Seandainya Kartini Masih Hidup di Tengah Maraknya Kasus Femisida di Tanah Air
Kartini tak hanya memberikan kita inspirasi untuk mendobrak batasan sosial, tapi juga untuk berjuang agar perempuan memiliki kebebasan untuk hidup tanpa rasa takut.

Foggy FF
Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.
22 April 2025
BandungBergerak.id – Sebagai bocah perempuan yang hidup di negara penuh seremoni, saya pernah merasakan perayaan ini. Setiap tanggal 21 April, kita diingatkan tentang peran seorang perempuan berkebaya dan budaya tulis menulis yang dikenalkannya. Bagaimana ia melawan tradisi, dan memberi kita alasan untuk bangga menyebut diri sebagai perempuan Indonesia. R.A. Kartini, yang mengenalkan kita pada arti kemerdekaan perempuan melalui surat-suratnya yang berani, kini dikenang sebagai simbol emansipasi. Namun, apa jadinya jika Kartini masih hidup di zaman ini? Apa pendapatnya jika ia melihat realitas perempuan di Indonesia yang, sayangnya, masih berjuang melawan ketidakadilan, salah satunya dalam bentuk yang paling mengerikan: femisida?
Femisida, pembunuhan perempuan berdasarkan jenis kelamin, adalah kenyataan yang tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Di Indonesia, data dari Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pada tahun 2023 saja, ada lebih dari 500 kasus femisida yang dilaporkan. Fenomena ini bukanlah angka yang bisa disembunyikan di balik data statistik semata, melainkan cermin dari ketidakadilan gender yang masih mengancam kehidupan kita sehari-hari. Dan jika Kartini bisa melihatnya, mungkin ia akan menangis, atau malah akan terjun ke medan pergerakan, lalu bangkit melawan?
Yang pasti, Kartini tentu tidak akan tinggal diam melihat perempuan Indonesia “dihabisi”, oleh fenomena femisida mengerikan yang makin marak terjadi. Sebagai sosok yang dikenal dengan idealisme dan pemikiran yang jauh melampaui zamannya, Kartini akan melihat femisida bukan hanya sebagai isu kriminal, melainkan sebagai dampak dari sistem patriarki yang terus berkembang di masyarakat. Ini adalah masalah struktural yang tak cukup diselesaikan dengan kebijakan basa-basi semata, melainkan dengan perubahan budaya dan hukum yang jauh lebih mendalam dan menyeluruh. Kartini, dengan cermat, mungkin akan menggali lebih dalam teori feminisme, seperti teori feminisme radikal yang menyoroti patriarki sebagai akar masalah utama.
Baca Juga: Femisida Bukan Kejahatan Biasa, Ada Unsur Gender yang Melatarbelakanginya
Menyibak Penyebab Terjadinya Femisida, Mengurai Latar Belakang Pembunuhan Perempuan
Hari Kartini: Lebih dari Sekadar Kebaya, Saatnya Perempuan Bersuara
Patriarki dan Kekerasan pada Perempuan
Teori feminisme radikal yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Andrea Dworkin dan Catharine MacKinnon, merupakan pisau analisis yang mampu menjelaskan bahwa patriarki tidak hanya menciptakan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial, tetapi juga membentuk pola kekerasan terhadap perempuan. Dari sudut pandang ini, femisida bukan hanya sekedar pembunuhan, melainkan bentuk kontrol yang ekstrem atas tubuh dan hak-hak perempuan. Dalam konteks ini, Kartini akan melihat femisida sebagai manifestasi nyata dari gagalnya negara dalam melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender.
Bahkan Catharine MacKinnon, yang memperjuangkan kesetaraan gender secara internasional dan menjadi Penasihat Khusus Gender pertama untuk Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional, mengatakan bahwa perjuangan harus terfokus pada dekolonialisasi pikiran dan praktik untuk mencapai pembebasan perempuan yang sejati.
MacKinnon menyinggung bahwa, hukum dan masyarakat itu tak netral; keduanya dibangun dari perspektif laki-laki sebagai standar manusia. Maka jangan heran jika pembunuhan terhadap perempuan karena dia “menolak dinikahi” atau “terlalu aktif di media sosial” masih dibungkus label “krisis emosi laki-laki”. Femisida pun dijelaskan dengan empati selektif –bukan sebagai kekerasan sistemik, melainkan sebagai kisah asmara yang kebablasan.
Kasus pembunuhan jurnalis Juwita di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada Maret 2025, menjadi salah satu contoh nyata dari femisida yang terjadi di Indonesia. Juwita, seorang jurnalis berusia 23 tahun, ditemukan tewas dengan luka-luka yang mencurigakan. Awalnya diduga sebagai kecelakaan tunggal, namun penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa pelaku adalah oknum TNI AL berinisial J, yang merupakan kekasih korban. Bukti dari laptop korban menunjukkan komunikasi terakhir antara keduanya, di mana pelaku mengatur pertemuan sebelum kejadian tragis tersebut terjadi.
Menurut teori kekerasan struktural oleh Johan Galtung, femisida seperti ini tidak hanya merupakan tindakan individu, tetapi juga hasil dari struktur sosial yang memungkinkan kekerasan terhadap perempuan terjadi dan berulang. Budaya patriarki, ketimpangan gender, dan kurangnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan menjadi faktor-faktor yang mendukung terjadinya femisida. Kasus Juwita menyoroti perlunya perubahan sistemik untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Mungkin, jika Kartini masih hidup, ia akan mendesak kita untuk tidak hanya merayakan Hari Kartini dengan busana adat dan pidato kosong tentang kemajuan perempuan, tetapi untuk beraksi. Kartini akan mengajak kita melihat kembali sejarah panjang perempuan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata. Di samping itu, ia mungkin akan menyerukan untuk meninjau ulang kebijakan hukum yang belum berpihak pada perempuan dan menuntut sistem yang lebih responsif terhadap kekerasan berbasis gender.
Kita bisa menelaah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12/2022). UU ini adalah lompatan besar karena mengakui bentuk-bentuk kekerasan seksual berbasis gender. Walau tidak menyebut femisida secara eksplisit, UU TPKS mengakui adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender, yang merupakan akar dari femisida. Serta, peran Komnas Perempuan, dalam mendorong pengakuan hukum atas femisida melalui penelitian, laporan tahunan, dan advokasi kebijakan. Komnas Perempuan juga secara konsisten, terus menyuarakan perlunya definisi hukum femisida dalam sistem peradilan Indonesia.
Bukan tentang Melawan Pria
Jika ia masih hidup, tentunya Kartini akan mengingatkan kita bahwa feminisme bukanlah tentang melawan pria, tetapi melawan ketidakadilan yang menekan perempuan. Ia akan menjadi suara bagi para perempuan yang tidak bisa bersuara, bagi mereka yang kehilangan hak hidup mereka hanya karena mereka lahir sebagai perempuan. Mungkin dengan suara yang lebih keras, ia akan meminta kita untuk melihat femisida bukan hanya sebagai tragedi pribadi, tetapi sebagai peringatan bagi kita semua tentang pentingnya kesetaraan hak bagi setiap individu.
Sebagai simbol emansipasi perempuan, Kartini tak hanya memberikan kita inspirasi untuk mendobrak batasan-batasan sosial, tetapi juga untuk berjuang agar perempuan memiliki kebebasan untuk hidup tanpa rasa takut. Jika ia masih hidup hari ini, Kartini tidak akan hanya berbicara soal pendidikan dan kebebasan berpendapat, tetapi juga tentang kebebasan untuk hidup, bebas dari ancaman kekerasan dan kematian. Inilah saatnya bagi kita, generasi penerusnya, untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga bertindak—agar perjuangan Kartini terus hidup, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam setiap langkah kita untuk melawan femisida dan ketidakadilan gender.
Setiap April, negeri ini sibuk melakukan seremoni yang merepresentasi semangat Kartini: anak-anak disuruh berkebaya, bapak-bapak pidato tentang emansipasi, dan spanduk “Habis Gelap Terbitlah Terang” menggantung di depan kelurahan. Lalu, di balik gegap gempita perayaan itu, angka berkata lain: Data Komnas Perempuan, sepanjang awal 2025 saja sudah tercatat 152 kasus femisida—mayoritas dilakukan oleh pasangan atau orang terdekat. Tampaknya, yang terbit bukanlah terang, melainkan berita duka di kolom kriminal.
Kita merayakan Kartini dengan beragam quotes terkait semangat pemberdayaan pada unggahan Instagram, tapi lupa bahwa perjuangannya bukan sekadar soal baju adat dan puisi anak SD. Ia tentang nyawa perempuan yang masih dianggap aset kepemilikan, bukan kebebasan individu. Maka barangkali, Kartini tak butuh lagi diperingati dengan lomba merangkai kata, melainkan dengan keberanian menyusun ulang makna kuasa, membongkar relasi timpang, dan menuntut negara hadir—bukan hanya untuk meresmikan sebuah selebrasi, tapi untuk mencegah agar perempuan tidak lagi dimonumenkan karena mati dibunuh.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang Kartini, dan tulisan-tulisan tentang perempuan