• Opini
  • Drama Dunia Pendidikan: Wibawa Tenaga Pendidik versus Strawberry Generation

Drama Dunia Pendidikan: Wibawa Tenaga Pendidik versus Strawberry Generation

Kasus SMAN 1 Cimarga adalah refleksi dari krisis nilai yang lebih dalam, melemahnya sinergi antara sekolah dan keluarga, serta menurunnya wibawa dan otoritas guru.

Antonio Julio Putra

Mahasiswa Post-graduate Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Ilustrasi. Pendidikan berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

20 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Dewasa ini, jagat media sosial diramaikan dengan oleh kasus di salah satu sekolah negeri di Banten. Apa yang terjadi? Salah seorang murid tertangkap merokok dan kepala sekolah bereaksi dengan cara yang menimbulkan perdebatan publik. Insiden tersebut kemudian menjelma menjadi sorotan nasional. Pasalnya, bukan hanya tentang rokok dan hukuman, tetapi tentang benturan dua dunia; dunia generasi muda yang tumbuh dalam era serba “sensitif” dan dunia otoritas pendidikan yang masih berpegang pada nilai disiplin klasik.

Istilah Strawberry Generation kembali mencuat setelah sekian banyak tragedi yang melibatkan generasi muda zaman sekarang yang serba “sensitif”. Generasi yang dianggap rapuh, mudah tersinggung, dan kurang tahan terhadap tekanan, kini berhadapan langsung dengan sistem pendidikan yang menuntut ketegasan dan kepatuhan. Dari buku Strawberry Generation karya Prof. Rhenald Kasali, generasi ini adalah generasi yang kreatif namun mudah rapuh dan hancur apabila ditekan. Pertemuan keduanya menimbulkan pertanyaan besar: harus seperti apakah dunia pendidikan menghadapi generasi semacam ini? Apakah ini adalah salah tenaga pendidik? Atau kasus ini timbul karena sistem pendidikan yang terlalu “otoriter”?

Kasus di SMAN I Cimarga, Banten menyisakan refleksi mendalam untuk generasi-generasi yang tidak memiliki daya tahan terhadap tekanan. Bahkan, jika mengalami tekanan, mereka merasa paling tersakiti padahal merekalah yang menjadi sumber masalahnya. Namun, di balik drama ini terdapat banyak pertanyaan, pertentangan, bahkan banyak hal yang tidak mudah dipahami. Tindakan kepala sekolah SMAN 1 Cimarga tersebut akhirnya menerima atensi dari pemerintah daerah. Alih-alih memuaskan pendapat warganet yang membela otoritas sekolah, pemerintah daerah yang diwakilkan oleh Wakil Gubernur Banten Andra Soni meminta agar kepala sekolah tersebut dinonaktifkan. Tanggapan wakil gubernur Banten tersebut menimbulkan banyak kontroversi. Bahkan akun Instagram Gubernur dan Wakil Gubernur Banten banjir komentar usai keputusan mereka yang kontroversial tersebut. Di sisi lain, kepala sekolah sebagai tenaga pendidik tidak dapat berkutik terhadap keputusan wakil gubernur tersebut.

Baca Juga: Sistem Pendidikan Indonesia Kiwari yang Acakadut
Barang Mewah Bernama Pendidikan Tinggi
Jika Pendidikan adalah Proses, Mengapa Kita Mengizinkan AI Melompati Proses itu?

           

Disiplin yang Diuji di Tengah Generasi “Lembut”

Guru, dalam tradisi pendidikan memiliki tugas bukan hanya sebagai pengajar, melainkan membentuk karakter siswa yang dididiknya. Bahkan di dalam UU nomor 14 tahun 2005 tentang dosen dan guru mengatakan bahwa:

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Namun, dalam realitas dunia pendidikan saat ini, tidak jarang terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai luhur profesi guru. Kasus di SMAN 1 Cimarga menjadi sorotan publik, di mana seorang guru tidak mendapat dukungan dari pemerintah atas tindakan mendidik, membimbing bahkan melatih peserta didik yang berbuat salah dan melanggar aturan. Kejadian ini tidak hanya mencoreng muruah dunia pendidikan, tetapi juga menunjukkan krisis penghargaan terhadap otoritas dan tanggung jawab guru dalam membentuk karakter siswa. Padahal, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru bukan hanya bertugas mengajar, tetapi juga mendidik, membimbing, mengarahkan, dan menanamkan nilai-nilai moral serta etika kepada peserta didik.

Kasus di SMAN 1 Cimarga menggambarkan bahwa ketika guru menjalankan fungsinya untuk mendisiplinkan siswa sebagai bagian dari proses pendidikan karakter, justru mendapat respons negatif yang berujung pada penonaktifan. Hal ini perlu menjadi refleksi bersama. Ketika seorang siswa kedapatan merokok di lingkungan sekolah, sebuah pelanggaran yang jelas, reaksi tegas pendidik semestinya tidak langsung dipahami sebagai bentuk kekerasan, melainkan sebagai upaya menjaga wibawa pendidikan. Dalam konteks ini, tindakan kepala sekolah bukanlah semata-mata “marah”, melainkan refleksi dari tanggung jawab moral seorang pendidik untuk menjaga moral dan menegakkan aturan di tengah generasi yang kian sulit dinasehati dengan kata-kata.

Kejadian ini sangat memprihatinkan dan menjadi cermin buram dalam wajah pendidikan nasional. Ketika guru menjalankan fungsi pembinaan terhadap siswa, yang merupakan bagian integral dari proses pendidikan karakter, justru direspons dengan sikap arogan, intervensi berlebihan, bahkan guru tidak mendapat keadilan. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis nilai dan hilangnya penghargaan terhadap otoritas moral seorang pendidik. Secara normatif, orang tua dan masyarakat seharusnya menjadi mitra strategis sekolah dalam mendidik anak-anak. Namun dalam kasus tersebut, yang justru terjadi adalah kontradiktif. Guru yang berupaya menjalankan perannya sesuai amanat undang-undang malah mengalami perlakuan yang tidak pantas dari pihak yang seharusnya mendukungnya.

Sebuah Refleksi: Apakah benar “Guru Hebat, Indonesia Kuat”?

Lebih dari sekadar insiden, kasus SMAN 1 Cimarga adalah refleksi dari krisis nilai yang lebih dalam, melemahnya sinergi antara sekolah dan keluarga, serta menurunnya wibawa dan otoritas guru dalam masyarakat. Hal ini sangat berbahaya bagi masa depan pendidikan Indonesia. Jika guru terus berada dalam posisi lemah dan tidak terlindungi, maka efek domino yang timbul bukan hanya menurunkan kualitas pendidikan, tetapi juga melemahkan bangsa secara keseluruhan. Pendidikan karakter tidak akan berhasil jika peran guru dilemahkan dan jika otoritasnya terus-menerus diganggu oleh pihak luar. Apalagi, tindakan mendisiplinkan siswa secara proporsional dan edukatif adalah bagian dari proses mendidik, bukan tindakan represif.

Di sinilah pentingnya kita menghidupkan kembali makna dari slogan "Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Slogan ini bukan sekadar seruan moral, melainkan pengingat bahwa kekuatan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dan martabat guru-gurunya. Guru yang hebat adalah mereka yang mampu mendidik dengan hati, mendisiplinkan dengan kasih, dan membimbing dengan integritas. Namun untuk mewujudkan guru yang hebat, negara dan masyarakat harus memberikan perlindungan, penghormatan, serta dukungan yang nyata.

Guru memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk karakter dan kecerdasan peserta didik, sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan bangsa sangat bergantung pada kualitas dan keteguhan para pendidiknya. Melemahkan posisi guru berarti melemahkan pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama, yakni baik pemerintah, masyarakat, maupun orang tua untuk menjaga, menghormati, dan mendukung profesi guru agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara optimal.

Dalam menghadapi tantangan zaman, terutama kemunculan "strawberry generation" yakni generasi muda yang tampak mengesankan di luar, tetapi rapuh dalam menghadapi tekanan, peran guru menjadi semakin krusial. Guru tidak hanya dituntut untuk mengajar, tetapi juga membentuk daya juang, ketangguhan mental, dan karakter kuat pada peserta didik agar mereka tidak mudah menyerah dalam menghadapi kesulitan. Pendidikan karakter yang ditanamkan oleh guru sejak dini menjadi benteng utama dalam mencegah lahirnya generasi yang mudah goyah oleh tantangan kehidupan.

Sebagai bangsa yang menjadikan pendidikan sebagai nilai luhur, kita perlu menegaskan kembali bahwa guru merupakan fondasi utama dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul, yakni Indonesia Emas. Jika peran guru dilemahkan, maka sama saja dengan menghancurkan dasar pembangunan masa depan bangsa. Karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menjaga martabat dan menghormati profesi guru, agar lahir generasi penerus yang tidak hanya unggul dalam aspek intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat, akhlak yang baik, dan ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//