Balas Dendam Sosial
Kasus yang terjadi di SMAN 1 Cimarga Banten bukan soal balas dendam sosial, melainkan pertandingan simbolik antara otoritas lama dan kesadaran baru.

R Abdul Azis
Penulis lepas
20 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Kasus dugaan penamparan seorang siswa oleh kepala sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, memicu pro dan kontra di kalangan publik. Peristiwa tersebut bermula dari pemberitaan media yang menyebutkan bahwa seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah, hingga kemudian terjadinya tindakan kekerasan fisik oleh kepala sekolah.
Beberapa media menyebut kepala sekolah “menegur secara spontan” dan “menepuk atau menampar”, meski bagian tindakan fisik tersebut tidak selalu terekam atau diverifikasi secara visual. Reaksi masyarakat pun meluap, siswa melakukan mogok belajar, orang tua melapor ke pihak berwenang, pemerintah provinsi menonaktifkan kepala sekolah sementara waktu, dan ujungnya apa? Damai dan saling memaafkan. Sangat tertib dan anti klimaks.
Setelah membaca berita tersebut saya langsung menyepertikannya menjadi prosa fiksi pendek yang lumayan seru. Kedua tokohnya menjadi pelaku satu dengan yang lainnya. Si Siswa mengaku ditempeleng Kepala Sekolah, sedang si Kepala Sekolah mengatakan si Siswa kepergok merokok dan tidak mengaku. Perdebatan itu berlangsung, dan memicu solidaritas kawan-kawan si Siswa. Tidak puas sampai di situ, si Siswa pun mengadu kepada Mama. Kemudian muncullah tokoh lain yaitu orang tua si siswa –Mama– yang tidak terima dan menuntut akan ke jalur hukum atas tindakan si kepala sekolah. Sekitar enam ratus siswa di sekolah tersebut mogok belajar dan menuntut si Kepala Sekolah dicopot.
Kira-kira begitu sinopsis prosa yang terjadi di kepala saya. Namun setelah melihat beberapa kawan sudah mengemukakan sikapnya, saya menyadari bahwa peristiwa ini menjadi satu geger pendidikan kiwari yang mesti dicatat. Bukan semata bayangan fiksi dalam kepala saya saja. Apalagi setelah membaca beberapa tulisan kawan setelah hal itu terjadi. Keberpihakan dan pernyataan sikapnya.
Kita bisa melihat banyak masyarakat, termasuk saya, yang ikut-ikutan berkomentar di media sosial. Tentu saja, pada saat itu sebagai anak remaja yang agak baru gede dan pernah bersekolah, saya pernah bandel. Dijemur karena tidak ikut upacara, dirazia rambut karena tidak ikutan tren rambut emo, dan ditempeleng gara-gara kedapatan merokok di kamar mandi sekolah pun pernah. Atas dasar itu, tentu saja saya ikut-ikutan mengomentari perilaku si siswa yang terbilang cemen. Begitu doang lapor ke Mama..
Saya tidak naif bahwa tindakan saya sama saja seperti nitizen kebanyakan yang turut merundung dan mencemooh. Memaklumkan tindakan kekerasan dan menyederhanakan persoalan. Tentu saja hal tersebut tidak dibenarkan, atas alasan apa pun. Sebelumnya, saya berpikir bahwa anak itu mau nakal atau baik, ketika kedapatan melakukan kesalahan ya dihukum. Sebaliknya, apabila melakukan hal terpuji maka diapresiasi. Namun ternyata saya harus memeriksa sudut pandang saya kembali. Apakah saya keliru, dan sejauh apa kekeliruan itu akan fatal. Saya harus bertanggung jawab, setidaknya kepada diri dan pikiran buruk saya sebelumnya.
Saya mencoba merefleksikan kembali, membongkar isi pikiran dan rak buku. Meneliti kembali, apa yang terjadi, dan memeriksa beberapa pemikiran lain. Ternyata dalam kerangka sosiologi pendidikan, peristiwa tersebut menunjukkan bahwa sekolah tidak lagi semata hanya kamar tukar pengetahuan, melainkan arena bagi pertarungan nilai, kekuasaan, dan legitimasi sosial.
Kepala sekolah sebagai figur otoritas simbolik, yang bertumpu pada wibawa moral dan tata tertib, dihadapkan pada generasi siswa yang lebih sadar hak dan lebih sensitif terhadap tindakan kekuasaan yang dianggap berlebihan. Pada saat yang sama, tindakan siswa yang melanggar aturan dengan merokok menandakan adanya celah legitimasi bahwa tidak semua aturan internal sekolah dihayati secara mendalam oleh pelajar, atau bahwa kontrol sosial tradisional mulai kehilangan efektivitasnya.
Namun sebelum lebih jauh melebar, mari kita kesampingkan dulu acakadutnya sistem pendidikan di negeri ini. Saya bakal membatasi pembahasan ini hanya menyoal perkara berita yang saya ibaratkan sebagai prosa fiksi yang lumayan seru itu.
Baca Juga: Sistem Pendidikan Indonesia Kiwari yang Acakadut
Pendidikan yang Tersandera Politik dan Ekonomi
Jika Pendidikan adalah Proses, Mengapa Kita Mengizinkan AI Melompati Proses itu?
Membuka Buku
Pierre Bourdieu dalam La Reproduction (1970) menjelaskan bahwa lembaga pendidikan mereproduksi stratifikasi sosial melalui penggunaan modal simbolik. Dapat dikatakan otoritas guru dan kepala sekolah tak hanya berdasar legal formal, tetapi juga atas pengakuan kolektif terhadap wibawa mereka. Bila modal simbolik itu runtuh atau kehilangan aura penghormatan, otoritas cenderung harus “memaksakan” posisinya secara kasar. Hal tersebut menjelma sebuah bentuk kekerasan simbolik yang dapat berubah menjadi kekerasan nyata ketika diambil tindakan fisik. Ibarat kata, kalau kepala sekolah enggak dapet salam atau senyum dari siswa atau guru sekalipun, doi bisa marah-marah dan menganggap itu enggak sopan. Anggapannya adalah lantaran ia merasa lebih memiliki posisi.
Namun tidak lengkap apabila membicarakan pendidikan, tidak mengintip pandangan Paulo Freire. “The more students work at storing the deposits entrusted to them, the less they develop the critical consciousness which would result from their intervention in the world as transformers of that world,” tukas Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970:73). Freire menegaskan bahwa sistem pendidikan yang menekankan kepatuhan, hafalan, dan otoritas tunggal guru adalah alat kekuasaan yang mempertahankan struktur sosial yang timpang. Pendidikan seperti ini tidak menghasilkan kesadaran kritis (critical consciousness atau conscientização), melainkan melestarikan ketundukan.
Sementara itu, Anthony Giddens dalam The Constitution of Society (1984) menggambarkan masyarakat modern sebagai masyarakat refleksif. Struktur sosial terus dikaji ulang oleh para aktor yang punya kapasitas interpretatif. Setiap otoritas kini bisa dipertanyakan, setiap tindakan bisa digugat secara hukum.
Itulah yang terjadi ketika orang tua siswa memilih jalur hukum ketimbang jalan komunikasi. Fenomena ini memperlihatkan pergeseran nilai dari pola paternalistik menuju pola legal-rasional. Jika dulu guru dianggap “orang tua kedua” yang tak boleh disalahkan, kini mereka diperlakukan sebagai pejabat publik yang harus bertanggung jawab secara hukum. Sekolah bukan lagi ruang sakral, melainkan institusi sosial yang tunduk pada sistem keadilan modern.
Regulasi Tertulis
Secara regulatif, sekolah memiliki kewajiban berdasarkan peraturan menteri untuk menetapkan kawasan tanpa rokok. Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 secara jelas menyatakan bahwa sekolah wajib menjadi lingkungan bebas rokok, termasuk melarang merokok, penjualan rokok, dan promosi rokok di area sekolah, serta memasukkan larangan merokok ke dalam tata tertib sekolah.
Lebih jauh, Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 mengatur bahwa tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, baik fisik, psikis, maupun bentuk lainnya, harus dicegah dan ditanggulangi melalui prosedur yang proporsional dan edukatif.
Jadi, meski sekolah punya dasar regulatif untuk melarang rokok dan menegakkan disiplin, regulasi juga menetapkan bahwa kekerasan fisik bukanlah mekanisme yang sah ketika pilihan prosedural lain tersedia.
Kita juga bisa melihat bagaimana generasi pelajar hari ini hidup dalam bentang nilai yang sangat berbeda. Riset Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan Kemendikbud (2022) menunjukkan bahwa otoritas guru di mata siswa kian melemah akibat pergeseran nilai dan derasnya pengaruh media digital. SMERU Research Institute (2023) bahkan mencatat bahwa remaja kini memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi, tetapi empati sosial rendah. Mereka lebih menghormati figur yang adil dan rasional daripada yang keras dan menuntut kepatuhan tanpa penjelasan.
Balas Dendam Sosial
Balas dendam sosial dalam esai ini bukan soal kekerasan balasan semata, melainkan pertandingan simbolik. Sekolah yang merasa kewibawaannya terancam memilih bentuk tindakan yang keras, sedangkan siswa (dan orang tua) yang merasa dizalimi memilih untuk membalas lewat jalur hukum dan opini publik.
Enam ratus siswa mogok belajar memaksa kepala sekolah mereka dicopot. Sedang ribuan akun di luar sana menghujat si anak yang berpolemik. Pro-kontra mengenai siapa yang salah dan benar menghasilkan keruhnya opini. Semua menjadi ahli dengan keterbatasan moral masing-masing. Termasuk saya, yang dangkal, menanggap geger budaya pendidikan ini menjadi seperti fiksi. Kemudian kedangkalan selanjutnya adalah ikut-ikutan berkomentar. Tanpa ilmu dan pandangan yang jernih, saya menjadi bagian yang terkompori.
Jauh dari kata kebijaksanaan, saya membayangkan kepala sekolah itu memukul tubuh dan bayangan sosial yang ia ciptakan tentang dirinya sendiri sebagai simbol ketertiban. Sementara si siswa membalasnya bukan dengan tangan, melainkan dengan hukum dan opini publik. Itu adalah dua senjata paling tajam masyarakat modern. Belum lagi viralitas yang menyebabkan tekanan publik.
Di titik inilah konflik antara otoritas lama dan kesadaran baru menjadi simpul kusut yang perlu ketekukan untuk mengurainya. Satu benang ingin dihormati tanpa syarat, benang lain menuntut keadilan yang bisa diuji secara rasional. Akhirnya memang anti klimaks. Damai. Tidak ada korban yang harus dikeluarkan, baik itu kepala sekolah atau pun si siswa. Namun stigma akan tetap ada bagi keduanya dalam ingatan masyarakat yang pendek ini. Semoga saja saya salah untuk pernyataan itu.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB