Menimbang SGDs Desa Nomor 13 sebagai Paradigma Baru Mitigasi Bencana Banjir Lembang
Bencana banjir di Lembang tidak bisa dilepaskan dari fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan pola cuaca ekstrem semakin sering terjadi.

Anna Joestiana
Ketua Relawan Penanggulangan Bencana Lembang
23 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Lembang tidak hanya dikenal sebagai surga wisata, ternyata hari ini dikenal sebagai daerah langganan banjir. Untuk ke sekian kalinya, pada hari Senin 29 September 2025, terjadi lagi banjir di depan Pasar Panorama Lembang. Genangan air setinggi sekitar 50 cm telah mengakibatkan kemacetan dan kerugian bagi masyarakat serta para pedagang.
Hampir semua desa yang ada di Kecamatan Lembang terdampak bencana banjir, seperti di Desa Lembang (Kp. Situ PPI, Pasar Panorama), Desa Jayagiri (Kp. Ampera, Lebak Cihideung), Desa Cikahuripan (Kp. Pojok Girang), Desa Suntenjaya (Kp. Cibodas), Desa Cikole (Kp. Gamblok), Desa Wangunsari, Desa Pagerwangi, Desa Mekarwangi, Desa Langensari, Desa Kayu Ambon, Desa Gudangkahuripan, Desa Cibogo dan beberapa desa lainnya.
Lembang menjadi daerah langganan banjir terutama sejak 5 tahun terakhir, padahal berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2005, yang termasuk wilayah rawan banjir adalah Kecamatan Batujajar, Kecamatan Cihampelas, Kecamatan Cililin, dan Kecamatan Cipongkor sedangkan Kecamatan Lembang tidak termasuk.
Luas yang terpapar menurut Dokumen Kajian Risiko Bencana Kabupaten Bandung Barat Tahun 2017–2021, Kecamatan Lembang luas terpapar banjir 1.547 Ha termasuk Kelas Risiko Rendah –sedangkan luas terpapar banjir bandang 108 Ha termasuk di Kelas Risiko Tinggi. Kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana banjir, untuk Ketahanan bernilai Sedang, untuk Kesiapsiagaan bernilai Rendah dan untuk Kapasitas bernilai Rendah. Sedangkan kapasitas dalam menghadapi bencana banjir bandang : Ketahanan bernilai Sedang, Kesiapsiagaan bernilai Rendah, dan Kapasitas bernilai Rendah.
Data-data di atas menyimpulkan bahwa upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Lembang belum dilakukan secara sistematis dan terukur.
Baca Juga: Mengapa Pembangunan Pariwisata dan Permukiman Menyebabkan Bencana Banjir di Perkotaan?
Siapa Bilang Citarum Hanya Soal Banjir, Lihat Taman Ceria Ini
Berdiri di Atas Gawir Sesar Lembang
Penyebab dan Respons Banjir di Lembang
Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat (2025), bahwa akar masalah banjir di wilayah Lembang adalah perubahan tata ruang yang tidak terkendali. Sementara menurut Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (28/5/2025), penyebab banjir di Lembang akibat kawasan hutan di hulunya sudah rusak dan hutannya sudah tidak ada. Sedangkan menurut BPBD KBB (2025), penyebabnya adalah cuaca dan resapannya semakin berkurang.
Di warung kopi, muncul obrolan siapa yang paling berdosa dalam kejadian banjir Lembang tersebut. Masyarakat menunjuk pemerintah sebagai pihak yang tidak serius dalam menangani alih fungsi lahan, lemah dalam penegakan aturan dan tidak mempunyai perspektif kebencanaan.
Sebaliknya, masyarakat dituding sebagai pihak yang susah diatur dalam upaya normalisasi saluran karena banyak bangunan milik masyarakat yang berdiri di atas saluran. Masyarakat dicap sebagai tukang membuang sampah sembarangan sehingga lingkungan menjadi kotor tidak sehat serta terjadinya polusi di sungai-sungai. Penggiat wisata juga termasuk yang dituduh sebagai pihak yang suka melanggar aturan tata ruang karena terlalu mementingkan keuntungan ekonomi semata daripada menjaga keseimbangan alam.
Merespons banjir Lembang, Gubernur Jawa Barat (2025) sudah mengeluarkan larangan alih fungsi lahan dan meminta Bupati Bandung Barat untuk segera melakukan evaluasi tata ruang. Bupati Bandung Barat segera merespons apa yang diminta gubernur dengan menyiapkan pembenahan drainase dan berencana melakukan penertiban terhadap bangunan yang berdiri di atas saluran.
Menyikapi banjir Lembang, pihak pemerintahan Kecamatan Lembang menerbitkan Surat Nomor 300.2.3/1017/Kec, perihal Himbauan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Salah satu poinnya berbunyi: “Kepala Desa melalui Ketua Rukun Warga dan Ketua Rukun Tetangga memberikan himbauan sekaligus larangan kepada warganya tidak membangun beton permanen di atas gorong-gorong untuk saluran air supaya air bisa mengalir lancar.”
Desa Tanggap Perubahan Iklim
Bencana banjir di Lembang tidak bisa dilepaskan dari fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan pola cuaca ekstrem semakin sering terjadi. Dampak perubahan iklim sudah dirasakan, seperti kenaikan suhu ekstrem, curah hujan tidak menentu, terjadi hujan ekstrem yang mengakibatkan banjir, hujan disertai angin kencang dan peningkatan suhu udara. Data BRIN (2025), menyebutkan bahwa hujan ekstrem terjadi pada 1 Januari 2020 sampai Januari 2025, curah hujan mencapai lebih dari 300 mm, yang jauh di atas normal.
Menurut Dwikorita (2025), perubahan iklim adalah perubahan signifikan pola cuaca global dan regional dalam jangka panjang. Perubahan yang dulunya memakan waktu jutaan tahun, kini terjadi hanya dalam beberapa dekade akibat aktivitas manusia, terutama sejak Revolusi Industri. Jika tidak ada intervensi, tren pemanasan ini akan terus berlanjut dan berkontribusi pada peningkatan risiko bencana di masa depan.
Berdasarkan laporan Global Climate Risk Index, indeks kerentanan Indonesia menduduki peringkat ke-14, jadi negara kita cukup rentan terhadap perubahan iklim (Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, 2024). Kemudian Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia CERAH pada tahun 2022 meluncurkan laporan sintesis dampak krisis iklim di seluruh sektor kunci di Indonesia, yang kesimpulannya menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan bahwa rumah tangga berpenghasilan rendah akan lebih banyak menjadi korban. Tentunya laporan-laporan tersebut menjadi perhatian serius bagi Indonesia.
Sedangkan kelompok yang paling terdampak jangka panjang oleh krisis iklim adalah generasi muda khususnya Gen Z dan generasi Alpha. Data Indonesia Gen Z Report 2022, mencatat 79 persen anak muda di Indonesia menilai perubahan iklim sebagai isu serius, 70 persen merasa bertanggung jawab untuk bertindak, dan 66 persen bersedia membayar lebih untuk produk ramah lingkungan (Wahyu Eka Styawan, 2025).
Perubahan iklim dan SDGs saling berkaitan erat, karena perubahan iklim yang bersifat global ternyata sangat mempengaruhi bencana banjir di tingkat lokal sehingga perencanaan dan implementasi pembangunan berkelanjutan dimulai dari tingkat global sampai tingkat desa.
SDGs Desa merupakan komitmen pemerintah Indonesia dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Peran Pemerintahan Desa dan Pendamping Desa
Pemerintahan Desa dibantu Pendamping Desa dapat merencanakan program prioritas pembangunannya berdasarkan visi misi desa yang disandingkan dengan program pencapaian SDGSs Desa. Terkait bencana banjir, maka Pemerintahan Desa dapat meresponnya dengan pencapaian SGDs Desa Nomor 13 Tentang Desa Tanggap Perubahan Iklim.
Tujuan dari SDGs Desa nomor 13 adalah membantu mengurangi dampak perubahan iklim secara global, melalui program yang dilakukan oleh perangkat desa dibantu pendamping desa dengan indikatornya tiga komponen dari indeks risiko bencana, yaitu Bahaya (Hazard), Kerentanan (Vulnerability) dan Kapasitas (Capacity).
Menurut Abdul Halim Iskandar (2024), SDGs Desa Nomor 13 merupakan paradigma baru dalam meningkatkan ketahanan dan kapasitas masyarakat desa terhadap dampak perubahan iklim, dengan upaya seperti mitigasi, adaptasi, pendidikan, dan penyadaran, serta mengintegrasikan isu iklim ke dalam kebijakan dan perencanaan desa.
Pemerintah desa dan pendamping desa harus berorientasi pada keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terutama Pendamping Desa harus bertransformasi menjadi agen perubahan yang mampu membaca data untuk mendukung pencapaian SDGs Desa sesuai amanat Permendesa Nomor 3 Tahun 2025.
Untuk percepatan pencapaian SDGs Desa nomor 13, pemerintahan desa bersama pendamping desa dapat melaksanakan beberapa upaya, yaitu: (1) Sosialisasi SDGs Desa di tingkat desa, sesuai dengan amanat Permendes Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2023 pada Pasal 10B Ayat 2; (2) Mengarahkan penggunaan Dana Desa untuk percepatan pencapaian khususnya SDGs Desa Nomor 13 sesuai amanat Permendes Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 8 Tahun 2022, BAB II Pasal 5 ayat 2 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa untuk mitigasi dan penanganan bencana alam dan nonalam sesuai kewenangan Desa; serta (3) Mempromosikan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan mendorong terbitnya Peraturan Desa (Perdes) tentang pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) tingkat desa.
Jadi mitigasi perubahan iklim bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan. Apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan nasib bumi di masa depan dan menentukan nasib generasi masa depan. Untuk itu, mari kita mengambil langkah nyata untuk melindungi bumi dan memastikan bumi tetap menjadi rumah yang nyaman bagi semua! No one left behind.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB