• Opini
  • Kasus Kekerasan yang Marak di Indonesia dan Fenomena Victim Blaming, Indikator Rendahnya Moralitas Bangsa

Kasus Kekerasan yang Marak di Indonesia dan Fenomena Victim Blaming, Indikator Rendahnya Moralitas Bangsa

Fenomena victim blaming masih kerap terjadi dalam kasus kekerasan seksual di Indonesia. Budaya patriarki sering kali membuat masyarakat cenderung menyalahkan korban.

Foggy FF

Novelis dan cerpenis, aktif menulis dan bergiat kampanye tentang isu kesehatan mental serta kesetaraan gender. Ig @halamanhalimun

Ilustrasi. Kekerasan seksual bisa terjadi kapan pun dan mana saja, membutuhkan penegakan hukum yang tegas pada pelaku. (Ilsutrator: Arctic Pinangsia Paramban/BandungBergerak)

14 Maret 2025


BandungBergerak.id – Rakyat Indonesia tampaknya punya banyak “pekerjaan rumah” (PR) –bukan dari sekolah, tapi dari kehidupan nyata. PR yang tak kunjung selesai, bertumpuk, dan terus bertambah. Yang satu belum kelar, yang lain sudah datang. Ini bukan PR biasa, melainkan PR yang membuat cemas, PR yang mengancam nalar, PR yang sayangnya, sering kali justru dikerjakan dengan cara yang salah.

Salah satunya adalah PR tentang moralitas. Negeri yang katanya berbudaya dan religius ini seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, bukan? Tapi kok, yang justru terjadi malah sebaliknya? Masih banyak orang yang lebih sibuk mencari kesalahan korban ketimbang menghukum pelaku.

Kasus kekerasan seksual misalnya, akrab dengan komentar-komentar ini: “Salah korban, kenapa pakai baju seperti itu”, atau, “Salah sendiri, kenapa jalan sendirian.”

Rasanya, kok masyarakat lebih hobi jadi dosen yang mengajarkan "etika perempuan" daripada jadi hakim yang menghukum pelaku. Inilah yang disebut sebagai fenomena “Victim Blaming”.

Victim blaming ini adalah PR besar yang membuat kita bertanya-tanya: apa benar moralitas kita sedang baik-baik saja? Atau sebenarnya kita ini hidup dalam masyarakat yang pura-pura bermoral tapi malah menormalisasi kebusukan?

PR ini tidak hanya soal victim blaming. Ada banyak PR lain yang tak kalah menyebalkan: kemiskinan yang diwariskan dari generasi ke generasi, pendidikan yang katanya gratis tapi tetap saja banyak anak putus sekolah, kesehatan yang makin mahal, hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, dan politisi yang lebih jago bikin drama ketimbang kebijakan.

Rakyat terus dicekoki janji manis, tapi di saat yang sama disuruh menyelesaikan PR-PR yang mestinya jadi tanggung jawab penguasa. Sementara itu, mereka yang berkuasa justru sibuk berdebat soal hal-hal tak penting, mengabaikan yang seharusnya dikerjakan. Jadi, kapan PR ini bisa selesai? Atau mungkin, kita memang sedang dipaksa untuk terus hidup dalam kecemasan tanpa ujung?

Pada awal tahun 2025, Indonesia kembali dihadapkan pada meningkatnya kasus kekerasan seksual. Sebagai contoh, Polres Tana Toraja menerima tujuh laporan kekerasan seksual hanya dalam bulan Januari, dengan enam korban di antaranya adalah anak di bawah umur. Para pelaku, yang berusia antara 19 hingga 76 tahun, sebagian besar memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti tetangga atau kerabat.

Fenomena victim blaming atau menyalahkan korban masih kerap terjadi dalam kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia. Budaya patriarki dan stereotip gender yang kuat sering kali membuat masyarakat cenderung menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya. Misalnya, korban dianggap ceroboh atau memancing pelaku melalui pakaian atau perilakunya.

Dampak dari victim blaming ini tentunya sangat merugikan korban. Korban dapat merasa malu, takut untuk melapor, mengalami trauma berkepanjangan, depresi, bahkan berpikir untuk bunuh diri. Selain itu, fenomena ini menghambat proses hukum, karena korban enggan melapor sehingga pelaku tetap bebas tanpa pertanggungjawaban.

Data menunjukkan bahwa 9 dari 10 korban kekerasan seksual di Indonesia belum mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara. Meskipun Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak korban yang hak-haknya belum terpenuhi, termasuk hak atas pemulihan dan kompensasi.

Fenomena victim blaming mencerminkan rendahnya moralitas bangsa dan kurangnya empati terhadap korban. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan edukasi yang masif kepada masyarakat mengenai pentingnya mendukung korban dan tidak menyalahkan mereka. Selain itu, penegakan hukum yang tegas serta perlindungan yang komprehensif bagi korban harus menjadi prioritas, agar keadilan dapat terwujud dan kasus-kasus serupa dapat diminimalisir di masa mendatang.

Kekerasan di Indonesia, baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun seksual, semakin terungkap ke permukaan. Kasus-kasus kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak yang terus terjadi ini, sering kali tidak mendapatkan penanganan yang layak. Dan ketika kita dihadapkan pada komentar-komentar masyarakat yang nir-empati, sebaiknya kita kembali mempertanyakan apakah nurani kolektif itu masih ada?

Kasus kekerasan di lingkungan domestik, tempat kerja, institusi pendidikan, maupun di ruang publik ini memang harus menjadi perhatian berbagai pihak. Dari data Komnas Perempuan, angka kekerasan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, serta kekerasan berbasis gender lainnya. Sayangnya, banyak kasus yang tidak terungkap karena korban takut dan malu, akibat tekanan sosial dan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.

Mirisnya, kekerasan ini juga kerap dilakukan oleh aparat atau kelompok tertentu terhadap masyarakat sipil. Kasus-kasus penganiayaan, persekusi, dan penyalahgunaan wewenang menjadi cerminan bahwa kekerasan memang masih menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat kita.

Baca Juga: UPI Sudah Berani Membuka Data Kasus Kekerasan Seksual, Kampus-kampus Lain Kapan?
Kekerasan Seksual Kembali Terjadi di Bandung, Keseriusan Penanganan dan Pencegahan Perlu Dipertajam
Pelecehan Turis Singapura di Bandung, Ruang Publik Kota Kembang Belum Aman dari Kekerasan Seksual

Rendahnya Moralitas Bangsa

Victim blaming adalah masalah yang paling memprihatinkan, kecenderungan menyalahkan korban atas kejahatan yang menimpanya, alih-alih menempatkan kesalahan pada pelaku merupakan sebuah fenomena yang mengindikasikan rendahnya moral kita. Victim blaming tidak hanya menyakiti korban, tetapi juga menghambat upaya mereka untuk mendapatkan keadilan. Rasa takut akan stigma sosial dan tekanan dari lingkungan, yang membuat korban memilih diam daripada melaporkan kejadian yang mereka alami, adalah salah satu upaya masyarakat membungkam proses mencari keadilan.

Masyarakat yang seharusnya menjadi pendukung korban sexual harrasment justru berperan dalam menekan dan menyalahkan. Hal ini menunjukkan masih adanya budaya patriarki yang mengakar, kurangnya edukasi mengenai kesetaraan gender, serta lemahnya sistem hukum dalam memberikan perlindungan bagi korban.

Katanya, bangsa kita ini menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, nyata-nyata ini harus menjadi refleksi buat semua pihak. Perlu adanya langkah konkret dalam membangun kesadaran kolektif agar masyarakat lebih berempati terhadap korban kekerasan seksual atau tindak pelecehan di ruang privat maupun publik. Pendidikan sejak dini tentang kesetaraan, hukum yang lebih tegas terhadap pelaku kekerasan, serta pemberdayaan korban agar berani berbicara adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menekan peningkatan moralitas bangsa.

Hentikan Victim Blaming dan Dukung Korban

Untuk mengakhiri siklus kekerasan dan victim blaming, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.

Edukasi Masyarakat: Kesadaran publik harus ditingkatkan mengenai pentingnya empati terhadap korban dan memahami bahwa kekerasan bukan kesalahan korban, melainkan kesalahan pelaku.

Reformasi Hukum: Penegakan hukum harus lebih tegas dalam menangani kasus kekerasan dan tidak boleh bias terhadap korban. Selain itu, harus ada perlindungan hukum yang lebih kuat bagi korban agar mereka merasa aman untuk melapor.

Menyediakan Ruang Aman bagi Korban: Lembaga perlindungan korban dan layanan konseling psikologis harus diperbanyak agar korban merasa didukung dan mendapatkan pemulihan yang layak.

Peran Media yang Bertanggung Jawab: Media harus berhenti menggiring opini publik yang menyalahkan korban. Sebaliknya, media harus menjadi alat untuk menyuarakan keadilan dan mendorong perubahan sosial.

Karena kekerasan di Indonesia masih menjadi isu yang mendesak untuk ditangani, maka memang sudah menjadi tugas kita sebagai masyarakat yang peduli, untuk saling mengedukasi awareness ini. Mengentaskan penyakit bernama victim blaming, yang justru semakin memperburuk keadaan dengan membuat korban takut untuk berbicara dan mencari keadilan. Perubahan harus dimulai dari kesadaran masyarakat untuk mendukung korban, bukan menyalahkan mereka. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkeadilan bagi semua.

Sebagaimana kata Tan Malaka, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda." Namun, apa jadinya jika kemewahan itu tergerus oleh budaya yang membenarkan penindasan dan menyalahkan korban? Fenomena victim blaming bukan sekadar kebiasaan buruk, tetapi cerminan rapuhnya moralitas kita sebagai bangsa. Jika kita terus merawat sikap ini, lambat laun bukan hanya para korban yang kehilangan harapan, tetapi juga kita semua yang diam dan membiarkan ketidakadilan tumbuh subur. Mungkin, kemewahan terakhir yang kita miliki bukan lagi idealisme, melainkan kepura-puraan bahwa kita masih menjadi bangsa yang beradab.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan tentang Kekerasan Seksual

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//