• Opini
  • Krisis Iklim, Inilah Kenapa Visi Jabar Istimewa Gubernur Dedi Mulyadi Masihlah Mimpi di Siang Bolong

Krisis Iklim, Inilah Kenapa Visi Jabar Istimewa Gubernur Dedi Mulyadi Masihlah Mimpi di Siang Bolong

Tobat ekologis Dedi Mulyadi masih berupa seruan, sementara yang dibutuhkan adalah berupa kebijakan yang bisa ia lakukan sebagai gubernur Jawa Barat.

Arip Apandi

Penulis Konten di salah satu media lokal Jawa Barat

Ilustrasi. Perubahan iklim terjadi karena aktivitas tidak ramah lingkungan yang dilakukan manusia. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak).

9 Juni 2025


BandungBergerak.id – Permasalahan kita selama ini adalah bukan hanya pemimpin yang tidak menepati janjinya, namun kita juga, selaku masyarakat, kerap lupa atas apa yang telah mereka janjikan. Entah lupa atau karena alasan lain-lain, kita pada akhirnya tetap melihat keadaan begitu-begitu saja. Padahal, semasa musim kampanye, kita sempat optimis sebab akan ada perbaikan atas "keadaan yang begitu-begitu saja" dari para pejabat. Kabar baiknya, kita tetap bisa menagih sehingga mereka (pejabat yang telah resmi memegang kekuasaan karena telah kita pilih) tidak berjalan seenaknya. Itulah pula yang harus kita lakukan, selaku masyarakat Jawa Barat, terhadap Dedi Mulyadi.

Beberapa waktu lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi boleh bangga setelah sebuah survei menyebutkan bahwa kepercayaan publik terhadap Gubernur Dedi Mulyadi mencapai 95 persen. Selaku orang Jawa Barat yang tinggal di kota rawan banjir di mana-mana akhir dan rentan terkena cuaca ekstrem (Kota Bandung), saya akan mengidentifikasi diri saya termasuk dalam kaum 0 persen dalam responden survei tersebut, kendati saya memang tidak (merasa) dilibatkan dalam penelitian Indikator Politik Indonesia itu. Survei tersebut menyebutkan bahwa sebanyak 41 persen responden sangat puas atas kinerja Gubernur Dedi Mulyadi; 54 persen cukup puas; 4 persen merasa kurang puas; 0 persen merasa tidak puas sama sekali; dan 1 persen tidak menjawab.

Penilaian saya itu berdasarkan keresahan yang akhir-akhir cukup mengganggu diri saya –krisis iklim. Saya berpendapat bahwa Gubernur Dedi Mulyadi masih belum melakukan apa-apa untuk mengentaskan salah satu permasalahan nyata yang sedang dihadapi dunia sekarang itu. Padahal, kampanye (baca: janji) pemerintahannya, yang disebut Visi Jabar Istimewa, menempatkan perbaikan alam sebagai salah satu pilar atau prioritasnya. Alih-alih memperbaiki, Gubernur Dedi Mulyadi justru makin memperumit kondisi lingkungan lewat kebijakannya dalam menangani permasalahan sampah di Jawa Barat. Parahnya, kebijakan penanganan sampah ala Gubernur Dedi Mulyadi, dalam analisis Greenpeace Indonesia, justru bisa menyimpang atas Visi Jabar Istimewa yang ia inginkan, penyimpangan terhadap salah dua misinya terkait investasi dan pemerataan kesehatan dan lingkungan hidup yang proporsional.

Dalam hal ini, kita tentu harus (terus-menerus) menagih janji Gubernur Dedi Mulyadi untuk memperbaiki kesehatan dan lingkungan hidup yang proporsional itu, terutama mendesaknya agar mengeluarkan kebijakan-kebijakan progresif terkait mitigasi krisis iklim. Suka atau tidak, percaya atau tidak, permasalahan krisis iklim ini akan sangat menentukan apakah Visi Jabar Istimewa itu akan terwujud atau tidak. Hingga saat ini, saya masih pesimis dan menganggap Visi Jabar Istimewa itu masihlah mimpi di siang bolong belaka sebab ia belum mengeluarkan kebijakan iklim seheboh kebijakan pendidikan karakter Panca Waluya.

Baca Juga: Bandung dalam Jeratan Krisis Iklim
Bencana Alam, Perubahan Iklim, dan Jejak Hutan Tropis Bandung
Titik Balik 2025, Peran Warga Negara dalam Menghadapi Krisis Iklim

Peran Krusial Pemerintah Mengatasi Krisis Iklim

Permasalahan krisis iklim adalah tanggung jawab semua pihak. Jadi, sementara kita juga, sebagai individu, mesti mulai bertindak untuk mengurangi emisi –menghemat energi, menggunakan kendaraan lebih sedikit, mendaur ulang sampah lebih banyak, hingga memilih pilihan konsumsi yang lebih baik– pemerintah juga mesti melakukan tindakan serupa untuk memerangi krisis iklim, sesuai dengan perannya masing-masing. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah?

World Economic Forum memberikan navigasi terkait apa yang bisa dilakukan khusus oleh pemerintah dalam menangani krisis iklim.

Pertama, pemerintah perlu memperkuat komitmen jangka pendek dan jangka panjang dalam pengurangan emisi karbon. Hal ini termasuk meningkatkan pendanaan iklim; kedua, penetapan harga karbon yang tepat sangat penting untuk menciptakan insentif bagi pengurangan emisi. Pemerintah harus melacak emisi secara akurat dan menerapkan mekanisme yang dapat menyetarakan kondisi persaingan bagi solusi rendah karbon; ketiga, untuk mempercepat inovasi dan implementasi teknologi hijau, pemerintah harus meningkatkan insentif dan memperluas pengadaan publik yang berkelanjutan; keempat, mempercepat izin untuk proyek-proyek hijau, pengurangan risiko pada rantai pasokan utama, peningkatan keterampilan tenaga kerja, serta keterlibatan masyarakat sipil adalah kunci untuk mempercepat transisi energi dan ekonomi hijau; kelima, pemerintah bisa melakukan pelarangan atas teknologi tertentu yang berisiko tinggi hingga penerapan teknik rekayasa iklim (geoengineering) sebagai upaya terakhir untuk mengendalikan suhu bumi.

Semua itu semata-mata dilakukan guna menunaikan Kesepakatan Paris (Paris Agreement), yang juga telah disepakati oleh Indonesia. Adapun Kesepakatan Paris ini memiliki dua tujuan utama. Pertama; menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dengan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius. Target ini bertujuan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim yang semakin parah, seperti bencana alam, kenaikan permukaan laut, dan gangguan ekosistem; kedua, memperkuat kemampuan negara-negara dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Ini mencakup adaptasi terhadap perubahan iklim, pengurangan kerentanan, dan peningkatan ketahanan sosial dan ekonomi.

Mimpi di Siang Bolong Visi Jabar Istimewa

Berdasarkan data terbaru, indeks kualitas udara (AQI) nasional mencapai 101, menandakan tingkat polusi yang cukup tinggi. Partikel halus PM2.5 tercatat sebesar 35.54 µg/m³, yang berarti 7.1 kali di atas batas aman tahunan yang direkomendasikan oleh WHO. Sementara itu, per 1 Juni 2025, setidaknya dua kota di Jawa Barat termasuk ke dalam salah kota paling berpolusi di Indonesia, yakni Kota Bandung dan Kota Bekasi. Sementara itu, tidak lupa juga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara di Indramayu yang telah menimbulkan efek yang mengkhawatirkan terhadap kesejahteraan masyarakat dan kondisi lingkungan setempat. Kemudian, tidak lupa pula hujan deras memicu banjir bandang dan longsor yang mengguncang kawasan Lembang, Kabupaten Bandung Barat sehingga mengakibatkan perubahan topografi signifikan, dengan runtuhan tanah meluncur lebih dari dua kilometer menimpa sawah, kebun sayuran semusim, kolam ikan, dan infrastruktur pertanian di sekitarnya. Seakan-akan semua permasalahan itu hanya salah alam dan tak ada sangkut-pautnya dengan pemerintah terkait.

Oleh karena itu, tobat ekologis Dedi Mulyadi masih berupa seruan, sementara yang dibutuhkan adalah berupa kebijakan, sesuai dengan apa yang bisa ia lakukan sebagai Gubernur Jawa Barat. Sebab, jika kita kembali mengacu pada arahan World Economic Forum, kita tidak benar-benar melihat bahwa Gubernur Dedi Mulyadi sudah tobat ekologis.

Sebab, apa komitmen jangka pendek dan jangka panjangnya dalam untuk mengurangi emisi karbon di Jawa Barat yang diketahui mencatatkan emisi tertinggi sebesar 202,45 Gg CO2 dibanding provinsi lainnya di Indonesia? Dalam catatan Low Carbon Development Indonesia (LCDI), provinsi Jawa Barat akan mencapai 134.212.470 ton CO2eq pada 2030 di mana sektor energi memberikan kontribusi paling tinggi sebesar 40 persen, disusul sektor transportasi sebesar 31 persen. Seberapa besar pendanaan iklim yang sudah ia gelontorkan, apakah sudah ditingkatkan? Sudahkah atau akankah Gubernur Dedi Mulyadi menetapkan harga karbon yang tepat sangat untuk menciptakan insentif bagi pengurangan emisi? Apa inovasi dan implementasi teknologi hijau yang sudah Gubernur Dedi Mulyadi cetuskan selama seratus hari pemerintahannya?

"Sebagai titah prajurit Siliwangi, saya ingin memperlihatkan di Tanah Sunda ada pemimpin yang membela kepentingan rakyat!" ucap Gubernur Dedi Mulyadi dengan menggebu-gebu. Oleh karena itu, sebagai rakyat yang mempunyai kepentingan, saya ingin "prajurit Siliwangi" itu untuk membela kepentingan saya. Sebagai rakyat, saya ingin "prajurit Siliwangi" itu menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri, dengan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celsius. Sang "prajurit Siliwangi" harus mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim yang semakin parah, seperti bencana alam, kenaikan permukaan laut, dan gangguan ekosistem, dan menunaikan Kesepakatan Paris.

Itu adalah titah bagi “prajurit Siliwangi”. Titah ini sangat mendesak sebab ambang batas pemanasan global sesuai Kesepakatan Paris, yang ditetapkan pada 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri, disebut-sebut akan terlampaui. Para ilmuwan memprediksi bahwa dalam beberapa tahun ke depan, suhu global dapat meningkat hingga mencapai 2 derajat Celcius, yang diperkirakan akan berdampak luas terhadap kesehatan masyarakat, infrastruktur, serta menimbulkan risiko kematian akibat cuaca yang ekstrem. Itulah keresahan saya sebagai rakyatnya sang “prajurit Siliwangi”.

 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang krisis iklim

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//