• Berita
  • Femisida Bukan Kejahatan Biasa, Ada Unsur Gender yang Melatarbelakanginya

Femisida Bukan Kejahatan Biasa, Ada Unsur Gender yang Melatarbelakanginya

Femisida, jenis kejahatan terhadap perempuan yang belum banyak dikenal. Kasus femisida ini sudah sering terjadi.

Diskusi Seruan Solidaritas untuk Korban Femisida yang digelar Great UPI, di Taman Bareti UPI, Bandung, Jumat, 4 Oktober 2024. (Foto: Noviana Ramadhani/BandungBergerak)

Penulis Noviana Rahmadani7 Oktober 2024


BandungBergerak.id – Femisida bukan kejahatan biasa. Kasus femisida terbaru menimpa pada AA, seorang remaja perempuan berusia 13 tahun di Palembang, Sumatera Selatan. AA ditemukan tewas di Tempat Pemakaman Umum Talang Kerikil setelah dianiaya dan diperkosa oleh empat anak laki-laki. 

Dari kasus tersebut tampak bahwa femisida merupakan tindak kekerasan seksual tersistematis yang menyasar perempuan. Pelecehan atau kekerasan terhadap perempuan dilanggengkan dan dianggap normal. Namun, banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan yang mencuat namun tidak diakui sebagai femisida, sehingga rentan dianggap sebagai kekerasan biasa.

Data terbaru dari Komnas Perempuan menunjukkan peningkatan kasus femisida dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, tercatat 95 kasus indikasi femisida. Angka ini kemudian melonjak drastis menjadi 237 kasus pada tahun 2021 dan mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan 307 kasus. Meskipun terjadi sedikit penurunan pada tahun 2023 menjadi 159 kasus.

Data yang berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan tersebut tidak diperoleh dari bilik aduan melainkan merujuk pada pemberitaan online mengenai pembunuhan terhadap perempuan.

Perempuan menjadi sasaran kekerasan dapat dilihat dari konsep subordinasi, misogini, dan marjinalisasi. Subordinasi adalah sikap yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Pandangan ini muncul dalam berbagai aspek kehidupan sosial, di mana laki-laki dianggap lebih berharga dan perempuan ditempatkan pada posisi kedua.

Selain itu, misogini atau kebencian terhadap perempuan merupakan faktor lain yang mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender. Misogini merujuk pada kebencian yang tidak didasarkan pada alasan pribadi melainkan semata karena seseorang berjenis kelamin perempuan.

“Dia benci sama orang itu karena orang itu perempuan,” kata Nadia, dalam diskusi Seruan Solidaritas untuk Korban Femisida yang digelar Great UPI, di Taman Bareti UPI, Bandung, Jumat, 4 Oktober 2024.

Faktor marjinalisasi juga memberikan pengaruh terhadap nasib perempuan. Ketidaksetaraan akses dalam bidang ekonomi, sosial, dan pendidikan membuat perempuan sering kali tertinggal dibandingkan laki-laki. Misalnya, pendidikan lebih diprioritaskan bagi laki-laki sementara perempuan dinilai cukup dengan pendidikan dasar. Akibatnya, perempuan menjadi lebih bergantung dan berada dalam posisi lemah secara ekonomi dan sosial.

“Ada upaya untuk memiskinkan perempuan, mereka tidak diberi akses untuk kuliah karena masih melekat anggapan bahwa perempuan pada akhirnya akan hidup di dapur,” lanjut Nadia.

Berikut beberapa bentuk femisida yang diakui di deklarasi Vienna 2012

  1. Pembunuhan sebagai akibat kekerasan pasangan intim.
  2. Penyiksaan dan pembunuhan misoginis.
  3. Pembunuhan atas nama “kehormatan”.
  4. Pembunuhan perempuan dan anak perempuan dalam konflik bersenjata.
  5. Pembunuhan terkait mas kawin.
  6. Pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender.
  7. Pembunuhan perempuan pribumi dan kelompok marginal.
  8. Infantisida dan feticida berbasis gender.
  9. Kematian akibat mutilasi genital.
  10. Pembunuhan terkait tuduhan sihir.
  11. Femisida terkait geng, perdagangan manusia, dan kejahatan terorganisir.

Baca Juga: Melontarkan Ucapan Berbau Seksual di Muka Umum adalah Bentuk Kekerasan Seksual
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak

Ilustrasi. Stop kekerasan seksual. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)
Ilustrasi. Stop kekerasan seksual. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

Upaya Memutus Rantai Femisida

Indonesia belum memiliki landasan hukum khusus untuk kasus femisida. Kebanyakan kasus hanya dianggap sebagai pembunuhan biasa tanpa memperhitungkan motif gender di baliknya. Akibatnya, penanganan kasus femisida tidak sistematis dan cenderung mengabaikan faktor-faktor yang membedakannya dari pembunuhan biasa.

“Tidak adanya aturan khusus dalam pasal hukum Indonesia untuk mengategorikan dan menghukum pelaku femisida menunjukkan betapa rendahnya kesadaran hukum kita terhadap isu ini,” kata Nidan, di acara diskusi yang sama.

Ketiadaan payung hukum spesifik untuk menangani femisida berakibat pada melonjaknya jumlah kasus tanpa upaya preventif yang memadai. Mengingat femisida adalah puncak piramida kekerasan seksual, maka pemutusan rantai kasus perlu menyasar pada seluruh aspek yang mengarah pada akar permasalahan.

Terdapat kesenjangan antara pentingnya edukasi kekerasan berbasis gender sejak dini dengan implementasinya dalam kurikulum pendidikan Indonesia. Padahal, pemahaman tentang kekerasan berbasis gender krusial bagi semua pihak, baik pendidik, orang tua, maupun anak-anak.

“Penyebaran video hubungan seksual yang melibatkan anak-anak merupakan hasil dari minimnya edukasi seks di sekolah. Pendidikan seksualitas yang benar harusnya mengajarkan lebih dari sekadar mengenali organ tubuh namun juga harus mencakup bagaimana menghargai individu lain dan membangun rasa hormat,” kata Nidan.

Nidan menilai bahwa menyuarakan isu femisida bukan hanya tanggung jawab perorangan melainkan sebagai gerakan bersama. Selain itu, femisida merupakan isu yang masih belum banyak diketahui, sehingga diperlukan upaya kolektif untuk mengedukasi dan menyadarkan lebih banyak orang mengenai femisida.

“Setiap orang punya power untuk menciptakan perubahan,” tandas Nidan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca tulisan lain Noviana Ramadhani, atau artikel-artikela lain tentang Kekerasan Seksual

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//