• Opini
  • Mengenang Salim Kancil untuk Melanjutkan Perjuangannya

Mengenang Salim Kancil untuk Melanjutkan Perjuangannya

Perjuangan Salim Kancil melawan bahaya tambang di pesisir bagi lingkungan adalah perjuangan mempertahankan ruang hidup dan kehidupan.

Wahyu Eka Styawan

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Timur & Anggota FNKSDA

Ilustrasi anak dan penggusuran. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

30 September 2024


BandungBergerak.id – Pada tanggal 26 September 2015, atau sembilan tahun yang lalu, Salim Kancil meninggal dunia karena mempertahankan ruang hidupnya. Salim Kancil adalah sosok orang biasa yang bekerja sebagai petani, sekaligus kepala keluarga yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Salim adalah potret warga negara yang hidup di bawah bayang-bayang kerentanan dan kemiskinan, di mana sejengkal tanah pun ia tidak miliki. Selama ini, Salim memanfaatkan lahan sawah di dekat pesisir yang tidak diakui oleh negara. Bersama dengan 40 warga lainnya, ia mengelola dan menghidupkan lahan tersebut sebagai sumber kehidupan yang berkelanjutan.

Lahan yang dikelola oleh Salim Kancil dan 40 warga lainnya memiliki sejarah panjang. Awalnya, lahan tersebut merupakan rawa-rawa di dekat pesisir. Pada tahun 1980-an, Salim Kancil bersama warga lainnya menyulap rawa tersebut menjadi sawah seluas 10 hektar. Desa Selok Awar-awar memang terletak di dekat pesisir dan minim lahan pertanian, sehingga Salim dan warga lainnya mencari cara agar bisa bercocok tanam tanpa harus membeli lahan di desa lain.

Sawah yang digarap oleh Salim dan warga lainnya ditanami padi saat musim penghujan dan tanaman palawija saat musim kemarau. Satu petak sawah seluas kurang dari seperempat hektar bisa menghasilkan 1,5 ton atau 20 karung dengan kapasitas 50 kilogram. Dengan harga gabah sekitar Rp 4 ribu per kilogram, petani yang mengelola seperempat hektar sawah dapat menghasilkan pendapatan kotor sekitar Rp 6 juta. Jika rata-rata lahan tersebut mengelola satu hektar, mereka bisa mendapatkan sekitar 6 ton gabah atau Rp 24 juta pendapatan kotor. Hasil ini cukup lumayan bagi Salim dan warga lainnya, meskipun mereka rata-rata hanya mampu menghasilkan 3,7 ton atau setara dengan Rp 15 juta untuk satu hektar.

Banyak keluarga menggantungkan hidup dari sawah tersebut, sehingga keberadaannya sangat penting. Namun, tambang pasir besi di sepanjang pesisir desa menjadi ancaman. Salim dan warga lainnya khawatir tambang tersebut akan merusak satu-satunya sumber penghidupan mereka. Ketakutan mereka terbukti; tambang pasir besi merusak sawah hasil jerih payah mereka, yang secara tidak langsung mengganggu daur kehidupan.

Baca Juga: Menyuarakan Pencemaran Lingkungan Dikriminalisasi, Kisah Pilu dari Karimun Jawa
Membaca Pola Pemberian Izin Tambang Pada Ormas Keagamaan Secara Politis
Proyek Strategis Nasional Surabaya Waterfront Land untuk Siapa?

Bersuara Menolak Tambang

Tambang pasir besi hadir di Desa Selok Awar-awar ketika PT IMMS mendapatkan IUP (Izin Usaha Pertambangan) eksplorasi seluas 8.496 hektar pada tahun 2009. Pada tahun 2010, mereka mulai mendirikan pabrik di dekat desa, dan pada tahun 2011 perusahaan tersebut mendapatkan IUP produksi seluas 872,1 hektar. Namun, sebelum mendapatkan IUP, perusahaan tersebut sudah mulai melakukan penambangan pasir besi secara ilegal dengan memanfaatkan warga sekitar sebagai mitra. Penambangan pasir besi yang masif di wilayah Selok Awar-awar menyebabkan dampak lingkungan yang serius setelah tiga tahun beroperasi.

Dampak tersebut termasuk rusaknya jalan perkampungan akibat sekitar 100 truk pengangkut pasir yang melewati jalan desa setiap hari. Selain itu, penambangan yang sembarangan merusak sempadan pantai, jalur irigasi pertanian, serta gumuk-gumuk pasir di wilayah tersebut. Pada tahun 2013, aktivitas penambangan pasir besi menyebabkan sawah yang dikelola oleh Salim dan warga lainnya rusak akibat air laut yang membanjiri sawah mereka melalui celah-celah sekat sungai yang hancur. Mereka gagal panen dan tidak dapat lagi menggarap sawah tersebut, yang berubah dari rawa menjadi sawah dan kembali menjadi rawa.

Salim pun marah. Bersama warga lainnya, termasuk Tosan, ia menghimpun kekuatan untuk memprotes tambang. Mereka membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Desa Selok Awar-awar sebagai wadah perjuangan. Salim dan Tosan menjadi motor pergerakan penyelamatan pesisir dan lahan pertanian. Protes mereka mengusik tambang dan elite desa, termasuk Kepala Desa Selok Awar-awar, Haryanto, yang juga berperan sebagai "broker" dan "pelindung" tambang.

Setelah satu tahun berjuang, pihak tambang dan elite desa bersekongkol untuk menghentikan perlawanan. Melalui intimidasi dan ancaman kekerasan, satu per satu warga yang tergabung dalam forum berhenti bersuara. Akhirnya, hanya Salim dan Tosan yang tetap bersuara, meskipun tidak lagi didukung oleh warga lainnya. Puncaknya, pada tanggal 26 September 2015, sekelompok preman bernama Tim 12, yang dikoordinasi oleh elite desa, termasuk kepala desa dan pihak tambang, mendatangi Salim dan Tosan. Mereka tidak lagi berniat bernegosiasi, melainkan melakukan penganiayaan dan kekerasan untuk menghentikan perlawanan mereka.

Tosan diseret dari rumahnya oleh puluhan orang, lalu dibacok dan dipukuli dengan benda tumpul hingga tak sadarkan diri. Ia diselamatkan oleh warga lain sebelum dibawa ke rumah sakit. Sementara itu, Salim didatangi di rumahnya saat sedang menggendong cucunya. Ia diseret sejauh 50 meter dengan motor, dibacok, dan dipukuli dengan benda tumpul hingga meninggal dunia. Kekerasan itu dilakukan di depan rumahnya dan disaksikan oleh keluarganya.

Kematian Salim menggemparkan Jawa Timur. Media dengan cepat memberitakan kejadian tersebut, dan jaringan masyarakat sipil segera mengusut kasus ini serta mendesak kepolisian untuk bertindak. Orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Salim Kancil diadili dan dinyatakan bersalah, termasuk Haryanto. Meski demikian, hukuman yang diterima tidak sebanding dengan nyawa Salim, maupun trauma yang dirasakan keluarganya. Hukuman terhadap pelaku pembunuhan Salim Kancil sangat rendah, dan pihak tambang tidak terseret dalam kasus ini. Namun, ada satu kemenangan kecil dari perjuangan ini: tambang PT IMMS dan kroni-kroninya berhasil ditutup, dan kawasan pesisir Selok Awar-awar kini ditetapkan sebagai kawasan lindung pesisir.

Pelajaran dari Salim Kancil

Apa yang dilakukan oleh Salim Kancil, Tosan, dan warga lainnya menjadi bukti bahwa untuk melawan ketidakadilan tidak diperlukan segudang teori atau buku, melainkan keberanian untuk memperjuangkan hak hidup. Perjuangan mereka lahir dari rusaknya sumber penghidupan akibat tambang yang tidak pernah disetujui warga. Tambang di Selok Awar-awar hanya menguntungkan segelintir orang melalui cara-cara kotor yang merusak kehidupan petani kecil dan buruh tani. Perjuangan keras yang dilakukan hingga Salim Kancil harus mengorbankan nyawanya membuktikan bahwa perjuangan untuk mempertahankan kehidupan dan lahan pertanian adalah hal yang penting.

Tragedi Salim Kancil mengingatkan kita bahwa tambang di pesisir dapat merusak lingkungan secara ekologis, termasuk merusak siklus alami yang memisahkan laut dan daratan. Dalam jangka panjang, ini membuat lahan tidak lagi subur akibat tingginya kadar garam dan asam.

Dari perjuangan Salim Kancil, kita belajar bahwa perjuangan serupa bukan hanya soal heroisme atau eksistensi, melainkan soal mempertahankan ruang hidup dan kehidupan, sebagaimana yang dilakukan oleh Salim Kancil. Untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan Salim Kancil, kita harus bersolidaritas dengan warga yang menolak tambang dan berjuang menyelamatkan kehidupan, di mana pun mereka berada.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Wahyu Eka Setyawan, atau tulisan-tulisan lain tentang lingkungan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//