Mengapa Pembangunan Pariwisata dan Permukiman Menyebabkan Bencana Banjir di Perkotaan?
Alih fungsi lahan melalui aktivitas pembukaan lahan hutan, penyempitan DAS, hingga alih fungsi untuk perumahan dan pariwisata tidak akan terlihat dalam RDTR.

Frans Ari Prasetyo
Peneliti independen, pemerhati tata kota
17 April 2025
BandungBergerak.id – Banjir besar melumpuhkan Bekasi dan Karawang, sebagian Tangerang dan Jakarta pada Maret 2025 lalu. Area terdampak bukan hanya pemukiman warga termasuk kawasan perumahan elite, tapi juga pusat perbelanjaan, sarana umum dan fasilitas publik lainnya dengan ketinggian antara 1-3,5 meter. Situasi yang tidak pernah dibayangkan dan terjadi sebelumnya. Namun situasinya sudah dapat diperkirakan secara teknis dan matematis. Mulai dari curah hujan, drainase buruk, sedimentasi sungai hingga perubahan tata ruang terhadap guna lahan di wilayah bagian hulu yang ditenggarai sebagai sumber utamanya. Artinya, banjir kota ini sudah direncanakan, jadi tidak usah kaget dan reaksioner.
Kawasan Puncak merupakan area hulu dari lokasi banjir inni yang merupakan hulu dari empat DAS, Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Alih fungsi lahan dan transfer lahan mengubahnya dari hutan dan perkebunan menjadi hunian elite dan tempat wisata. Dalam 20 tahun terakhir ribuan hektar hutan hilang hanya tersisa 18-20 persen dari total wilayah hulu DAS Ciliwung saja.
Pembangunan di Puncak merupakan domain Kabupaten Bogor melalui RTRW Kabupaten Bogor 2016-2036 yang ternyata telah diubah di akhir pemerintahan bupatinya menjadi RTRW 2024-2044. Lalu terkait pembangunan pemukiman dan area wisata di Puncak juga seharusnya mengacu pada RDTR dan RTBL serta peraturan zonasi yang ternyata belum dimiliki Kabupaten Bogor. RDTR seluruh Jabar ini hanya 17 persen dari seluruh total wilayah yang seharusnya menjadi domain kunci tata ruang pemerintah kota/kabupaten melalui kuasa otonomi daerah yang malah menggunakan kuasa otonomi tersebut mempermudah perijinan dengan alasan investasi dan PAD melalui skema mekanisme di SKPD masing-masing dengan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (OSS). Yang terjadi adalah kekeliruan dalam mengutamakan keuntungan melalui eksploitasi ekonomi jangka pendek daripada mengutamakan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan untuk masa depan.
Perijinan melalui skema OSS yang setidaknya memberikan ijin kepada delapan perusahaan di hulu DAS Ciliwung, yaitu PT Jaswita Lestari Jaya, PT Eigerindo Multi Produk Industri, PT Bobobox Aset Manajemen, PT Karunia Puncak Wisata, PT Farm Nature and Rainbow, PT Pinus Foresta Indonesia, CV Mega Karya Anugrah, PT Jelajah Handal Lintasan, serta PT Perkebunan Nusantara I dan PT Sumber Sari Bumi Pakuan; termasuk dua lokasi wisata, yaitu Hibics Fantasy Puncak milik BUMD provinsi Jabar dan Eiger Adventure Land yang semuanya berada dalam wilayah lahan Perkebunan Nusantara (PTPN). Belum lagi enam perusahaan di Sentul, yaitu PT Sentul City Tbk., PT Light Instrumenindo - Rainbow Hill Golf Club, PT Mulia Colliman International, serta Summarecon Bogor yang dikelola oleh PT Kencana Jayaproperti Mulia, PT Kencana Jayaproperti Agung, dan PT Gunung Srimala Permai.
Hal inilah yang menyebabkan bagaimana alih fungsi dan transfer lahan melalui aktivitas-aktivitas pembukaan lahan hutan, penyempitan DAS hingga alih fungsi untuk perumahan dan pariwisata tidak akan terlihat dalam RDTR namun bekerja secara sembunyi-sembunyi yang nantinya akan tiba-tiba ada dan jika melanggar akan membayar dengan mudah dan dilakukan negosiasi politik transaksional. Pasca Banjir ini, Bupati Bogor terpilih 2024-2029 melalui Peraturan Bupati telah mencabut proses perizinan yang melalui SKPD dikembalikan ke kepala daerah. Terkesan reaksioner dan heroik bukan seperti bagaimana melakukan pembongkaran Kawasan wisata puncak yang hanya dilakukan terhadap yang dimiliki pemprov Jabar yaitu Hibics Fantasy tapi tidak kepada yang dimiliki swasta termasuk milik Eiger Adventure Land.
Selanjutnya, ketentuan alih fungsi kawasan hutan diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 23/2021 dengan tiga mekanisme yang dasarnya diberikan oleh Menteri dan dapat mendelegasikan kewenangannya pada gubernur melalui perubahan peruntukan kawasan hutan lewat pelepasan, perubahan fungsi kawasan hutan, dan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non-kehutanan yang sifatnya sementara dan bukan untuk perkebunan, pariwisata, dan perumahan.
Menteri menetapkan surat keputusan soal perubahan fungsi, pelepasan kawasan, ataupun persetujuan penggunaan kawasan berdasarkan permohonan yang dikirim gubernur. Menteri memutus permohonan dari gubernur dengan mempertimbangkan persentase kecukupan luas hutan di provinsi dan RTRW daerah. Dengan demikian, dapat dilihat proses alih fungsi ini tidak dapat dilakukan secara sembarang dan peran gubernur cukup besar sebetulnya untuk melakukan kontrol terhadap tata kelola sektor kehutanan di wilayahnya. Maka dari itu, Tim Operation Management Office (OMO) dan Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink yang baru saja dibentuk oleh Menteri Kehutanan akan sangat krusial kerjanya dan keberpihakannya, apakah dengan nasionalisme kepada rakyat atau tunduk pada kapitalisme kepada oligarki mafia dan rente tanah.
Regulasi yang ada sudah cukup mencegah eksploitasi kawasan hutan. Tetapi, hanya formalitas macan kertas. Bangunan melanggar aturan tetap berdiri, kadang mendapat legalisasi belakangan dengan negosiasi denda yang tak seberapa dengan pemerintahan daerah hanya demi kepentingan PAD dan tentu saja rente bisnis yang berkelanjutan setelahnya.
Lupakan soal Sustainable Development Goals (SDGs), yang tidak akan dimengerti pengambil keputusan apalagi dikerjakan. Good will-nya saja sudah tidak ada apalagi political will, sehingga kasus-kasus alih fungsi lahan, transfer lahan dan land banking untuk properti dan pariwisata dianggap sebagai bagian dari pembangunan itu sendiri. SDGs, hanya desas-desus di meja pemerintahan dan investor termasuk di ruang-ruang FGD, konferensi akademik termasuk dalam laporan-laporan pemerintahan, seolah-olah pembangunan yang terjadi sudah berkelanjutan, transparan, akuntabel dan adil serta ekologis dengan angka-angka statistik semu yang menyesatkan publik.
Maka, penting juga untuk revisi UU No. 41/1999 untuk mengembalikan lingkungan yang rusak dan memberikan sanksi tegas kepada para perusak alam menjalankan dokumen perizinan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor ini. Sanksi juga dapat diberikan sesuai UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Banjir yang menerpa Kabupaten Bekasi ini berada dalam DAS kali Bekasi yang bersumber dari hulu Sungai Cileungsi di Gunung Pancer dan Hulu Sungai Cikeas di Gunung Geulis. Setidaknya terdapat 8 perumahan di sepanjang aliran sungai ini dan yang terparah mengalami banjir terdapat 5 perumahan yang berada di kali Bekasi. Artinya, pemerintah Kab. Bekasi cenderung abai dalam memberikan ijin pembangunan pemukiman yang berpotensi rawan banjir.
Seyogyanya sebelum ijin perumahan itu diberikan, pemerintah Kabupaten Bekasi seharusnya merujuk pada RTRW Kabupaten Bekasi 2011-2031, termasuk pada UU Sungai No. 17/2019 tentang pengelolaan sumber daya air dan Peraturan Pemerintah No. 28/2015 terkait sempadan sungai dengan mempertimbangkan juga rencana tata ruang di wilayah hulunya yang menjadi domain Kabupaten Bogor melalui kolaborasi daerah yang terintegrasi termasuk dengan provinsi Jabar. Pembangunan yang serampangan di sepanjang Kali Bekasi juga akibat Kabupaten Bekasi tidak memiliki RDTR dan RTBL termasuk peraturan zonasi bahwa area tersebut adalah wilayah DAS yang tidak sembarangan dilakukan pembangunan fisik atau infrastruktur termasuk pemukiman.
Langkah tegas diperlukan untuk menyelamatkan ekologi kawasan hulu dari eksploitasi lahan. Jika serius ingin mengakhiri banjir berulang, maka paradigma pengelolaan kawasan hulu di mana pun harus berubah secara fundamental dan strategis dengan scientific ketat dan teknokratis tepat guna. Air mata pemimpin mungkin menunjukkan ekspresi kepedulian, tetapi tanpa political will dan law enforcement tidak akan menghentikan air bah apalagi hanya dengan berdoa.

Baca Juga: “Ekonomi Dadas”
Pembangunan di Bandung dan Seoul yang Bertolak Belakang
Urbisida Bandung Kota Kreatif
Bagaimana Bandung?
Kawasan Pmerupakan penyangga Jakarta Metropolitian Area, meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, dan Purwakarta dengan sekitar 25 juta penduduk. Begitu pun Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai penyangga cekungan Bandung Metropolitan Area meliputi Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang dengan sekitar 10 juta penduduk.
Kawasan KBU dipagari oleh Perda provinsi Jabar No. 2/2016, dan seharusnya dilindungi RTRW provinsi Jabar. Namun RTRW Provinsi Jabar 2009-2029 baru saja di ubah di akhir pemerintahan Gubernur Ridwan Kamil menjadi RTRW 2022-2042, termasuk RTRW Kota Bandung 2011-2031 yang juga diubah di akhir pemerintahannya ketika menjabat wali kota Bandung menjadi RTRW 2022-2042, padahal RTRW provinsi Jabar dan Bandung masih berlaku. Ada apa?
Selain itu, otonomi daerah khususnya Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat terkadang membuyarkan jaring pengaman ekologis ini. Mereka memiliki kuasa otonomi sehingga hingga sekarang termasuk Kota Bandung sendiri enggan untuk membuat RDTR apalagi RTBL termasuk peraturan zonasi terutama terkait ekspansi pariwisata dan perumahan elite raksasa, agar transfer lahan dan alih fungsi lahannya dapat berlangsung mulus.
Perubahan tata ruang di Kota Bandung sendiri juga sangat bermasalah selain permasalahan di dataran tingginya yang merupakan domain Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan otonominya sendiri-sendiri. Kota Bandung sendiri memiliki RDTR dan Peraturan Zonasi Bandung 2015 – 2035 yang tidak pernah berfungsi sebagai kuasa dari tata ruang yang lebih spesifik. Buktinya Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir kerap mengalami banjir perkotaan yang rutin tanpa ada penyelesaian yang signifikan.
Alih fungsi lahan ekstrem di Kabupaten Bandung di wilayah Cimenyan untuk perumahan, dan secara bersamaan di wilayah Lembang Kabupaten Bandung Barat untuk zona pariwisata. Keduanya sebagai faktor utama penyebab banjir kota Bandung, selain drainase buruk, RTH minim dan rendahnya kepedulian masyarakat untuk tidak buang sampah ke sungai.
Baru saja terungkap telah terjadi alih fungsi lahan di Kawasan KBU di Kabupaten Bandung Barat di wilayah Gunung Tangkuban Perahu yang tertangkap oleh kamera drone netizen dengan peruntukan area wisata Eiger Camp. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Bukankah hal ini juga dapat memicu banjir kepada kawasan Bandung Metropolitan Area seperti bagaimana kawasan Puncak Kabupaten Bogor melakukannya kepada Bekasi dan Karawang.
Perubahan tataguna lahan di daratan Kota Bandung juga tidak kalah masif yang dilakukan oleh developer raksasa untuk hunian elite. Selain menyingkirkan kampung kota yang rentan hukum melalui gentrifikasi, terjadi juga penyingkiran di area pertanian dan lahan terbuka hijau. Yang sangat nyata terjadi wilayah Bandung Timur, di Gedebage.
Ridwan Kamil, wali kota Bandung saat itu menetapkan sekitar 300 ha untuk menjadi Kawasan Bandung Teknopolis dengan mengubah lanskap pertanian dan perkampungan. Tujuh puluh persen lahan Bandung Teknopolis digarap Summarecon. Pemerintahan Wali Kota Ridwan Kamil membuat skenario pembangunan dalam land transfer dan land change untuk menjadi land banking developer. Menjadi rasional kenapa RTRW Kota Bandung diubah di akhir pemerintahannya. Selain tanah aset pemerintah kota yang di setting oleh pemerintah kota untuk masuk dalam skema Bandung Teknopolis ini, terdapat situasi di mana tanah pertanian sawah petani yang dikalkulasi ulang melalui tekanan kebijakan Bandung Teknopolis untuk akhirnya dibenturkan dengan status kepemilikan lahan yang rentan secara hukum serta ketakutan terhadap aparat dan penguasa yang kemudian berhadapan dengan uang developer, maka terjadilah skenario pembangunan ini. Dan Kawasan perumahan elite ini tidak akan banjir termasuk area pariwisata religi Mesjid Al Jabar yang berada di satu kawasan, apalagi setelah dibangunnya embung-embung resapan dan tol air. Yang banjir tetap saja Pasar Gedebage, kampung-kampung di sekitar perumahan dan sisa-sisa area pertanian warga.
Kawasan ini, sejatinya merupakan ekosistem alami cekungan Bandung menjadi lanskap penting dalam ekosistem habitat migrasi burung, khususnya burung Blekok termasuk penyebaran serangga yang berguna untuk pertanian pangan dan keberlangsungan ekosistem hutan diwilayah KBU. Sebagai area tangkapan air hujan dan run off yang berasal dari kota dan dataran tinggi Gunung Manglayang termasuk KBU, juga sebagai cadangan air permukaan raksasa bagi Kota Bandung. Sebagai area pertanian padi terbesar di Bandung, sebagai sumber pangan kota subsisten dan sebagai area irigasi terpadu hasil dari kombinasi sistem alami dan rekayasa engineering yang mengontrol sirkulasi air tanah dan air permukaan.
Area ini merupakan lanskap yang tidak stabil karena berada di pusat cekungan yang berisiko terjadinya gerakan bawah tanah berupa pergeseran bidang permukaan atau ambles yang dapat menyebabkan liquid flanks seperti yang terjadi di Palu. Hal ini sudah diantisipasi kolonial, makanya mereka tidak pernah membangun infrastruktur apa pun seperti jalan, jembatan, gedung, atau rel kereta di wilayah Gedebage ini dan menyiapkannya sebagai lumbung kota melalui sistem dan irigasi yang didukung oleh ekosistem fauna yang khas .
Namun kawasan ini berubah sejak dibangunnya infrastruktur raksasa Stadion Sepak Bola GBLA pada era Wali Kota Dada Rosada yang nyatanya sekarang mengalami kondisi infrastruktur yang tidak stabil – kemiringan fondasi di titik-titik tertentu yang membahayakan. Kebijakan ini berulang di era Wali Kota Ridwan Kamil yang membangun Mesjid Al Jabar di lingkungan tersebut yang sangat berisiko karena berada di permukaan air dan juga menciptakan polusi cahaya kota raksasa. Lalu, pembangunan pemukiman mewah beserta mal dan gedung-gedung vertikal di sekelilingnya.
Lahan pertanian di Bandung menyusut 50 Ha setiap dua tahun. Sekarang ini hanya tersisa 1070 Ha dengan rincian 702 Ha sawah dan sisanya tegalan. Di sisi lain, Ruang Terbuka Hijau hanya sekitar 9-11 persen dari total luasan dataran di Kota Bandung dan tidak pernah bertambah secara signifikan selama dua dekade terakhir. Padahal sesuai amanat UU Tata Ruang, Ruang Terbuka Hijau harus mencapai setidaknya 30 persen. Artinya, ada undang-undang yang tidak terpenuhi malah dilanggar karena area hijaunya seperti area pertanian tadi malah terus berkurang.
Seyogyanya, pemerintah kota melalui APBD dapat menganggarkan untuk melakukan pembelian lahan negara atau lahan masyarakat untuk skenario penambahan lahan hijau di kota, dapat dijadikan sumber pangan melalui pertanian atau jadi ruang terbuka hijau yang dijadikan sebagai aset pemkot. Namun yang terjadi malah pemerintah Kota Bandung di era Ridwan Kamil melakukan mekanisme land transfer kepada pihak swasta melalui HGB seperti yang terjadi di Kiara Arta Park, yang awalnya diklaim sebagai Taman Asia Afrika. Area tersebut memang menjadi RTH namun kepemilikan lahannya yang dipersoalkan, ini taman publik atau privat?
Dalam kacamata pemerintah Kota Bandung, land transfer atau land change menjadi properti atau kepemilikan privat akan lebih provitable mendatangkan PAD dibandingkan jika menjadi RTH atau lahan pertanian atau aset kota sebagai lahan publik, walaupun area tersebut berisiko berpotensi menghadirkan bencana publik, seperti banjir di area eksisting ataupun di tempat lainnya yang terpengaruh oleh perubahan tata kelola lahan ini. Jadi memang, banjir itu direncanakan bukan?
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel Frans Ari Prasetyo, atau tulisan-tulisan tentang Bandung