur, perasaan bersalah berlebihan, hingga pikiran tentang kematian yang terus datang dan berulang. Banyak di antaranya tersamar di balik rutinitas sehari-hari, dan tak jarang juga dianggap sebagai hal biasa.
Dalam tragedi Banjaran ini, surat wasiat sang ibu dapat dibaca sebagai ekspresi kognitif dari hopelessness, atau rasa tanpa harapan. Aaron Beck, seorang psikiater Amerika yang diakui sebagai "Bapak Terapi Perilaku Kognitif" (CBT), menekankan bahwa hopelessness adalah indikator kuat perilaku bunuh diri. Bagi individu yang merasa semua jalan buntu, mengakhiri hidup tampak sebagai keputusan rasional, meski tragis.
Sayangnya, masyarakat kita masih sering menilai depresi sebagai kelemahan iman atau kurang bersyukur. Stigma ini membuat banyak orang memilih diam daripada mencari pertolongan. Kalimat seperti “jangan lebay” atau “coba lebih tegar” menambah luka, bukan menyembuhkannya. Bahkan di lingkungan yang lebih rentan, termasuk dalam jebakan kemiskinan struktural, kondisi ini seringkali dianggap wajar.
Baca Juga: Bias Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Jawa Barat, Terkendala Stigma dan Masalah StrukturalSeandainya Kartini Masih Hidup di Tengah Maraknya Kasus Femisida di Tanah Air
Fasilitas Minim, Dukungan Lemah
Stigma hanyalah satu sisi masalah. Sisi lain yang sama seriusnya adalah minimnya fasilitas kesehatan jiwa. Menurut data Kementerian Kesehatan (2023), jumlah psikiater di Indonesia hanya sekitar 1.200 orang, dengan distribusi yang sangat tidak merata. Jawa Barat, provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, masih jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam hal rasio tenaga kesehatan jiwa terhadap jumlah penduduk. Sebagian besar psikiater dan psikolog terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Bandung, sementara daerah kabupaten seperti Banjaran hanya mengandalkan puskesmas dengan fasilitas terbatas.
Artinya, bahkan jika seseorang berhasil melawan stigma dan berani mencari bantuan, ia masih menghadapi tembok lain, yakni layanan yang tidak ada, jarak yang terlalu jauh, atau biaya yang tidak terjangkau. Ketiadaan fasilitas yang memadai membuat penderita depresi amat bergantung pada lingkaran keluarga dan komunitas. Sayangnya, justru di lingkaran terdekat inilah stigma paling kuat hidup, sehingga penderita semakin terisolasi.
Kita tidak hanya berhadapan dengan keterbatasan fasilitas, tetapi juga dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental. Banyak lingkungan sosial masih memandang urusan psikologis sebagai wilayah privat yang tidak pantas dicampuri. Padahal, penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa dukungan komunitas adalah salah satu faktor protektif terkuat terhadap depresi.
Namun dalam kenyataan, kepedulian itu sering absen. Jarang ada tetangga yang peka ketika seseorang menarik diri dari pergaulan. Jarang ada sekolah yang berani membuka ruang dialog tentang perasaan muridnya. Bahkan di lingkungan kerja, masalah mental sering dianggap sekadar alasan untuk performa kerja yang “kurang produktif.”
Ketidakpedulian kolektif ini membuat depresi menjadi isu yang jarang dibicarakan di ruang-ruang terbuka. Gelombang gangguan kesehatan mental adalah problem tak berkesudahan, tanpa disadari, hingga akhirnya meledak dalam bentuk tragedi seperti di Banjaran.
Keluar dari Darurat
Kombinasi antara depresi, stigma, fasilitas yang minim, dan kepedulian sosial yang rendah menandai bahwa kita sedang menghadapi darurat kesehatan mental. WHO (2023) mencatat angka bunuh diri di Indonesia sekitar 2,4 per 100.000 orang penduduk. Namun angka ini diyakini jauh lebih rendah dibandingkan kenyataannya karena tidak sedikit kasus yang disembunyikan. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi depresi di Indonesia mencapai 6,1% pada orang dewasa, dengan tren peningkatan pasca-pandemi.
Darurat ini bukan hanya soal statistik. Ia nyata di rumah-rumah kecil yang tercekik utang, di ruang kelas yang penuh tekanan akademis, di kantor-kantor dengan target tanpa henti, hingga di desa-desa yang tak punya akses psikiater. Tragedi Banjaran hanyalah satu cermin yang memantulkan rapuhnya sistem kita.
Untuk keluar dari darurat ini, ada beberapa langkah penting yang bisa dilakukan, mulai dari membangun kesadaran dan meruntuhkan stigma, memperluas fasilitas kesehatan mental, hingga menguatkan kepedulian sosial. Edukasi publik harus menekankan bahwa depresi adalah penyakit medis, bukan kelemahan personal. Kesadaran ini harus dipelihara di keluarga, sekolah, tempat kerja, dan ruang publik.
Untuk memperluas fasilitas kesehatan mental, puskesmas di daerah kabupaten harus dilengkapi tenaga kesehatan jiwa. Layanan konseling daring perlu diperlakukan serius, bukan sekadar pelengkap. Akses harus terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Janga lupakan upaya menguatkan kepedulian sosial. Lingkungan yang sehat secara psikologis, lahir dari masyarakat yang saling peduli. Keterlibatan komunitas, tetangga, sekolah, dan organisasi lokal dalam mendeteksi gejala awal depresi, dapat menjadi penopang penting.
Kehadiran Negara
Tragedi Banjaran bukan hanya kisah pilu satu keluarga, tetapi juga cermin dari darurat kesehatan mental yang sedang kita hadapi. Ia menyingkap rapuhnya jaring pengaman sosial, minimnya fasilitas kesehatan jiwa, dan rendahnya kesadaran masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi yang sering diklaim stabil ternyata tak cukup untuk mencegah seorang ibu merasa hidupnya buntu. Kesehatan mental bukan privilese, melainkan hak setiap warga negara. Dan hak itu hanya bisa terjamin jika negara benar-benar hadir. Bukan sebatas retorika, melainkan melalui kebijakan konkret: menambah tenaga kesehatan jiwa, memperluas layanan konseling di Puskesmas, menjamin akses obat yang terjangkau, serta mengintegrasikan kesehatan mental dalam program kesejahteraan sosial.
Esai ini, karenanya, bukan sekadar belasungkawa. Ia adalah alarm keras: depresi adalah penyakit, stigma adalah sebuah kendala, dan kesehatan mental adalah hak publik. Negara tidak boleh menunggu tragedi demi tragedi untuk sadar bahwa warganya sedang tercekik oleh keputusasaan. Negara harus hadir sebagai pelindung dalam urusan yang selama ini dianggap privat dan sebatas kekurangan individu sebagai korban.
***
Peringatan: Artikel ini mengandung pembahasan mengenai bunuh diri dan kekerasan terhadap anak. Jika Anda sedang mengalami depresi atau memiliki pikiran untuk bunuh diri, segera hubungi layanan kesehatan jiwa terdekat, puskesmas atau rumah sakit setempat, atau layanan darurat lain di wilayah Anda.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB