Hari Kartini: Lebih dari Sekadar Kebaya, Saatnya Perempuan Bersuara
Saatnya menjadikan Kartini sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk pembungkaman perempuan. Mengenangnya tidak cukup dengan busana dan puisi.

Fathan Muslimin Alhaq
Penulis konten lepas asal Jakarta
21 April 2025
BandungBergerak.id – Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini dengan semarak kebaya, lomba puisi, hingga pidato yang mengutip kata-kata manis dari surat-surat sang pelopor emansipasi perempuan. Namun, di balik kain brokat dan senyum formalitas itu, ada kegelisahan mendalam, apakah kita benar-benar menghormati perjuangan Kartini, atau justru membungkusnya dalam nostalgia tanpa keberpihakan?
Kartini bukanlah ikon pasif yang hanya duduk anggun dalam balutan kebaya. Ia adalah penulis yang tajam, perempuan muda yang gelisah terhadap struktur sosial patriarkal, dan pemikir progresif yang menginginkan perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan, kesempatan, dan kebebasan berpikir.
Dalam korespondensinya yang dibukukan sebagai “Habis Gelap Terbitlah Terang”, tergambar dengan jelas bagaimana Kartini menggugat praktik-praktik ketidakadilan yang mengikat perempuan Jawa: kawin paksa, poligami, hingga pelarangan belajar. Penelitian Mustamin (2019) dalam Jurnal Al-Adyan menekankan bahwa Kartini memperjuangkan kesetaraan intelektual antara laki-laki dan perempuan sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan struktural.
Sayangnya, dalam arus sejarah yang panjang, semangat emansipasi itu perlahan dibungkam oleh simbolisme dangkal. Masa Orde Baru menjadikan Kartini sebagai patron ibuisme negara –lembut, patuh, domestik. Perempuan dikonstruksikan ulang untuk sesuai dengan narasi kekuasaan: bukan sebagai agen perubahan, tetapi sebagai penjaga stabilitas rumah tangga. Sebagaimana dijelaskan Wulandari (2020) dalam Jurnal JSIPOL, konstruksi Kartini sebagai ikon nasional diformulasi untuk meredam potensi revolusioner perempuan dengan membingkainya dalam citra keibuan yang jinak.
Kebaya pun mengalami nasib serupa. Apa yang semula merupakan simbol keanggunan dan identitas budaya perempuan Indonesia berubah menjadi semacam “kostum wajib” yang dikenakan setiap peringatan 21 April. Banyak institusi mengharuskan perempuan mengenakan kebaya tanpa memberi ruang untuk merenungkan maknanya.
Yuniarti dan Latifah (2020) dalam Jurnal Humanika mencatat bahwa meski kebaya bisa menjadi simbol ekspresi gender dan kelas, ia juga bisa menjadi instrumen simbolik yang memaksa perempuan untuk tampil “ideal” menurut standar budaya yang tidak selalu progresif. Ketika perempuan dirayakan hanya dalam estetika dan bukan suara, maka peringatan itu telah melupakan substansinya.
Baca Juga: Raden Ajeng Kartini, di Balik Dinding Pingitan
AKU DAN BUKU-BUKU PRAM #14: Mengapa Harus Kartini
Perempuan di Balik Layar, Merawat Festival Bandung Menggugat
Suara Kartini
Hal yang paling fundamental dalam pemikiran Kartini adalah pendidikan. Ia percaya bahwa hanya dengan pendidikan, perempuan dapat membebaskan diri dari kungkungan tradisi. Ia menulis bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemandirian berpikir dan pilihan hidup. Namun hari ini, tantangan itu masih berulang. Banyak perempuan di pelosok negeri yang mengalami drop-out karena dinikahkan dini, dibatasi akses mobilitasnya, atau dianggap tak perlu sekolah tinggi-tinggi. Astuti (2020) dalam Jurnal Tarbiyatuna mengungkapkan bahwa praktik patriarki kultural masih menjadi penghalang utama kesetaraan pendidikan bagi perempuan di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan dan marjinal.
Namun suara perempuan tak berhenti di ruang kelas. Kartini ingin perempuan tidak hanya berpendidikan, tetapi juga bersuara. Dalam politik, ekonomi, hingga kebijakan publik, perempuan perlu hadir sebagai pengambil keputusan, bukan hanya pelengkap kuota. Sayangnya, suara perempuan masih sering dianggap "bising", "tidak tahu tempat", bahkan dianggap ancaman. Harsono dan Widodo (2023) dalam Jurnal Al-Munzir menyebut kondisi ini sebagai patriarki terselubung, di mana struktur sosial tampak netral, tetapi pada dasarnya menghalangi perempuan untuk benar-benar setara dalam praktik.
Hari Kartini seharusnya menjadi momen kolektif untuk menolak peringatan yang berhenti di permukaan. Ini saatnya menjadikan Kartini sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk pembungkaman perempuan –baik dalam ranah keluarga, masyarakat, hingga negara. Saatnya menyalakan kembali semangat kritisnya, bukan sekadar menirukan ucapannya.
Perempuan hari ini adalah Kartini yang hidup dalam bentuk baru. Mereka berdiskusi di ruang digital, membangun komunitas, mengedukasi publik, menyuarakan perubahan lewat seni, jurnalisme, hingga kebijakan. Namun mereka juga masih dihantui narasi lama: bahwa perempuan baik adalah yang diam, yang patuh, yang tidak banyak bertanya. Inilah narasi yang harus dilawan.
Kartini bukan milik museum sejarah. Ia milik masa kini dan masa depan. Maka mengenangnya tidak cukup dengan busana dan puisi. Kita perlu kebijakan yang memihak, pendidikan yang setara, dan ruang publik yang terbuka bagi suara perempuan. Karena Kartini tidak meminta dikenang. Ia meminta diteruskan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang Kartini, dan tulisan-tulisan tentang perempuan