• Opini
  • Bias Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Jawa Barat, Terkendala Stigma dan Masalah Struktural

Bias Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Jawa Barat, Terkendala Stigma dan Masalah Struktural

Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat berpeluang menjadi model provinsi yang sehat secara mental, jika mau berinvestasi bukan hanya pada infrastruktur beton.

Foggy FF

Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.

Gangguan jiwa bukan aib yang harus ditutupi. Masalah kesehatan mental bisa dipulihkan dengan mengakses layanan konsultasi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 Juli 2025


BandungBergerak.id - Selama dua tahun terakhir, saya banyak bergelut dan berdiskusi dengan beberapa komunitas dukungan psikososial berbasis peer support, untuk membantu saya dalam penulisan buku instrumen pengembangan diri. Sebagai seorang penyintas dan orang yang aktif bergiat dalam masalah kesehatan mental, saya bertemu dengan mereka yang harus berdamai dengan diagnosa depresi, kecemasan, gangguan bipolar, PTSD, dan trauma masa kecil yang tak sempat pulih.

Banyak dari mereka bukan hanya kehilangan semangat hidup, seperti yang disebut Andrew Solomon dalam The Noonday Demon, sebagai “kehilangan keberanian untuk bicara”. Bukan karena mental mereka terlahir lemah, melainkan karena ruang bicara yang aman itu tak tersedia, atau malah sama sekali tidak diberi kenyamanan untuk bicara soal kondisi kejiwaan mereka, dan terbebas dari stigma yang melabeli.

Mendiskusikan isu kesehatan mental, seperti mengundang delik sinis dan putaran bola mata sebelum mencibir: bahwa mereka dianggap lemah iman, dianggap ‘kurang bersyukur’, atau bersikap melebih-lebihkan.

Seorang rekan dalam korespondensi buku yang saya tulis, adalah penyintas trauma kompleks yang tadinya tinggal di sebuah kota kecil di Jawa Barat, ia sempat bilang: “Saya mencoba ke puskesmas tadinya. Tapi ketika tenaga medis mendengar saya bicara soal pikiran bunuh diri, mereka malah memanggil anggota keluarga. Sejak itu saya tidak pernah kembali, karena khawatir jadi aib”.

Pengalaman seperti itu bukan cerita tunggal. Kadang kejadiannya berulang, beresonansi dalam beberapa sesi curhat para penyintas, chat via akun media sosial, dan obrolan dalam beberapa lingkar dukungan kecil yang saya datangi untuk diskusi. Lantas, apakah ini karena tenaga kesehatan kita tidak layak? Tentu bukan. Kebanyakan dari mereka bahkan sangat ingin menolong. Masalahnya adalah sistemnya sendiri tak mendukung, pelatihan tenaga bantuan amat terbatas, prosedur yang sudah tidak kontekstual dengan spektrum gangguan, dan stigma yang juga hidup dalam struktur pelayanannya sendiri.

Meminjam data dari Riskesdas 2023, prevalensi gangguan mental emosional di Jawa Barat berada pada angka 10,4 persen, lebih tinggi dari rerata nasional. Namun data dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2024) menunjukkan bahwa rasio psikolog klinis di Jawa Barat hanya sekitar 1,7 per 100.000 penduduk; data ini menunjuk ketersediaan psikolog di Jawa Barat termasuk rendah secara nasional. Di banyak kabupaten/kota, bahkan cuma ada satu atau dua psikolog klinis yang harus melayani ribuan pasien.

Masalah kapasitas ini diperparah dengan keterbatasan akses dan ketimpangan distribusi pelayanan. Laporan Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2024 mencatat, lebih dari seribu puskesmas di provinsi ini, tapi hanya sekitar 12 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa menyeluruh, dan sebagian besar berada di kawasan urban. Masyarakat di daerah pinggiran sering kali hanya memiliki dua pilihan, menempuh puluhan kilometer ke kota terdekat atau diam saja menekan kondisi psikisnya.

Seperti dikutip dari teori biopsikososial, yang dijelaskan oleh seorang psikiater bernama George Engel (1977), gangguan mental itu muncul dari interaksi antara aspek biologis (kerentanan genetik, ketidakseimbangan kimia otak), psikologis (pola pikir negatif, mekanisme koping yang lemah), dan kondisi sosial (kemiskinan, stigma, kekerasan, isolasi). Maka penanganannya pun tidak bisa sebatas terapi farmakologis (dengan cara minum obat) atau spiritualistik (lewat berdoa dan sembahyang). Ia memerlukan pendekatan sistemik yang menjangkau lebih dalam tentang riwayat hidup seseorang, dan mengujinya dalam beberapa tes psikologi dan psikiatri.

Dan pada praktiknya di lapangan, pendekatan sistemik itu memang masih sulit untuk diterapkan. Terlalu sering penyintas gangguan mental justru dipaksa mengikuti kerangka yang normatif. Bagaimana mereka harus minum obat secara rutin, diam, dan menerima agar “jangan sampai malu-maluin keluarga”. Dalam banyak diskusi komunitas yang saya ikuti, kata "malu" lebih sering muncul dalam perbincangan dibanding dengan data pemulihan.

Ungkapan di atas selaras dengan temuan Mental Health Literacy Survey Indonesia (Unpad, 2024): lebih dari 60 persen masyarakat di Jawa Barat masih meyakini bahwa orang dengan gangguan jiwa adalah mereka yang “bermasalah secara spiritual”, atau “kurang bersosialisasi”. Sebagian besar responden juga menyatakan, kalau mereka merasa harus menyembunyikan anggota keluarganya yang mengalami gangguan mental.

Di titik inilah kondisi satir itu muncul. Betapa kita hidup dalam sistem yang masih menjadikan gangguan mental sebagai cerita memalukan dan terpinggirkan. Kita membanggakan revolusi industri 4.0, tapi belum mampu menciptakan sistem kesehatan mental 1.0 yang layak dan menjangkau mereka yang membutuhkan. Kita mendanai taman kota yang estetik, tapi masih bingung menyediakan satu psikolog di tiap kecamatan.

Salah satu penyintas yang pernah berdiskusi dengan saya berucap begini, “Yang saya butuhkan bukan motivasi atau ceramah rohani. Saya butuh orang yang mau mendengar dengan tenang, tanpa ingin cepat-cepat memberi solusi atau bahkan menghakimi”. Kalimat ini sejalan dengan pendekatan trauma-informed care, yang menekankan pentingnya rasa aman, empati, dan validasi pengalaman dalam proses pemulihan psikologis. Tetapi pendekatan ini belum menjadi standar pemulihan bagi para penyintas dan pasien gangguan kesehatan mental.

Saya tidak sedang menuduh bahwa Jawa Barat abai. Program seperti Jabar Sehat Jiwa adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Namun upaya itu masih bersifat fragmentaris. Tanpa integrasi layanan jiwa dalam sistem rujukan primer, tanpa anggaran yang memadai (hanya 0,18 persen dari total anggaran kesehatan nasional, Kemenkes RI 2024), dan tanpa gerakan masyarakat yang berani melawan stigma, maka upaya ini akan berjalan terseok.

Baca Juga: Seandainya Kartini Masih Hidup di Tengah Maraknya Kasus Femisida di Tanah Air
Kasus Kekerasan yang Marak di Indonesia dan Fenomena Victim Blaming, Indikator Rendahnya Moralitas Bangsa

Satu lagi referensi yang bisa kita rujuk, yaitu buku Lost Connections (2018), di sini Johann Hari menulis, “Depression is a disease of disconnection”. Jika kita tidak mulai menghubungkan sistem, komunitas, keluarga, dan kebijakan, maka depresi akan terus tumbuh di ruang-ruang kosong antarstruktur. Dan orang-orang yang mengalaminya akan tetap merasa sendiri, semua terjadi di rumah, di sekolah, bahkan di puskesmas yang seharusnya menjadi tempat pertolongan terdekat.

Maka saya percaya, kesehatan mental bukan hanya soal klinik, tapi juga soal kebijakan, pendidikan, dan keberanian kolektif untuk membicarakan luka, trauma, kegelisahan, dan gejala. Pengalaman saya dalam lingkar dukungan membuat saya sadar bahwa yang paling dibutuhkan bukan belas kasihan atau motivasi, melainkan pengakuan bahwa kesehatan mental adalah bagian dari hak dasar warga dunia. Bahwa tidak ada yang salah dari merasa hancur. Yang salah adalah sistem yang membiarkan seseorang diam dalam kehancuran.

Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat punya peluang besar untuk menjadi model provinsi yang sehat secara mental, jika kita mau berinvestasi bukan hanya pada infrastruktur beton, estetika, dan literasi tapi yang paling penting juga pada infrastruktur berupa kepedulian dan empati.

Dalam dunia yang sibuk membangun sarana dan prasarana, sibuk berliterasi dengan cerita, barangkali tindakan paling revolusioner adalah menyediakan ruang aman dan nyaman untuk menjadi sehat secara mental, spiritual, dan fisik.

Karena pada akhirnya, masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat yang bebas dari problematika, tetapi masyarakat yang memiliki keberanian untuk menghadapinya secara kolektif. Kesehatan mental bukan isu tabu, melainkan fondasi kehidupan sosial yang beradab untuk menjadi manusia utuh. Maka jika kita sungguh ingin membangun sebuah kota yang beradab, bukan hanya dalam data statistik, melainkan dalam kenyataan hidup sehari-hari—kita harus mulai dari hal yang paling mendasar: yaitu mengakui bahwa gangguan kesehatan mental itu nyata, dan penyembuhannya tidak bisa dibebankan kepada individu semata. 

Sudah saatnya kita berhenti memperlakukan penderitaan psikologis sebagai kelemahan pribadi, dan mulai membangunnya sebagai tanggung jawab publik. Kita tidak bisa terus mengandalkan ketahanan individu dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk pemulihan diri yang aman. Kita perlu ekosistem yang bisa hadir, yang tanggap, dan yang tidak mendiamkan penderita apalagi memberi stigma. Sebab jika kita terus membiarkan ribuan orang menganggap bahwa kondisi trauma dan kecemasan sebagai kelemahan, maka jangan kaget jika nanti yang tumbuh adalah masyarakat yang terlihat tenang, tapi depresi di dalam.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//