CERITA ORANG BANDUNG #99: Utang di Jalan Panjang Ankot Margahayu-Ledeng
Pak Utang menjadi saksi tergilasnya para sopir angkot oleh perubahan zaman. Mengenyam masa keemasan angkot di Bandung sebelum hidupnya kini terdesak utang.
Penulis Rita Lestari20 Oktober 2025
BandungBergerak - Masih gelap ketika Utang bangun dari tidurnya. Jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Seperti biasa, ia bersiap tanpa banyak suara. Setelah menunaikan salat subuh, ia langsung menyalakan mesin angkot dan tancap gas dari rumahnya di Cicalengka, Kabupaten Bandung menuju Kota Bandung. Rutenya: Margahayu-Ledeng. Sekitar pukul enam pagi, ia sudah mulai menarik penumpang, dan baru berhenti saat matahari tenggelam, pukul tujuh malam.
Dulu, Utang tinggal di Kiaracondong, dekat dengan rute angkotnya. Namun, sejak harus pindah ke pinggiran kota, waktu tempuhnya bertambah jauh: dari timur Bandung menuju rute kerja ujung utara kota ke selatan.
Angkot Margahayu-Ledeng dengan warna khas biru bermotif kuning sudah lama menjadi andalan warga dari utara Bandung menuju selatan. Angkot ini memiliki 21 titik perhentian yang tersebar di antara Terminal Ledeng hingga Terminal Margahayu dengan jarak tempuh kurang lebih 20 kilometer atau satu setengah jam normal (tanpa macet).
Demi menghemat tenaga dan ongkos, Utang memilih pulang dua hari sekali. Di usianya yang ke-66, ia telah menghabiskan 45 tahun hidupnya sebagai sopir angkot. Ia menjadi saksi hidup dari banyak perubahan yang datang silih berganti—dari gempuran digitalisasi transportasi hingga kebijakan sistem transportasi terintegrasi dengan skema feeder yang kini digulirkan Pemkot Bandung.
Bagi sebagian orang, perubahan adalah pintu menuju kemajuan. Namun bagi Utang dan banyak sopir angkot lain, perubahan juga berarti tantangan. Tak semua orang bisa mengikuti laju modernisasi. Tak semua sempat belajar atau punya akses untuk beradaptasi. Di balik modernisasi ini, Utang tertinggal di pinggiran.
Di saat orang seusianya duduk tenang sambil menikmati masa tua, ia tetap bertahan dengan angkotnya. Ini ia lakukan demi memenuhi roda ekonomi keluarga. Ia sempat berandai-andai jika saja angkotnya laku dengan harga layak, ia ingin beralih profesi menjadi pedagang. Di usia sekarang ia merasa berat hidup di jalan.
“Kalau ada yang beli mau dijual aja, mau berenti aja, soalnya bapa udah tua. Sekarang mah dijalanai abis mau gimana lagi, kalau dijual murah buat apa,” ucapnya, kepada BandungBergerak.

Jual Rumah, Beli Angkot
Utang memulai perjalanan hidupnya di dunia transportasi sebagai kenek metromini. Dari situ, perlahan ia belajar menyetir hingga akhirnya menjadi sopir angkot, mengikuti jejak sang ayah.
Utang kemudian bekerja pada orang lain sebagai penarik angkot. Penghasilannya cukup, setoran pun bisa diselesaikan tanpa banyak kendala.
Saat itu bisa dibilang masa keemasan angkot di Bandung. Penumpang angkot masih ramai. Padahal dulu ia hanya bekerja empat sampai lima hari dalam seminggu. Situasi itu memberinya kepercayaan diri untuk menjual rumah dan membeli angkot sendiri.
“Kalau dulu mah masih bagus penumpangnya, jadi enak kerja di orang lain juga,” ujarnya.
Utang membeli angkot seharga 80 juta rupiah yang kini dikemudikannya. Uang tersebut ia dapat dari hasil penjualan rumahnya di Kiaracondong. Langkah ini ia tempuh dengan harapan bisa mendapat keuntungan lebih.
Belakangan ia menyesal mengambil keputusan tersebut. Alih-alih modal kembali, hari demi hari penumpangnya justru kian berkurang. Namun waktu tak bisa diputar kembali. Ia tetap harus menjalani hidup di antara ingar-bingar jalan yang sepi.
“Uang jual rumah dibeliin mobil, dipake ngontrak 1 tahun 6 juta (rupiah). Tapi ngontrak itu jadi ga kebayar, daripada dipake ngontrak 6 juta (rupiah) udah dipake DP (rumah) aja, gimana nanti ajalah itung-itung ngontrak aja. Jadi uang yang buat ngontrak dipake DP nyicil rumah. Asli ga kebayar 6 juta teh, sepi,“ tutur Utang, yang kini dikejar-kejar cicilan rumah di Cicalengka.
Utang bekerja setiap hari. Ia baru bisa libur jika sakit atau ada keperluan penting. Tapi hasilnya jauh dari harapan. Ia tak pernah menyangka akan datang hari di mana penumpang bisa sesepi sekarang ini. Bahkan ada hari ketika ia tak mendapatkan sepeser pun uang untuk dibawa pulang.
Nahasnya itu terjadi di saat ia telah membeli dan memiliki angkot sendiri, yang berarti semua biaya operasional dan perawatan harus ia tanggung sendiri. Ketika penghasilan tak cukup maka jalan satu-satunya adalah berutang.
Untuk menutup operasional, Utang terpaksa berutang ke rentenir atau semacam bank emok. Setiap hari ia harus membayar cicilian.
“Akhirnya teh jadi punya utang, punya sendiri tapi punya utang. Kalau dulu mah bapa kerja di orang lain ga punya utang. Sekarang punya sendiri kenapa jadi banyak utang, malah sepi,” keluh Utang, getir.
Penghasilan Utang tak menentu. Dalam sehari rata-rata ia mendapatkan uang 40 ribu-70 ribu rupiah. Kadang-kada ia bisa mendapatkan 200 ribu rupiah, pendapatan paling besar yang pernah ia dapatkan, itu pun ia dapat ketika ada yang menyewa angkotnya untuk pulang pergi perjalanan. Ia bahkan pernah tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Meski begitu, ia tidak lupa dengan kewajiban membayar pajak.
“Bayar pajak juga tetap dan berat,” ucapnya. “Pajak mah tiap taun bayar.”
Untuk mengumpulkan biaya pajak ia harus menyisihkan uang 5.000-10.000 rupiah per hari. paling nyisihin lima ribu – sepuluh ribu rupiah sehari.
Di balik perjalanan panjang sebagai sopir angkot, tersimpan harapan yang sederhana: biarlah profesi ini berakhir di dirinya saja. Anak-cucunya, ia harap, tak perlu mengalami hal serupa.
“Anak bapa mau nyoba mobil ga diizinin, takut jadi sopir angkot kayak bapa, ripuh. Jadi ga bolehlah udah aja cari kerjaan lain. Itu kata bapa ke anak bapa, soalnya risikonya berat, penghasilannya sedikit, udah cari kerjaan lain aja,” jelas Utang.
Utang bukan satu-satunya yang merasakan dampak perubahan zaman. Banyak sopir angkot lain juga mengalami nasib serupa. Ia menyebut, kini jumlah angkot di rutenya sudah berkurang hampir setengah. Sebagian besar sudah dijual dan beralih fungsi jadi mobil pribadi berpelat hitam. Tak mengherankan, karena masyarakat kini punya lebih banyak pilihan transportasi—khususnya transportasi online yang lebih praktis dan fleksibel, bahkan bisa menjangkau tempat-tempat yang tak bisa dilalui angkot.
Utang tak banyak berharap pada pemerintah, meski ia menunaikan hak demokrasinya setiap pemilu.
“Gak kepikiran sesepi ini, mungkin ganti pemimpin ya bakal lebih baik. Dulu pikirannya gitu nyoblos ini nyoblos ini, ehh ternyata, gimana perubahannya gitu, malah menurun,” ujar Utang.
Utang tetap setia di belakang kemudi, meski dunia berubah cepat. Dalam lelahnya, ada tekad yang terus ia pelihara: agar anak-anaknya tak perlu lagi mencari nafkah di jalan, seperti yang sudah ia lakukan hampir seumur hidup.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #97: Agus Ada di Jalan
CERITA ORANG BANDUNG #98: Maman, Tukang Lahang Keliling yang Semakin Langka
Angkot Masih Mendominasi, tapi Terpinggirkan
Dari semua moda transportasi publik di Bandung, angkot masih menjadi yang terbanyak secara jumlah. Pada tahun 2023, tercatat ada 5.489 unit angkot yang beroperasi di 35 trayek, salah satunya Margahayu-Ledeng yang dijalani Utang.
Angkot telah menjadi bagian dari keseharian warga Bandung, terutama bagi mereka yang enggan menggunakan transportasi berbasis aplikasi online—seperti ibu rumah tangga, lansia, dan pelajar. Namun, peran penting angkot dalam mobilitas kota sering luput dari perhatian, padahal moda ini berpotensi membantu mengatasi akar masalah kemacetan: buruknya sistem transportasi publik.
Kemacetan di Bandung sudah menjadi masalah kronis. Data dari TomTom Traffic Index menempatkan Bandung di peringkat kedelapan kota termacet di dunia pada 2024, dengan tingkat kemacetan mencapai 48 persen—naik tiga persen dari tahun sebelumnya.
Buruknya integrasi dan keterjangkauan transportasi publik mendorong lonjakan kendaraan pribadi. Data Bandung Dalam Angka 2025 menunjukkan, pada 2024 jumlah kendaraan di Kota Bandung diperkirakan mencapai 1.543.521 unit. Sementara itu, panjang jalan nyaris stagnan. Pada 2022, total jalan hanya sekitar 1.133 km, dan hanya bertambah sekitar 85 km dari tahun sebelumnya.
Kota Bandung memang memiliki beberapa moda transportasi umum seperti angkot, Metro Jabar Trans, Trans Metro Bandung, DAMRI, kereta Commuter Line, dan kini muncul Angkot Pintar dengan basis teknologi. Namun, masing-masing berjalan sendiri-sendiri, tanpa sistem integrasi yang memadai. Kritik dari kelompok Transport For Bandung menyoroti kondisi ini, termasuk nasib angkot yang sejak 1970-an masih dibiarkan beroperasi tanpa dukungan sistem. Mereka bahkan harus bersaing langsung dengan bus dan transportasi online dalam merebut penumpang. https://bandungbergerak.id/article/detail/1599490/wacana-angkot-pintar-bandung-di-tengah-predikat-kota-paling-macet-di-indonesia
Angkot yang Tertinggal Kemajuan
Kehadiran transportasi daring dan sistem feeder dianggap sebagai bukti bahwa kota ini sedang bergerak menuju modernitas. Akses makin mudah, waktu tempuh lebih efisien, dan integrasi transportasi publik terlihat menjanjikan. Namun bagi Utang dan sopir angkot lainnya, kemajuan itu justru menghadirkan babak baru dalam kesulitan hidup.
Para sopir seperti Utang akan sulit mengakses pelatihan khusus untuk bergabung ke sistem feeder atau beralih ke sektor lain. Sebagian besar bahkan tidak memahami bagaimana mekanisme integrasi transportasi itu bekerja. Mereka hanya melihat bahwa penumpang kian sepi dan setoran harian semakin sulit dicapai.
Kemajuan memang selalu datang membawa dua sisi: cahaya dan bayang-bayang. Dan di Bandung hari ini, bayangan itu tampak di antara deru mesin tua, di tangan-tangan renta yang masih menggenggam setir, berharap ada penumpang yang berhenti. Karena setiap perubahan teknologi bukan hanya soal mesin dan sistem, tapi juga soal manusia.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB