UU Pers Dinilai Sudah Kuat, yang Lemah Justru Penegakan Hukumnya
UU Pers sudah jelas bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan ketentuan tersebut masih kurang.
Penulis Iman Herdiana23 Oktober 2025
BandungBergerak - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan bahwa persoalan pelindungan jurnalis bukan terletak pada pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, melainkan pada lemahnya pelaksanaan dan abainya pemerintah dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut.
Kedua organisasi jurnalis tersebut menyampaikan pandangan itu dalam sidang lanjutan uji materi Pasal 8 UU Pers di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 21 Oktober 2025. Sidang perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum), yang mempersoalkan makna dan mekanisme pelindungan hukum bagi wartawan.
Sidang yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo ini dihadiri tujuh hakim konstitusi lainnya: Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur.
Latar Belakang Uji Materi oleh Iwakum
Iwakum mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan penjelasannya karena dinilai multitafsir dan belum menjamin kepastian hukum bagi wartawan yang menghadapi aparat penegak hukum atau gugatan atas karya jurnalistik.
Iwakum menawarkan dua alternatif tafsir baru terhadap Pasal 8, yaitu:
Wartawan tidak dapat dikenai tindakan kepolisian atau gugatan perdata selama menjalankan profesinya sesuai kode etik pers.
Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.
Namun, usulan ini ditolak oleh AJI dan PWI yang menilai bahwa masalah utama bukan pada isi pasal, melainkan pada lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah.
AJI: Pemerintah Lalai Jalankan Amanat UU Pers
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Bayu Wardhana menilai permohonan Iwakum justru berpotensi mempersempit makna pelindungan hukum hanya pada konteks hukum pidana atau perdata. Menurut AJI, Pasal 8 UU Pers sudah memberikan jaminan yang cukup luas, baik untuk jurnalis maupun untuk kerja jurnalistik itu sendiri.
“Penjelasan Pasal 8 sudah jelas: pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis yang bekerja sesuai ketentuan hukum,” ujar Bayu, dalam keterangan resmi.
Ia menegaskan, persoalannya bukan pada pasal, tetapi pada kurangnya komitmen pemerintah untuk melaksanakan ketentuan tersebut.
“Pemerintah harus hadir memberikan bantuan hukum bagi jurnalis yang dikriminalisasi dan menindak aparat yang melakukan kekerasan agar ada efek jera,” tambahnya.
Bayu mencontohkan beberapa kasus, seperti gugatan Rp200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman kepada Tempo, dan kasus pidana terhadap Pemred Banjarhits Diananta pada 2020. Kedua kasus itu sudah mendapat penilaian Dewan Pers sesuai UU Pers, tetapi diabaikan oleh penegak hukum.
AJI juga mencatat masih banyak kekerasan terhadap jurnalis. Pada 2024 saja, terdapat 73 kasus di berbagai daerah, termasuk kasus yang menimpa salah satu pemohon IWAKUM saat meliput di depan Mako Brimob, Depok, pada 30 Agustus 2025.
Baca Juga: Jurnalis di Banten dan Jakarta Menjadi Korban Kekerasan oleh Personel Polisi, Kebebasan Pers semakin Rapuh
Kekerasan terhadap Jurnalis Tumbuh Subur Akibat Rendahnya Dukungan Keselamatan oleh Perusahaan Media
PWI: Pelindungan Hukum Harus Nyata dan Terkoordinasi
Ketua Umum PWI Akhmad Munir menyatakan bahwa Pasal 8 UU Pers masih relevan dan konstitusional, tetapi pelaksanaannya perlu diperkuat agar tidak berhenti di atas kertas.
“Pelindungan hukum harus dimaknai secara aktif dan komprehensif, mencakup perlindungan hukum, fisik, digital, dan psikologis bagi wartawan,” ujarnya.
Munir menekankan pentingnya koordinasi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan kasus yang melibatkan wartawan. Ia menegaskan, pelindungan hukum tidak boleh disalahartikan sebagai kekebalan hukum, tetapi sebagai jaminan atas kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945.
“PWI berharap Mahkamah Konstitusi dapat memperkuat makna Pasal 8 tanpa mengubah substansi yang telah berjalan lebih dari dua dekade,” ujar Munir, dalam keterangan resmi.
Baik AJI maupun PWI sepakat bahwa inti masalah pelindungan jurnalis bukan terletak pada norma hukum dalam UU Pers, tetapi pada kelalaian pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menerapkan atau melaksanakannya.
Pelindungan jurnalis harus diwujudkan secara nyata, bukan hanya menjadi wacana hukum.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB