Titik Balik 2025, Peran Warga Negara dalam Menghadapi Krisis Iklim
Tahun 2024 membuktikan dampak krisis iklim dirasakan oleh semua orang, mulai dari panas ekstrem hingga banjir dan kekeringan. Tahun 2025 harus menjadi titik balik.
Wahyu Eka Styawan
Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA
7 Januari 2025
BandungBergerak.id – Krisis iklim menjadi ancaman yang nyata di tahun 2025 nanti. Sepanjang tahun 2024 lalu kita telah mengalami dan merasakan betul-betul krisis iklim. Mulai dari panas ekstrem, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan hingga kebakaran hutan dan lahan. Banyak warga yang telah menjadi korban akibat krisis iklim, mungkin kalian para pembaca juga merasakannya secara langsung.
Pada tahun 2024, para peneliti dari World Weather Attribution dan Climate Central menyampaikan hasil dari amatan mendalam mereka terhadap 29 peristiwa cuaca ekstrem pada 2024. Menurut para peneliti tersebut, kejadian cuaca ekstrem telah menjadi penyebab kematian kurang lebih 3.700 orang dan membuat jutaan lainnya menjadi pengungsi. Dari 29 peristiwa cuaca ekstrem, 26 di antaranya memiliki korelasi dengan perubahan iklim.
Sepanjang 2024, panas ekstrem menjadi salah satu bencana iklim yang mematikan. Pada sekitar bulan Mei hingga Juni 2024, di Eropa misalnya 47.000 orang lebih meninggal akibat gelombang panas, lalu di India sekitar 50 orang meninggal karena persoalan yang sama. Di Arab Saudi ada sekitar 1.300 orang meninggal saat menjalankan ibadah haji. Rata-rata suhu meningkat dari 40 derajat Celsius sampai 52 derajat Celsius.
Sementara di Indonesia kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya hingga Semarang pernah mencapai 39-40 derajat Celsius. Hampir sekitar 100 lebih orang mengalami pusing, sesak nafas hingga sakit pada sendi-sendi badannya. Meski tidak sampai ada warga yang meninggal, tetapi 3 dari 10 warga di kota-kota di atas harus dilarikan ke rumah sakit akibat panas ekstrem.
Kejadian panas ekstrem juga diikuti dengan bencana kekeringan. Hampir semua wilayah di Jawa mengalami kekeringan, terutama kekurangan pasokan air, karena matinya sumber-sumber air. Di Jawa Barat terdapat 7 kota/kabupaten yang tersebar di 40 Desa. Di Jawa tengah terdapat 32 kabupaten/kota yang tersebar di 850 desa. Lalu di Jawa Timur terdapat 27 kabupaten/kota, tersebar di 905 desa.
Selain panas ekstrem dan kekeringan, bencana iklim yang banyak terjadi sepanjang 2024 yakni, banjir dan longsor. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan sejak Januari hingga Desember 2024 tercatat 2.093 kejadian bencana, sekitar 98 persennya merupakan bencana iklim. Sebagai contoh, banjir di Ponorogo, Surabaya, Malang, Jawa Timur. Kemudian di Bandung, Garut dan Sukabumi, Jawa Barat. Lalu banjir di Semarang, Demak dan Pekalongan, Jawa Tengah. Korban dari banjir tersebut mencapai 100.000 orang lebih.
Baca Juga: Membaca Pola Pemberian Izin Tambang Pada Ormas Keagamaan Secara Politis
Proyek Strategis Nasional Surabaya Waterfront Land untuk Siapa?
Mengenang Salim Kancil untuk Melanjutkan Perjuangannya
Krisis Iklim Memperburuk Kehidupan
Dari kejadian-kejadian bencana iklim di atas, rata-rata sering dialami oleh warga Indonesia. Dampaknya begitu luas dan lintas sektoral. Rata-rata kejadian bencana tersebut turut berkontribusi pada perentanan kehidupan sehari-hari warga Indonesia. Yang kita tahu bersama, hampir 90 persen warga Indonesia merupakan kelompok menengah ke bawah, dan sekitar separuhnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian, hutan, perkebunan, budidaya ikan dan kelautan, khususnya yang hidup di Pulau Jawa.
Panas ekstrem sangat berpengaruh pada aktivitas harian warga, baik untuk bekerja, sekolah maupun kegiatan sosial keagamaan. Mereka harus membatasi aktivitas di luar ruangan, paling tidak sampai sore hari. Selama panas ekstrem ini rata-rata konsumsi listrik juga meningkat, mengingat banyak di antaranya yang menggunakan pendingin ruangan lebih sering, bahkan ada yang sampai 24 jam.
Selama musim kemarau ini, tidak hanya panas ekstrem, tetapi kekeringan juga melanda banyak daerah. Matinya sumber air karena panjangnya kemarau telah menyebabkan hampir seperempat wilayah di Jawa terkena dampaknya. Banyak produksi pangan yang gagal tanam dan panen, salah satunya komoditas padi. Implikasinya adalah stok beras menipis, dan tentu harga beras di pasaran menjadi melambung.
Sementara saat musim penghujan, krisis iklim hadir dalam bentuk banjir. Kejadian ini menyebabkan bencana yang memaksa orang mengungsi, kehilangan harta bendanya, serta harus kehilangan pasokan air bersih dan pangan. Banjir menjadi salah satu penyebab utama dari gagalnya musim tanam dan panen, sehingga berdampak pada stok dan harga pangan, khususnya beras.
Krisis iklim telah meningkatkan kerentanan kehidupan, panas ekstrem, kekeringan sampai banjir dan longsor menambah beban pengeluaran warga. Kenaikan harga pangan, sulitnya mengakses air bersih, peningkatan pembelian air kemasan dan meningkatnya ongkos konsumsi terhadap alat seperti pendingin ruangan. Paling tidak telah menambah beban kehidupan, di mana terdapat korelasi erat, peningkatan krisis iklim sejalan dengan peningkatan pengeluaran, di samping banyak orang yang kehilangan pekerjaan juga karena krisis iklim.
Resolusi 2025: Warga Negara Harus Berperan
Pada dasarnya, krisis iklim bukan lagi sekadar isu besar yang jauh kehidupan sehari-hari. Tahun 2024 telah membuktikan bahwa dampak krisis iklim dirasakan oleh semua orang, mulai dari panas ekstrem hingga banjir dan kekeringan. Oleh karena itu, resolusi untuk menghadapi krisis ini harus dimulai dari kesadaran kita sebagai warga negara, tidak hanya kesadaran individu tetapi, bagaimana caranya mendorong kebijakan yang lebih luas.
Saat ini belum ada kebijakan yang fokus pada tata kelola lingkungan secara jangka panjang, terutama untuk mencegah dan menanggulangi krisis iklim. Sampai hari ini RUU Energi Baru Terbarukan tidak kunjung disahkan, lalu ada juga RUU Perubahan Iklim yang masih menjadi sekedar wacana. Justru aturan-aturan yang sifatnya eksploitatif dipercepat pembuatannya. Ini tentu harus menjadi perhatian kita masyarakat sipil, di mana perlu untuk bersama-sama terus mendesak kebijakan konkrit yang menjawab persoalan krisis iklim ini.
Tahun 2024 telah menjadi bukti betapa krisis iklim telah memperburuk kehidupan. Hal tersebut sangat urgen untuk lekas mendesakkan hal-hal tersebut di ranah para pengambil kebijakan. Sembari setiap warga negara melakukan upayanya sendiri, seperti melakukan perluasan kampanye krisis iklim, pendidikan lingkungan komunitas, kegiatan konservasi, pengelolaan sampah, sampai berkontribusi dalam upaya mitigasi bencana. Tahun 2025 harus menjadi titik balik tiap warga negara mulai menjadi bagian gerakan dalam upaya menghentikan krisis iklim.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Wahyu Eka Setyawan, atau tulisan-tulisan lain tentang lingkungan