Generasi Muda dan Upaya Melawan Krisis Iklim
Generasi muda berada di garis depan menghadapi krisis iklim. Kelompok paling rentan, sekaligus paling berpotensi mendorong perubahan untuk menghentikan krisis iklim.

Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA
7 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Perubahan iklim sudah menjadi makanan sehari-hari, yang terus kita rasakan. Mulai dari suhu bumi terus meningkat, lapisan es mencair, permukaan laut naik, dan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan serta lahan. Kondisi tersebut sejatinya merupakan fenomena global yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, terutama dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industrialisasi (IPCC, 2021).
Dampak perubahan iklim sifatnya luas. Mulai dari terganggunya ekosistem alami karena perubahan cuaca ekstrem, akibatnya pun keanekaragaman hayati terancam. Semisal kebakaran hutan dan lahan, atau banjir bandang. Semua merusak keanekaragaman hayati, baik keberadaan flora maupun fauna.
Lalu dari sisi sosial ekonomi, kelompok masyarakat marginal termasuk kaum miskin dan difabel, menjadi pihak paling rentan karena memiliki akses terbatas terhadap sumber daya untuk adaptasi. Sementara itu, kerugian ekonomi akibat kerusakan infrastruktur, kegagalan produksi pangan, serta beban kesehatan masyarakat memakan biaya yang tidak sedikit setiap tahunnya, kurang lebih miliaran dolar. Karena itu, krisis iklim tidak dapat dipandang semata-mata sebagai isu lingkungan biasa, melainkan juga sebagai persoalan sosial dan ekonomi.
Baca Juga: Titik Balik 2025, Peran Warga Negara dalam Menghadapi Krisis Iklim
Krisis Iklim, Inilah Kenapa Visi Jabar Istimewa Gubernur Dedi Mulyadi Masihlah Mimpi di Siang Bolong
Transisi Energi dan Keadilan Sosial di Tengah Krisis Iklim
Generasi Muda dan Kekhawatiran Krisis Iklim
Generasi muda, khususnya Gen Z dan generasi Alpha, menjadi kelompok yang paling terdampak jangka panjang oleh krisis iklim. Berbagai survei menunjukkan tingkat kepedulian dan kekhawatiran yang tinggi pada kelompok ini. Indonesia Gen Z Report 2022 melaporkan bahwa 79 persen anak muda di Indonesia menilai perubahan iklim sebagai isu serius, 70 persen merasa bertanggung jawab untuk bertindak, dan 66 persen bersedia membayar lebih untuk produk ramah lingkungan. Data ini menunjukkan bahwa kesadaran ekologis telah menjadi bagian penting dari identitas generasi muda.
Secara global, studi Hickman dkk. (2021) terhadap 10.000 anak muda usia 16–25 tahun di sepuluh negara menemukan bahwa 59 persen responden sangat khawatir terhadap perubahan iklim, 75 persen menganggap masa depan menakutkan, dan 83 persen menilai manusia telah gagal menjaga planet ini. Lebih dari separuh responden melaporkan emosi negatif seperti sedih, cemas, marah, atau tidak berdaya. Fenomena ini dikenal sebagai climate anxiety atau kecemasan iklim, yaitu tekanan psikologis yang muncul akibat ancaman krisis iklim terhadap masa depan.
Temuan lain dari GlobeScan dan BBMG (2023) memperkuat gambaran ini. Hampir setengah Gen Z menyatakan diri terdampak langsung oleh krisis iklim, sementara 38 persen mengaku merasa cemas hampir sepanjang waktu –dua kali lipat dibanding generasi sebelumnya. Secara keseluruhan, 73 persen Gen Z sangat khawatir terhadap dampak aktivitas manusia pada lingkungan. Fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda bukan sekadar saksi, tetapi juga kelompok yang paling berat menanggung beban emosional krisis iklim.
Mengubah Kekhawatiran Menjadi Aksi
Keresahan generasi muda terhadap krisis iklim tidak dapat dipandang hanya sebagai gejala psikologis, tetapi harus ditransformasikan menjadi kekuatan sosial untuk mendorong perubahan. Ada beberapa langkah strategis yang dapat diupayakan. Pertama, penting kiranya memperkuat literasi iklim berbasis sains. Di mana pengetahuan yang akurat memungkinkan generasi muda memahami isu iklim secara kritis, sekaligus melawan disinformasi yang acap kali mengganggu gerakan melawan krisis iklim.
Kedua, generasi muda harus mulai berpikir, bahwa kita tidak bisa mengubah dunia seorang diri. Maka dari itu generasi muda harus berpartisipasi dalam aksi kolektif. Keterlibatan generasi muda dalam komunitas, organisasi lingkungan, atau gerakan advokasi memberi daya tawar lebih besar untuk menekan pemerintah dan sektor swasta agar mengambil tindakan nyata.
Ketiga, pemanfaatan teknologi digital. Sebagai generasi digital native, generasi muda, baik Gen-Z maupun Gen-Alpha memiliki kapasitas mumpuni di bidang media sosial. Maka dengan memanfaatkan media sosial untuk kampanye dan edukasi, dapat meningkatkan peluang memperbesar aksi kolektif dan gerakan melawan krisis iklim
Selain itu, perubahan gaya hidup menjadi elemen penting. Praktik sehari-hari seperti mengurangi plastik sekali pakai, menggunakan transportasi umum, memilih produk berkelanjutan, dan menghemat energi adalah langkah konkret untuk menurunkan jejak karbon. Lebih jauh lagi, generasi muda perlu mengawal kebijakan publik melalui partisipasi politik, agar lahir regulasi yang berpihak pada keberlanjutan dan keadilan iklim.
Namun, upaya individu dan komunitas tidaklah cukup tanpa komitmen global. Implementasi Paris Agreement dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) membutuhkan kerja sama lintas negara, sektor industri, dan masyarakat sipil. Transisi energi terbarukan, pengendalian polusi, serta peningkatan kesiapsiagaan bencana adalah agenda yang harus segera dipercepat. Maka pada konteks inilah generasi muda memiliki peran ganda, yakni sebagai kelompok yang terdampak dan sebagai agen perubahan yang mampu mendorong akuntabilitas aktor negara maupun korporasi.
Refleksi untuk Semua
Generasi muda saat ini tengah berada di garis depan gerakan krisis iklim. Mereka adalah kelompok yang paling rentan sekaligus paling berpotensi menggerakkan transformasi dalam menghentikan krisis iklim. Kekhawatiran yang mereka rasakan merupakan bentuk dari alarm sosial yang tidak boleh diabaikan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah generasi muda peduli pada perubahan iklim, melainkan bagaimana kepedulian itu dapat diorganisir menjadi aksi kolektif yang transformatif. Hanya dengan keberanian politik, partisipasi publik, dan kolaborasi lintas sektor, krisis iklim dapat ditangani secara serius sehingga masa depan bumi tetap terjaga bagi generasi mendatang.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB