Menyibak Penyebab Terjadinya Femisida, Mengurai Latar Belakang Pembunuhan Perempuan
Data femisida atau pembunuhan terhadap perempuan yang dicatat Komnas Perempuan menunjukan angka kenaikan setiap tahunnya.
Penulis Yopi Muharam11 Desember 2024
BandungBergerak.id - Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan bukan kejahatan biasa, meskipun istilah ini terkesan masih asing di Indonesia, bahkan dikangkangi oleh tabu yang berlaku. Padahal kasus femisida sering kali terjadi setiap tahunnya. Tidak hanya itu, ada berbagai jenis femisida yang tidak disadari masyarakat terhadap perempuan.
“Femisida dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya,” ujar Shela dari Indonesia Hapus Femisida (IHP) saat pelatihan dan diskusi terkait femisida di perpustkaan Bunga di Tembok, Jalan Parir Luyu Timur, Kota Bandung, Minggu, 8 Desember 2024.
Mengutip dari Mention In Violience Prevention, Northeastem, University, US, ada piramida yang dapat menyebabkan femisida terhadap perempuan. Mulai dari candaan seksis terhadap perempuan atau gender monoritas; stereotip negatif berdasarkan gender baik itu dalam karier peremuan, pekerjaan atau peran tradisional yang merugikan.
Selanjutnya, ada ancaman pelecehan atau kekerasan secara verbal yang ditujukan kepada perempuan. Berikutnya ada pemerkokaan, pelecehan seksual, siksaan fisik, kekerasan emosional dan finansial. Terkahir yang meduduki puncak piramida adalah pembunuhan terhadap perempuan atau femisida.
Shela menjelaskan beberapa jenis femisida yang dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, paksaan dalam melakukan hubungan seksual. “Itukan berhubungan badan tidak membuat perempuan meninggal,” ujarnya. “Tapi karena penyakitnya itulah yang menyebabkan perempuan itu meninggal, sehingga disebut sebagai femisida secara tidak langsung,” lanjut Shela.
Jenis-jenis Femisida
Shela mengatakan ada sembilan kategori yang dapat menyebabkan perempuan menjadi korban femisida. Pertama ada femisida budaya. Dalam kategori ini ada enam sub-penjelasan, di antaranya adalah femisida atas nama kehormatan, terkait mahar, terkait ras, suku, dan etnis, pemotongan genitalia, terakhir femisida terhadap bayi perempuan.
“Femisida atas nama kehormatan adalah ketika anak perempuan yang dibunuh karena dia hamil di luar nikah,” ujarnya. Terkait femisida ras, suku, dan etnis, menurut Shela perempuan sangat rentan dalam ketegori ini. “Ketika dia berada di lingkungan mayoritas akan merasa terancam,” terangnya.
Kedua ada femisida pasangan intim. Dalam kasus femisida paling banyak datanya dan paling sering terjadi adalah pasangan intim. Femisida pasangan intim adalah femisida yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, contohnya seperti suami, mantan suami, mantan pacar, atau bahkan pacar, pokonya yang dilakukan oleh orang-orang terdekat.
“Nah, dalam Komnas Perempuan, femisida perempuan ini datanya yang ditemukan paling banyak,” ujar Shela.
Ada juga femisida terhadap perempuan pembela HAM. Marsinah adalah salah satu contohnya yang dijadikan sebagai ikon perempuan melawan. Menurut Shela, aktor yang sering dijumpai pada femisida terhadap perempuan pembela HAM adalah aktor negara.
Keempat, femisida dalam konteks konflik bersenjata dan perang. Pembunuhan dalam konteks konflik bersenjata biasanya di dahului kekerasan fisik yang dilakukan oleh aktor negara maupun nonnegara. Contoh paling nyata yang Shela berikan adalah korban dari genosida yang dilakukan Zionis Israel.
“Contohnya di Palestina, perempuan yang dibunuh di sana termasuk pada kategori ini,” ungkapnya. Tidak hanya itu, dalam kategori ini, terdapat juga femisida secara tidak langsung. Faktor yang paling memengaruhi disebabkan karena konflik bersenjata yang tak berkesudahan.
“Misalnya perempuan-perempuan yang berada di area konflik terus berjatuhan korban sehingga mengakhiri hidupnya,” ungkap Shela.
Berikutnya, femisida dalam konteks industri seks komersil. Biasanya pada femisida ini terdapat pembunuhan perempuan pekerja seks yang dilakukan oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian.Dalam konteks ini juga, gender minoritas seperti transgender atau transpuan termasuk.
“Nah ini juga termasuk pada femisida, karena termasuk pada kategori orientasi seksual dan identitas gender,” tuturnya.
Lalu, femisida terhadap perempuan dengan disabilitas. Shela menuturkan pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisi disabilitasnya atau dampak domino akibat kekerasan seksual hingga berujung kehamilan.
Selanjutnya, femisida terhadap orientasi seksual dan identitas gender. Pembunuhan jenis ini didasarkan pada kebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual.
Ada dua jenis, pertama femisida korektif, yaitu pembunuhan yang ditjukan kepada perempuan lesbian, biseksual, atau perempuan queer. Pelakunya biasanya sudah menanamkan rasa kebencian terhadap orientasi seksual korban. Jenis kedua adalah transfobia atau pembunuhan terhadap perempuan transgender oleh pelaku atau kelompok yang dimotivasi oleh kebencian atau penolakan terhadap identitas gender korban.
“Pembunuhan tersebut sebagai hukuman kepada mereka karena tidak sesuai dengan norma atau hal yang diamini oleh masyarakat,” jelas Shela.
Femisida lainnya adalah pembunuhan yang terjadi pada tahanan perempuan dalam konteks penjara dan atau serupa tahanan. Terkahir, femisida nonintim atau pembunuhan sistematis. Jenis femisida ini dapat dilakukan seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban. Bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis. Aktornya pun bisa dilakukan oleh negara ataupun non negara.
“Contohnya adalah Nia (penjual gorengan) yang makamnya dijadikan komersialisasi sekarang-sekarang ini. Itu juga termasuknya kepada femisida nonintim, karena pelakunya dilakukan oleh orang tidak dikenal,” tuturnya memberi contoh.
Baca Juga: CATAHU Komnas Perempuan 2023: Kekerasan pada Perempuan di Ranah Publik dan Negara Meningkat
IWD 2023: Perempuan Jawa Barat Tolak Diskriminasi dan Dorong Gerakan Perempuan yang Inklusif
Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Mengapa Femisida Terjadi?
Membedakan pembunuhan biasa dan femisida dapat dilihat dari motivasinya. Shela menyebut femisida terjadi karena motivasi gender. Contohnya adalah pembunuhan suami kepada istrinya. Alasan terjadinya femisida tersebut menurut Shela akibat konstruksi atribut sosial yang diterapkan kepada perempuan. Bahwa perempuan harus patuh dan nurut kepada suami.
Akbitnya, menurut Shela percecokan di rumah tangga hingga menyebabkan pembunuhan kepada perempuan sering terjadi. Dia mencontohkan salah satu kasus yang menimpa seorang istri di Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Korban dimutilasi oleh suaminya.
Hal yang melatarbelakangi pembunuhan tersebut karena jenis kelamin gendernya. Tidak hanya itu, adanya sikap dominasi, hegemonis, misoginis, rasa kepemilikan, ketimpangan relasi, hingga pemuasan sadistik turut menjadi faktor melatarbelakangi femisida.
Terkait pengenalan femisida yang baru diangkat belakangan ini karena minimnya stakeholder yang belum mendefiniskan femisida. Baik dalam pengadilan, kepolisian, bahkan dalam badan statik pun belum mendefinisikan femisida. Stakholder yang baru mengakui atau mendefiniskan femisida hanya Komnas Perempuan saja.
Komnas Perempuan sudah melakukan kajian dari tahun 2017 dan baru dipublikasikan di tahun 2022. “Sehingga femisida ini belum mempunyai payung hukumnya sendiri,” jelas Shela.
Ketika ada femisida, hukuman yang diterapkan menggunakan payung hukum seperti UU PKDRT, KUHP Pasal 340 dan Pasal 338 untuk pidana pembunuhan.
Jumlah kasus femisida yang dicatat oleh Komnas Perempuan menunjukan angka setiap tahun terus melonjak. Pada tahun 2020 ada 95 kasus. Tahun 2021 ada 237 kasus. Di tahun 2022 menjadi puncak paling banyak sebesar 307 kasus. Terkahir di tahun 2023 ada 159 kasus.
Di sisi lain, Ninda yang menjadi moderator acara ini menyebutkan pemberitaan terkait korban femisida masih menyudutkan korban. “Misalnya kaya kasus di Madura, mahasiswa perempuan yang dibunuh pacarnya, karena pacarnya tidak mampu bertanggung jawab,” jelasnya. “Dan komentar-komentar tersebut malah menyalahkan perempuan, kenapa mau seks di luar nikah? Suruh siapa sih mau sama cowo itu,” lanjutnya.
Di sisi lain, Siska dari Aliansi Mahasiswa Perempuan menceritakan pengalamannya ketika akan mendiskusikan kesetaraan gender di Papua. Di Papua, khususnya di Jayapura, Siska menjelaskan bahwa sistem budaya patriaki di sana sangat kuat. Sehingga setiap kali akan mengadakan diskusi atau aksi terkait kesetaraan gender sering ditentang.
Pada tahun 2021 contohnya. Saat itu, mahasiswa di Jayapura akan menggelar diskusi terkait aliran-aliran feminis di sebuah kampus di sana. Akan tetapi mendapat penolakan dari mahasiswa lain karena dianggap kesetaraan gender merupakan produk dari barat yang jauh dari budaya di daerahnya.
Pernah juga Siska membuat tulisan yang diunggah di Facebook pribadinya tentang kesetaraan gender. Pascatulisan tersebut diunggah Siska diancam akan dibunuh. “Jangan sampai kamu bawa ke Papua nanti saya potong leher. Sampai segitunya,” ujar Siska menirukan ancaman yang diterimanya.
Bahkan, di era digital sekarang ini, meski penyebaran isu lebih masif di media sosial, di Papua lain lagi. Siska mengungkapkan bahwa di Papua untuk menjangkau sinyal sangat susah. Hanya ada di daerah perkotaan saja.
“Untuk jaringan hanya didapatkan di daerah perkotaan terus kita juga tahu kalau di Papua sendiri merupakan wilayah konflik. Jadi kadang-kadang untuk sinyal tuh ada kadang tidak,” tutupnya.
*Kawan-kawan yang baik, solakan tengok berita-berita yang ditulis Yopi Muharam, atau tentang Perempuan