Mindfulness: Menemukan Sisi Terang dan Gelap Keberadaan
Mindfulness memang menenangkan, tetapi tidak serta merta menggantikan terapi psikologis atau pengobatan medis.

Foggy FF
Seorang Novelis dan Esais tinggal di Bandung. Penulis giat berkampanye mengenai Isu Kesehatan Mental dan Kesetaraan Gender.
12 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Rasanya seperti baru saja kemarin, padahal itu beberapa tahun lalu, ketika saya duduk di ruang tunggu sebuah klinik kesehatan jiwa di Bandung. Di tangan saya ada selembar hasil asesmen psikologis yang belum berani saya buka. Di kepala, pikiran berloncatan ke mana-mana, tanpa bisa dicegah. Lagi pula, pikiran punya caranya sendiri untuk merasa curiga pada masa depan, padahal belum tentu kejadian. Saya mulai berpikir tentang pekerjaan, keluarga, dan perasaan gagal yang sulit saya pahami sumbernya. Saat itu, seorang psikolog klinis menganjurkan: “Coba ikut kelas mindfulness. Enggak harus sembuh, cukup menyadari dulu momen saat ini.”
Saya belum paham betul maksudnya. “Menyadari dulu”, sebuah konteks yang terdengar asing tetapi menyiratkan sebuah proses sederhana, lebih karena saat itu kepala saya amat berisik dan napas terasa berat, kesadaran justru menjadi hal paling sulit. Kalimat dari psikolog itu, membekas cukup lama. Dari situ saya mulai mencari tahu: apa sebenarnya mindfulness yang banyak dibicarakan orang itu?
Baca Juga: Kasus Kekerasan yang Marak di Indonesia dan Fenomena Victim Blaming, Indikator Rendahnya Moralitas Bangsa
Bias Penanganan Gangguan Kesehatan Mental di Jawa Barat, Terkendala Stigma dan Masalah Struktural
Darurat Kesehatan Mental: Tragedi Banjaran dan Peran Penting Masyarakat sebagai Sistem Pendukung
Ketika Pikiran Berjalan ke Mana-mana
Gangguan kesehatan mental yang saya alami –kecemasan menyeluruh, insomnia, dan perasaan “terjebak dalam kepala sendiri”– membuat saya sulit fokus bahkan pada hal-hal kecil. Pikiran saya seperti dua puluh tab di browser yang terbuka bersamaan, semuanya menuntut perhatian, dan saya kesulitan memilahnya.
Mindfulness, kata para psikolog bule, membantu kita mengamati tanpa menghakimi. Artinya bukan menolak pikiran berkelana ke mana-mana, tapi belajar melihatnya tanpa terbawa arus. Kedengarannya mudah, tetapi justru di situlah tantangannya.
Saya mulai mengikuti beberapa kelas mindfulness bersertifikasi, dari pelatihan meditasi hingga menulis mindful, sampai ke sebuah pertemuan komunitas kecil yang menggabungkan latihan napas dan sesi sharing. Kami duduk melingkar, menutup mata, dan mencoba hadir sepenuhnya. Kadang berhasil, kadang justru menangis karena kenangan muncul begitu saja. Namun, di ruang itu, kami belajar bahwa tidak apa-apa gagal fokus. Tidak apa-apa kalau pikiran pergi jauh –yang penting, tahu jalan pulang ke tubuh sendiri.
Banyak orang mengira mindfulness adalah produk psikologi modern. Padahal, praktik ini berakar dari ajaran Buddhis, terutama dalam bentuk anapana-sati –kesadaran terhadap napas. Sejarawan Buddhis Erik Braun menjelaskan bahwa versi modern dari meditasi ini muncul pada akhir abad ke-19 di Burma (Myanmar sekarang). Saat itu, praktik meditasi yang semula hanya dilakukan oleh para bhikkhu, mulai diperkenalkan kepada masyarakat awam dalam format sederhana.
Meditasi kemudian melintasi budaya, sampai ke dunia Barat pada abad ke-20. Puncaknya terjadi ketika Jon Kabat-Zinn, profesor kedokteran dari University of Massachusetts Medical School, memperkenalkan Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) pada tahun 1979. Ia mengajarkan meditasi pada pasien agar manfaatnya bisa diukur secara medis. Dari situ, mindfulness mulai masuk ke rumah sakit, sekolah, kantor psikolog, dan akhirnya –ke ruang-ruang daring yang kita kenal hari ini.
Kini, istilah mindfulness menjadi fenomena global. Pencarian Google pada Januari 2022 untuk kata ini mencapai hampir 3 miliar klik, menurut The Conversation. Hingga 2024, National Library of Medicine mencatat lebih dari 21.000 artikel ilmiah tentang mindfulness –dua kali lipat lebih banyak dari riset yoga atau tai chi.
Di Indonesia, praktik ini juga semakin dikenal. Pandemi Covid-19 mempercepat kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Banyak komunitas di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya, mulai memfasilitasi ruang jeda untuk rehat bagi pikiran mereka yang penat dengan hiruk pikuk kota dan pekerjaan.
Secara ilmiah, mindfulness memang terbukti bermanfaat. Sebuah tinjauan dari JAMA Internal Medicine (2019) menunjukkan bahwa meditasi dapat membantu menurunkan stres, mengurangi gejala depresi dan kecemasan ringan, serta memperbaiki kualitas tidur. Namun, para peneliti juga menegaskan bahwa efeknya tidak sebesar klaim media populer. Banyak studi tentang mindfulness memiliki keterbatasan metodologis: jumlah sampel kecil, durasi pendek, atau bias peserta yang sudah “percaya” pada hasilnya. Mindfulness memang menenangkan, tetapi tidak serta merta menggantikan terapi psikologis atau pengobatan medis.
Saya belajar menerima hal itu. Bahwa tidak semua orang akan mengalami manfaat yang sama. Bahwa “ketenangan” bukan sesuatu yang mudah untuk dihadirkan, tetapi juga hasil dari keberanian untuk berhenti sebentar dan mendengarkan diri sendiri.
Sisi Gelap Mindfulness
Yang jarang dibicarakan, mindfulness juga bisa menimbulkan efek samping. Sejumlah penelitian terbaru menunjukkan bahwa sebagian kecil orang justru mengalami peningkatan kecemasan, munculnya kenangan traumatik, bahkan gangguan persepsi setelah meditasi intensif.
The Conversation menulis bahwa bagi individu dengan trauma berat, duduk diam dan “menyadari” justru dapat terasa menakutkan. Menghadapi isi kepala sendiri tanpa pendamping profesional bisa memunculkan rasa panik yang lebih besar.
Saya pun pernah mengalaminya. Di awal latihan, saya malah merasa sesak. Pikiran-pikiran lama datang tanpa diundang. Namun di komunitas mindfulness yang saya ikuti, kami diajarkan untuk tidak memaksakan diri untuk “berdamai.” Kadang, kesadaran berarti berani menyentuh luka, bukan menutupinya, atau menganggap itu tidak ada.
Maka, penting bagi siapa pun yang ingin memulai untuk melakukannya dengan bimbingan, atau setidaknya di ruang aman. Mindfulness bukan tentang memadamkan emosi, tapi tentang memberi ruang agar emosi itu bisa lewat tanpa menguasai kita.
Kota Bandung yang sibuk dan padat kini menjadi rumah bagi banyak komunitas mindfulness. Di kafe, ruang seni, bahkan kantor startup, sesi meditasi mulai jadi bagian dari budaya kerja. Generasi muda yang dulu sering disebut burnout generation, kini mencari jeda lewat kegiatan sederhana: menulis sadar, berjalan sadar, atau sekadar menarik napas dalam-dalam sebelum rapat.
Mindfulness memang tidak diajarkan sebagai solusi instan, melainkan sebagai cara untuk hadir secara utuh. Sebuah ruang di mana kita bisa menatap pikiran kita yang kerap berkelana, tanpa buru-buru untuk menghakiminya.
Mungkin inilah bentuk baru spiritualitas urban: kesadaran yang bersahaja, yang tidak menjanjikan kebahagiaan permanen, tapi menuntun pada penerimaan (acceptance).
Setelah beberapa tahun berlatih, saya tidak lagi menganggap mindfulness sebagai teknik untuk “sembuh.” Ia lebih seperti teman perjalanan. Ketika kecemasan datang, saya tahu ke mana harus kembali –bukan ke layar ponsel, tapi pada diam hening, dengan cara memperhatikan napas yang perlahan menuntun saya pada kesadaran.
Saya kadang masih gagal fokus, masih sering lupa bernapas dengan penuh sadar, tapi kini saya tidak menganggapnya kesalahan. Pikiran manusia memang suka mengembara ke mana-mana, yang penting kita tahu jalan pulangnya dan tidak menghakimi pikiran yang mudah resah.
Mindfulness, pada akhirnya, bukan tentang mengubah diri menjadi versi paling tenang. Tapi tentang mengenali diri, bahkan dalam kekacauan.
Memang, tak ada instrumen yang betul-betul sempurna untuk mengendalikan gangguan kesehatan mental. Setiap metode punya batasnya, setiap terapi punya celahnya. Tapi jika ada satu cara yang mudah dijangkau, murah, dan lumayan membantu, mengapa kita harus cemas menyoal kesempurnaannya?
Bukankah justru instrumen ini kita cari untuk mengentaskan kecemasan itu sendiri?
Barangkali, inilah esensi mindfulness: bukan obat mujarab, melainkan kesediaan untuk hadir –bahkan ketika kepala masih kerap berisik. Tidak untuk menghapus luka di masa lalu, tetapi untuk berdamai dengannya, dan menerima: “Aku di sini kok. Aku sadar aku tak sempurna. Dan, aku masih belajar untuk tenang.”
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB