Benturan Simbolik, Etika, dan Tanggung Jawab Media
Kasus tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 memperlihatkan betapa tipisnya batas antara satir media dan penghinaan simbolik dalam masyarakat yang religius.

Ibram Ibrahim
Penulis dan guru muda. Dapat dihubungi di Instagram @Ibrmmu
23 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Kasus viral bertagar #BoikotTrans7 pada Oktober 2025 menjadi potret menarik tentang ketegangan antara kebebasan berekspresi media dan sensitivitas nilai-nilai keagamaan di Indonesia. Tayangan program Xpose Uncensored di Trans7 yang menampilkan narasi “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” memantik gelombang protes publik. Kalimat yang mungkin dimaksudkan sebagai bumbu hiburan justru diterima sebagai bentuk pelecehan terhadap lembaga pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo yang dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Islam tradisional terbesar di Indonesia. Fenomena ini memperlihatkan betapa tipisnya batas antara satir media dan penghinaan simbolik dalam masyarakat yang religius.
Televisi di Indonesia sesungguhnya memegang peran ganda: sebagai medium hiburan dan lembaga pembentuk nilai sosial. Namun, dalam praktiknya, media sering kali terjebak pada logika industri –mengejar perhatian publik dengan cara menabrak sensitivitas sosial dan kultural.
Dalam konteks program Xpose Uncensored, narasi ringan tentang kehidupan santri itu tampaknya tidak melalui proses penyuntingan etis yang memadai. Padahal, pesantren bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan simbol moralitas, ketaatan, dan transmisi nilai-nilai Islam tradisional. Ketika kehidupan santri digambarkan secara tidak hormat, masyarakat tidak hanya melihatnya sebagai kekeliruan redaksi, tetapi juga sebagai serangan terhadap identitas kolektif yang sakral.
Baca Juga: “Media Silencing” dan Distopia Kebebasan Pers di Era Prabowo
Brain Rot, Algoritma Media Sosial, dan Sistem Ekonomi Kapitalistik
Jalan Tikus Demokrasi, Peran Besar Media Sosial dalam Membentuk Opini Publik
Distorsi Komunikasi
Respons publik yang muncul cepat dan masif. Tagar #BoikotTrans7 mendominasi ruang digital. Para santri, alumni, dan masyarakat pesantren bersuara lantang di media sosial, menuntut permintaan maaf dan klarifikasi terbuka. Ini menandai munculnya ruang publik digital baru, di mana masyarakat tidak lagi menjadi penerima pasif pesan media, melainkan pengontrol aktif terhadap etika komunikasi.
Dalam perspektif Jürgen Habermas, situasi ini mencerminkan transformasi ruang publik menjadi arena partisipatif, di mana diskursus moral dan sosial berlangsung secara terbuka antara media dan warga. Namun, yang tampak di sini bukanlah diskusi rasional yang setara, melainkan ledakan emosi akibat ketimpangan makna: apa yang dianggap ringan oleh media, dianggap menghina oleh publik. Di titik inilah terjadi distorsi komunikasi yang disebut Habermas sebagai kegagalan rasionalitas komunikatif –pesan kehilangan ruang pemahaman bersama (mutual understanding) karena tidak ada keseimbangan antara intensi penyiar dan horizon makna penonton.
Dalam pandangan etika komunikasi Islam, ucapan memiliki tanggung jawab moral yang besar. Prinsip qaulan ma’rufa(perkataan yang baik) dan qaulan layyina (perkataan yang lembut) mengajarkan bahwa setiap komunikasi harus membawa kebaikan dan menjauhkan fitnah. Dalam konteks media, prinsip ini berarti setiap kata yang keluar dari layar publik harus mempertimbangkan dampaknya terhadap kehormatan dan harga diri manusia.
Kalimat dalam tayangan Xpose Uncensored melanggar prinsip tersebut karena menimbulkan kesalahpahaman, menyakiti perasaan kolektif umat, dan menurunkan martabat lembaga keagamaan. Ia bukan hanya persoalan etika penyiaran, melainkan juga persoalan moralitas komunikasi dalam masyarakat beragama.
Dari sisi sosial budaya, insiden ini mencerminkan benturan dua dunia simbolik: budaya urban media yang menormalkan gaya bicara sinis, hiperbolik, dan lucu; berhadapan dengan budaya pesantren yang menekankan adab, kesopanan, dan kesakralan perilaku. Media hiburan bekerja dengan logika sensasi, sementara pesantren hidup dengan logika kesucian. Ketika keduanya bersinggungan tanpa pemahaman konteks, maka muncul yang disebut Pierre Bourdieu sebagai symbolic violence –kekerasan simbolik yang dilakukan oleh institusi dominan terhadap kelompok dengan nilai budaya berbeda. Dalam hal ini, media (sebagai institusi dominan) menggunakan bahasa yang tidak peka terhadap nilai-nilai pesantren (sebagai institusi kultural subordinat), dan akibatnya menimbulkan luka simbolik di ruang publik.
Membangun Etika Media yang Lebih Inklusif
Oleh karena itu, tanggung jawab etis seharusnya berada di pundak media. Trans7, sebagai lembaga penyiaran nasional, semestinya segera memberi klarifikasi terbuka, bukan sekadar demi citra, tetapi sebagai bentuk moral accountability. Permintaan maaf publik, evaluasi proses redaksi, dan dialog dengan pihak pesantren merupakan langkah penting untuk memulihkan kepercayaan publik. Dalam konteks regulasi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebenarnya telah menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang melarang penayangan konten yang melecehkan agama atau kelompok masyarakat tertentu. Maka, pelanggaran seperti ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga soal kepatuhan terhadap norma penyiaran yang berlaku.
Kasus #BoikotTrans7 menjadi cermin lebih besar tentang kondisi media Indonesia hari ini: di satu sisi, menuntut kebebasan berekspresi; di sisi lain, masih sering abai terhadap tanggung jawab sosialnya. Dalam ruang publik yang religius seperti Indonesia, kebebasan berekspresi tidak bisa dilepaskan dari kesadaran moral. Media yang ingin hidup lama harus belajar berbicara dalam bahasa empati –bukan sekadar bahasa sensasi. Sebab, di negeri yang menjunjung tinggi nilai agama, kata-kata bukan hanya alat informasi, tetapi juga cermin keimanan, kesopanan, dan kemanusiaan.
Akhirnya, kasus ini seharusnya tidak hanya diakhiri dengan permintaan maaf atau boikot sesaat, tetapi dijadikan momentum untuk membangun etika media yang lebih inklusif. Media perlu menyadari bahwa keberagaman nilai di masyarakat Indonesia menuntut kepekaan komunikasi yang tinggi. Jika Trans7 dan media lain mampu menjadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama, maka dari luka simbolik ini bisa lahir kesadaran baru: bahwa kekuatan media sejati bukan terletak pada keberaniannya menyinggung, tetapi pada kemampuannya menjaga martabat manusia melalui komunikasi yang beradab.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB