• Opini
  • Merekatkan yang Terbelah: Menyatukan Narasi Individu dan Perubahan Sistemik dalam Krisis Iklim

Merekatkan yang Terbelah: Menyatukan Narasi Individu dan Perubahan Sistemik dalam Krisis Iklim

Kita perlu membingkai ulang narasi perubahan iklim. Tindakan individu dan mendorong perubahan yang sistemik adalah dua poros yang saling berkaitan.

Egi Budiana

Alumnus Magister Kajian Budaya Universitas Padjadjaran (Unpad)

Ilustrasi. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

21 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Kerap kali kita mendapati berbagai iklan di lini masa yang berisi ajakan agar beralih menggunakan mobil listrik, membeli pakaian berbahan organik, atau menghemat energi di rumah. Tergantung dari agenda yang ingin dicapai, tiga contoh iklan tersebut biasanya datang dari aktor yang berbeda. Ajakan beralih ke kendaraan listrik sering muncul dari korporasi yang tengah mengembangkan teknologi pengganti mesin konvensional. Seruan membeli pakaian organik biasa muncul dari jenama yang memasarkan gaya hidup berkelanjutan. Sedangkan dorongan menghemat energi sering muncul dari NGO lingkungan hidup. Di balik keragaman itu, ketiganya membingkai narasi serupa: urusan penyelamatan bumi dari perubahan iklim adalah tanggung jawab individu.

Di kutub lain terdapat kelompok yang mengkritik framing atau pembingkaian narasi semacam itu. Sejumlah peneliti, NGO, kolumnis, aktivis, dan aktor lainnya menilai narasi yang hanya menyoroti aktivitas individu justru mengerdilkan akuntabilitas korporasi raksasa, investor, dan pembuat kebijakan yang memiliki daya besar dalam penentuan arah krisis iklim. Pembingkaian semodel itu berpotensi menempatkan individu sebagai biang utama penghasil emisi karbon, padahal menurut beberapa sumber (Euronews, 2025; Reuters, 2024; The Guardian, 2025), industri menyumbang jauh lebih besar emisi karbon dibandingkan rumah tangga. Para penentang narasi aksi individual, menegaskan perlu adanya perubahan sistemik, seperti pembuatan kebijakan pro lingkungan hidup dan transformasi sistem ekonomi dan industri.

Dua kutub di atas sering muncul dalam diskursus perubahan iklim. Para penyeru aksi individual meyakini gaya hidup berkelanjutan adalah garda depan dalam mengurangi emisi karbon. Sementara itu, para penentangnya berargumen krisis iklim adalah fenomena global yang mesti diatasi melalui cara-cara makro, dengan kata lain: perubahan pada tingkat sistem. Namun bila sebatas terfokus pada cara makro, justru berisiko mengabaikan peran individu dalam estafet pencegahan perubahan iklim. Pandangan yang hanya menekankan salah satu aspek, cenderung melupakan bahwa untuk memerangi perubahan iklim memerlukan pendekatan yang holistik; karena tanpa individu yang berdaya, sistem tidak akan berjalan dan tanpa ada transformasi sistem, langkah individu tidak akan berdampak.

Diskursus di atas bukan hanya pergumulan tentang langkah konkret mitigasi krisis iklim, tetapi tentang bagaimana krisis iklim seharusnya dipahami. Pembingkaian narasi dalam diskursus ini penting untuk dikuliti, karena konstruksi isu menentukan bagaimana masalah krisis iklim didefinisikan, siapa yang bertanggung jawab, dan solusi apa yang dianggap layak. Dryzek (1997) menegaskan isu lingkungan bukan hanya persoalan teknis tetapi juga tempat makna, aktor, dan pengaruh saling dikontestasikan. Bila perbincangan publik sebatas tentang dikotomi biner –antara sistem dan individu– tindakan mitigasi dapat melemah dan membatasi imajinasi kita pada perubahan yang lebih substansial.

Baca Juga: Pengurangan Risiko Bencana Akibat Perubahan Iklim di Indonesia Memerlukan Pendanaan Berkelanjutan
Generasi Muda dan Upaya Melawan Krisis Iklim
Sistem Pekarangan dan Mitigasi Perubahan Iklim

Binaritas Diskursus Iklim

Diskursus krisis iklim di ranah riset dan media massa merupakan perdebatan yang paling sentral. Riset menyediakan fondasi epistemik bagi pemahaman kita pada perubahan iklim, sementara media massa menerjemahkannya untuk khalayak luas. Dalam konteks pembingkaian diskursus, kedua ranah ini dibanjiri berbagai gagasan, slogan, dan narasi. Salah satu yang paling kentara adalah pertentangan antara langkah individu dan perubahan sistemik sebagai jalan mitigasi. Dua poros tersebut kerap menonjolkan satu sisi saja. Keadaan ini tentunya didasari oleh perbedaan paradigma, agenda, dan keyakinan tentang cara yang paling tepat dalam merespons krisis iklim.

Berikut dua contoh narasi di media massa yang menonjolkan aksi individu dalam menghadapi krisis iklim. Artikel Bumi Bahagia: Cara Mengurangi Jejak Karbon yang terbit di situs berita RRI (2024), mendorong individu melakukan 3R, menghemat energi di area rumah tangga, serta memilih transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi. Sementara itu, artikel kedua berasal dari Kompas.id (2022) yang berjudul Mayoritas Gen Z Tidak Menyadari Konsumsi Daging Berdampak pada Iklim, menerangkan bagaimana pilihan konsumsi daging yang berasal dari industri peternakan menyumbang emisi karbon yang besar.

Cara kerja pembingkaian semacam ini terlihat dari penekanan pada rentetan aktivitas individual sembari menyingkirkan anasir sistemik. Fenomena ini mencerminkan praktik konstruksi wacana seperti yang dijelaskan Entman (1993), yang menyebutkan media massa atau penulis menonjolkan aspek tertentu dari realitas dan mengabaikan aspek lain yang tidak sejalan dengan sudut pandang mereka. Dengan hanya menampilkan satu sisi dari wacana perubahan iklim, media berpotensi menanamkan keyakinan tertentu pada pembaca. Kemudian melalui pengulangan narasi dalam jangka waktu lama, konstruksi itu dapat diinternalisasikan sebagai kebenaran umum.

Pembingkaian seperti ini dapat dengan mudah masuk ke dalam diri seseorang yang hidup di tatanan masyarakat yang lekat dengan konsumerisme. Melihat bagaimana budaya konsumerisme dianggap normal, bisa dimengerti bila narasi yang mendorong transformasi pola konsumsi lazim ditemui di media massa. Kondisi ini sejalan dengan argument Gamson & Meyer (1996) yang menyebutkan bahwa pembingkaian wacana akan lebih mudah diterima publik apabila sesuai dengan nilai dan kultur dominan yang telah mengakar.

Di ranah riset –yang mengedepankan dimensi individual– kita akan menemukan hal yang sedikit berbeda, karena gagasan-gagasan di dalamnya jarang melupakan pentingnya perubahan sistemik. Hampton (2023) berpendapat kebiasaan, relasi interpersonal, dan pilihan politik berkontribusi pada pengurangan emisi karbon jika didukung oleh infrastruktur, kebijakan, dan norma sosial yang memadai. Lalu Tan-Soo et al. (2023) menyatakan bahwa mitigasi butuh kebijakan besar dan infrastruktur yang kuat, tapi di tengah kondisi yang terus berubah, kemampuan individu untuk beradaptasi tetap menjadi kunci agar bisa menghadapi dampak krisis iklim.

Sementara itu, Chelstowski (2012) menyoroti kelemahan pendekatan individual yang cenderung terfragmentasi, inkonsisten, dan mudah terkomodifikasi. Sejalan dengan itu, Maniates (2001) menegaskan bahwa proses individualisasi justru melemahkan imajinasi publik terhadap persoalan struktural yang lebih mendasar, yakni bagaimana institusi dan sistem ekonomi seharusnya bergerak.

Dari uraian di atas, memperlihatkan setiap narasi memiliki cara tersendiri dalam menonjolkan  sekaligus menyingkirkan aspek tertentu. Dryzek (1997) berpendapat bahwa diskursus akademik memiliki daya membentuk legitimasi pengetahuan yang kemudian dijadikan acuan dalam menyelesaikan persoalan. Dalam konteks diskursus iklim, sifat riset yang kolaboratif memang membantu kita memahami isu secara lebih luas, tetapi sekaligus berpotensi menyingkirkan hal-hal yang tidak terlihat –dengan asumsi riset hanya berbicara satu sisi saja. Karena itu, kita perlu melakukan pembingkaian ulang narasi perubahan iklim: bukan dengan meniadakan wacana dominan, melainkan dengan membuka ruang bagi dimensi-dimensi yang selama ini jarang terlihat.

Narasi Jalan Tengah

Dari sini kita mulai melihat arah tulisan ini, yakni berupaya menjembatani dua kutub yang sering diposisikan secara biner. Perlu digarisbawahi, argumen jalan tengah yang ditawarkan bukan sekadar memilah mana yang baik dan membuang yang buruk, melainkan mengajak kita melihat tindakan individu dan dorongan perubahan sistemik sebagai satu kesatuan yang saling memperkuat. Ibarat bidak catur, langkah-langkah individu mungkin tampak kecil, tetapi menjadi bagian penting dalam keseluruhan strategi permainan. Tanpa bidak, lawan akan mudah menggerogoti, namun bidak hanya akan kuat dalam sistem yang solid. Selain itu, tulisan ini berfokus pada bagaimana pembingkaian narasi dapat direproduksi untuk membentuk kesadaran baru.

Narasi baru ini ingin memperlihatkan langkah individual dan perubahan sistemik bersifat relasional. Dalam konteks individual, misalnya, tindakan sehari-hari tidak berhenti pada konsumsi berkelanjutan yang kerap terjebak dalam logika konsumerisme. Aktivitas harian juga memiliki dimensi politis yang bisa mendobrak sistem hegemonik. Pendobrakan semacam ini ialah upaya membentuk tata norma baru agar narasi mitigasi iklim tidak sekadar menjadi slogan, melainkan terintegrasi dalam praktik hidup sehari-hari dan juga mengingatkan kita pada potensi efek domino yang mampu mengubah sistem.

Pandangan ini sejalan dengan de Certeau (1984) yang menilai bahwa praktik keseharian tidak selalu tunduk pada sistem dominan. Individu justru dapat menafsir ulang norma yang ada, lalu menciptakan makna baru serta membuka ruang bagi imajinasi kolektif dan nilai moral alternatif. Dengan demikian, transformasi sistemik memperoleh dasar legitimasi yang kuat, karena sebagaimana ditegaskan Gramsci (1971), sebelum tatanan baru terbentuk, harus terlebih dahulu hadir konsensus kultural yang memungkinkan proses institusionalisasi berjalan secara efektif.

Contohnya adalah ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan tas plastik. Reaksi awal masyarakat cenderung skeptis karena kebijakan itu dianggap tidak praktis dan bahkan terkesan elitis. Namun, seiring waktu, muncul gerakan yang membawa narasi baru tentang pentingnya membawa tas sendiri. Narasi ini kemudian direproduksi melalui berbagai konten di media sosial dan media massa, hingga perlahan mengubah persepsi publik. Membawa tas sendiri kini mulai dianggap sebagai normal baru. Perubahan persepsi ini secara tidak langsung memberi legitimasi sosial bagi kebijakan pemerintah, sekaligus menunjukkan bagaimana praktik keseharian dapat memperkuat arah kebijakan lingkungan hidup.

Cara lain adalah dengan memaknai ulang slogan-slogan konsumsi hijau yang berasal dari strategi pemasaran, untuk menjadikannya bukan sekadar ajakan konsumtif, melainkan pegangan moral yang terintegrasi dalam praktik hidup sehari-hari. Ketika korporasi sebatas memedulikan profit penjualan komoditas hijau, kita dapat menawarkan pandangan alternatif, yakni konsumsi berkelanjutan tidak harus bergantung pada produk ramah lingkungan yang berharga tinggi, namun bisa dimulai dari memanfaatkan barang yang sudah ada atau memperpanjang usia pakai. Praktik-praktik semacam ini dapat diperkuat melalui amplifikasi di media sosial agar narasi terus direproduksi dan perlahan membentuk norma, kebiasaan, atau bahkan kultur baru. Harapannya, dari sana lahir narasi baru perihal mitigasi perubahan iklim yang lebih membumi dan dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat.

Setelah itu, narasi baru dapat diamplifikasi dan diterapkan baik di ranah media massa maupun riset. Dalam media massa, pesan yang perlu ditekankan adalah bahwa aksi individu memiliki dimensi politis dan dapat memengaruhi sistem jika dilakukan secara kontinu dan kolektif. Pendekatan ini juga dapat menjauhkan individu dari jebakan konsumerisme yang sering membayangi gaya hidup hijau. Sementara dalam ranah riset, selain menegaskan keterkaitan antara dimensi individual dan sistemik, penting pula agar terus mendorong penelitian interdisipliner guna menghasilkan bukti empiris yang lebih holistik. Dengan demikian, pembingkaian diskursus krisis iklim dapat diperkuat menuju arah yang lebih integratif dan berdampak.

Pada akhirnya, menghadapi krisis iklim tidak cukup dengan memilih satu sisi dari dua kutub yang saling berlawanan. Membingkai ulang narasi tentang krisis iklim berarti mengakui bahwa tindakan individu dan perubahan sistemik adalah dua poros yang saling berkaitan. Narasi yang inklusif dan berlapis dapat membuka ruang bagi kesadaran baru. Hal ini mengekspresikan langkah kecil dalam kehidupan sehari-hari bukan sekadar gestur moral, melainkan gerakan politis yang membentuk norma dan legitimasi bagi transformasi yang lebih besar. Dengan memperkuat pembingkaian yang menautkan keduanya –melalui media, riset, dan praktik sosial– kita tidak hanya menciptakan narasi baru tentang mitigasi, tetapi juga menyiapkan fondasi kultural bagi dunia yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//