Sistem Pendidikan Indonesia Kiwari yang Acakadut
Kita membutuhkan lebih dari sekadar regulasi untuk mengamalkan amanat konstitusi, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita membutuhkan reformasi struktural yang radikal.

R Abdul Azis
Penulis lepas
26 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Saya percaya tulisan ini tak akan berpengaruh secara signifikan untuk acakadutnya sistem pendidikan Indonesia. Sistem yang sudah seperti penyakit akut paling mematikan, yang obatnya mungkin cuma revolusi total sektor pendidikan secara menyeluruh.
Pemerintah sering menampilkan wajah optimis lewat slogan –seperti tema Partisipasi Semesta: Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua yang disampaikan Menteri Abdul Mu’ti dalam sambutan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025. Slogan itu, bagai vitamin semusim; menyegarkan sesaat, tetapi tidak menyembuhkan penyakit yang sudah akut. Realita di tiap ruang kelas justru penuh frustrasi.
Data resmi menunjukkan bahwa Indonesia memiliki sekitar 439 ribu sekolah dengan puluhan juta siswa, sebuah skala pengelolaan yang mustahil jika tidak didasari oleh sinkronisasi kebijakan, sinkronisasi data, dan sinkronisasi implementasi. Namun faktanya, pemerintah justru sibuk merilis program baru, pidato indah, sementara guru terjebak dalam praktik administratif yang menyedot waktu dan perhatian dari hal-hal substansial seperti pengajaran langsung ke siswa.
Jika para pejabat seperti pihak dari Dinas Pendidikan, atau malah langsung dari Kementerian Pendidikan "turun ke sekolah", kesannya lebih seperti kunjungan protokol. Sekolah dibersihkan, papan nama dicatok rapi, seragam guru dan siswa disesuaikan, banner disiapkan, dan perbaikan mendadak pun dilakukan di sana-sini. Semua dikondisikan agar tampak sempurna. Namun konteks apa kondisi sebenarnya di dalam kelas, jarang atau bahkan tidak disentuh. Tidak ada tempat bagi keterusterangan ketika semua sudah dikondisikan menjadi citra yang diinginkan.
Apa mereka tahu bahwa sudah terjadi guru yang rangkap mata pelajaran selama bertahun-tahun? Apa mereka tahu bahwa fasilitas di sekolah tertentu belum dikatakan optimal sesuai dengan visi dan misi mereka? Apa mereka tahu bahwa guru dibebankan hal administratif yang membuat dirinya sulit berkembang? Karena waktunya dihabiskan untuk hal-hal tidak substansial dari tanggung jawab mereka: mengajar. Ah ya, jangan lupakan persoalan upah. Hanya akan membuat sakit yang tidak ada obat.
Baca Juga: Bahaya Memangkas Anggaran Pendidikan bagi Masa Depan Bangsa Meskipun Demi Efisiensi
Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025
Arah Pendidikan Indonesia di antara Kebijakan, Kurikulum, dan Guru
Beban Guru
Saya pernah membaca berita adanya integrasi e-Kinerja guru secara nasional. Jutaan guru ASN kini harus terhubung ke sistem digital penilaian kinerja. Idealnya, ini bisa memangkas beban administrasi. Namun di lapangan, apakah benar terjadi? Saya dengar dari keluhan beberapa teman guru, yang akhirnya malah kena imbas untuk lebih banyak menyelesaikan laporan, input data, dan verifikasi tanpa batas di depan laptop. Mengurus data menjadi “tugas tidak mengajar” yang menyita waktu berharga untuk mengembangkan kemampuan.
Lebih parah, persoalan klasik kembali muncul: guru harus merangkap mata pelajaran, karena distribusi tenaga pengajar kurang memadai. Hal itu terjadi khususnya di lingkungan sekolah negeri di Bandung. Saya mendengar cerita guru olahraga mengajar Bahasa Indonesia, atau guru Bahasa Indonesia disuruh mengajar bahasa Sunda. Apakah itu dikarenakan data pensiun tidak akurat? Penghapusan sistem honorer yang belum diimbangi rekrutmen PPPK yang memadai, atau kebijakan formasi guru yang tidak tersinkronisasi? Semua itu membebani guru dan merusak kualitas pengajaran, membuat mereka konsentrasinya pecah, menambah beban belajar on-the-fly, tertatih-tatih menyusun materi, sementara jam mengajar dan pembuatan laporan menumpuk di atas meja mereka.
Saya tidak pernah menjadi guru. Namun saya melihat bagaimana ketidaksejahteraan guru terus menunggu. Regulasi seperti Permendikdasmen No. 4 Tahun 2025, yang mengatur tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan tambahan penghasilan untuk guru ASN, sudah disahkan sejak 5 Maret 2025. Itu menjadi payung hukum penting. Pada kenyataannya, mekanisme verifikasi dan ketidaksamaan pelaksanaan antar daerah menjadikan bantuan ini tidak sampai kepada yang paling membutuhkan secara cepat. Guru yang membutuhkan bantuan bisa lebih dulu kewalahan dengan regulasi daripada mendapatkan manfaat langsung dari kebijakan tersebut.
Katanya salah satu landasan negara kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa? Jauh sebelum kata mencerdaskan ini terjadi, masalah-masalah itu terjadi.
Reformasi Struktural yang Radikal
Kita semua bisa setiap hari membaca berita adanya ketimpangan antar-daerah terus melebar. Ada sekolah-sekolah di pinggiran yang masih minim fasilitas, sedangkan di kota, ruang-ruang belajar mungkin relatif memadai. Namun ini menegaskan jurang akses dan kualitas antar wilayah tetap melebar. Substansi pendidikan tidak hanya retorika. Sesuaikan pula dengan karakter geografis dan sosial tiap daerah, yang tidak tertampung dalam single policy uniform.
Retorika tanpa tindakan nyata tidak akan menggerakkan perubahan. Kita melihat regulasi-regulasi penting: Rapor Pendidikan 2025, Permendikdasmen No. 4/2025, integrasi e-Kinerja. Semua memang terlihat menjanjikan di atas meja. Namun di kelas yang sesungguhnya terjadi? Guru tertatih menyiapkan bahan mengajar sambil menunggu tunjangan cair. Belum ada perubahan sistemik. Tanpa verifikasi lapangan, tanpa transparansi dana, tanpa mengurangi beban administratif, pidato tetap menjadi kosmetik, bukan akar penyakit.
Saya bukan guru. Saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang guru. Menghadapi siswa yang unik. Menghadapi hari-hari dengan mengajarkan anak, membuat soal, memeriksa soal, menghadapi pola tingkah anak yang bermacam-macam. Menghadapi lingkungan sosial sekolah yang juga bermacam-macam. Apakah ada senioritas di antara para guru? Apakah ada perundungan yang tidak disadari antar guru di sekolah? Apakah ada pembedaan antara yang PPPK dan yang ASN? Saya tidak pernah tahu. Saya hanya mendengar satu dua teman guru yang tidak sengaja bercerita saja.
Maka jika kita benar-benar ingin mengamalkan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, kita membutuhkan lebih dari sekadar sambutan dan regulasi baru. Kita membutuhkan reformasi struktural yang radikal: sistem yang menyederhanakan administrasi, sistem penempatan berdasarkan kebutuhan nyata, transparansi penyaluran, dan pembangunan infrastruktur pendidikan yang sejajar dengan kualitas manusia. Tanpa itu, apa pun yang datang semisal pidato, jargon, slogan massa akan tetap menjadi vitamin sesaat, bukan vaksin penyembuh sistemik.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB