“Media Silencing” dan Distopia Kebebasan Pers di Era Prabowo
Kooptasi dan delegitimasi menjadi bentuk terkini pembungkaman oleh aparat negara. Tren penurunan kebebasan pers akan semakin kencang hingga beberapa waktu mendatang.

Dhien Favian A
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya
3 Mei 2025
BandungBergerak.id – Pada tahun 2025, tepatnya pada 20 Maret, masyarakat sipil disajikan akan kembalinya “hantu” Orde Baru melalui pengesahan revisi UU TNI. Kala itu, DPR dan Pemerintah sepakat mengetok revisi dari UU No 34 Tahun 2004 dengan “secepat kilat” –jauh lebih cepat dibandingkan pengesahan Omnibus Law– dan revisi UU TNI seketika menandakan pudarnya era Reformasi. Hal ini dikarenakan perubahan ini kembali membuka jalan terhadap dwifungsi ABRI yang sudah ditutup oleh Reformasi dan revisi UU TNI menjadi legitimasi palsu bagi tentara untuk bersikap “intervensionis” terhadap urusan sipil, yang akan mencoreng profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.
Terdapat dua klausul yang paling kontroversial sepanjang pengesahan revisi ini. Pertama, perpanjangan usia pensiun. Dalam revisi UU TNI, usia pensiun perwira tinggi tidak lagi pada usia 58 tahun, namun diperpanjang hingga pada usia 63 tahun. Penambahan ini jelas menguntungkan perwira tinggi yang memiliki kedekatan politis dengan rezim. Kedua, kewenangan perwira aktif untuk menduduki jabatan sipil. Dalam revisi UU TNI, lembaga sipil yang bisa ditempati oleh TNI bertambah menjadi 16 (seperti Kejaksaan Agung dan Badan Nasional Penanganan Terorisme) dan keterlibatan mereka diteken melalui persetujuan presiden alih-alih mekanisme pengunduran diri.
Dengan klausul yang sebegitu kontroversial, tidak heran apabila perumusan revisi UU TNI kembali mengulang “dosa-dosa” DPR di periode Jokowi. Kejar tayang, menyerobot prosedural, hingga tidak melibatkan masyarakat menjadi resep yang kembali digunakan dalam pembahasan revisi UU TNI dan hampir pasti hanya kepentingan rezim Prabowo yang diakomodir tanpa memperhatikan dampaknya kepada masyarakat. Alhasil, gelagat mereka kembali menaikkan “temperamen” masyarakat. Di Jakarta, Bandung, Semarang, dan kota-kota besar lainnya, demonstrasi besar menolak UU TNI menggema di berbagai daerah dan massa yang semakin militan berdemonstrasi tidak menyurutkan gelombang perlawanan dari masyarakat terhadap kondisi Indonesia yang semakin runyam.
Demonstrasi #TolakUUTNI kembali direspons dengan tindakan represif dari aparatus negara, namun kali ini tingkatannya lebih vulgar dari sebelumnya. Seperti halnya demonstrasi dari Aliansi Suara Rakyat (Asuro) di Malang pada 23 Maret lalu, aparat TNI dan POLRI menangkap, memukul dan menahan sejumlah demonstran yang kabur pasca kerusuhan dan beberapa di antaranya justru mengenai pers mahasiswa dan paramedis. Kejadian ini diakui oleh rekan-rekan pers mahasiswa Kota Malang yang mengalami luka memar, terjatuh oleh polisi, hingga ada demonstran yang mengalami luka berat dan harus dirawat di rumah sakit. Lagi dan lagi, represivitas aparat ini menunjukkan bagaimana polisi bersikap antagonistik terhadap demonstrasi dan demo yang dianggap “menantang status quo” melegitimasi polisi untuk menggunakan instrumen kekerasan dalam menindaknya, hingga menjatuhkan korban yang tidak bersalah. Usut punya usut, kemarahan sipil dalam UU TNI kali ini juga dihadapkan pada iklim media massa/pers yang sangat asimetris. Undangan “makan malam” oleh Istana dan teror kepada media Tempo menjadi indikasi positif terhadap pembungkaman kebebasan pers yang semakin terang-terangan.
Baca Juga: Dewan Pers: RUU Penyiaran Upaya Kesekian Pemerintah dan DPR Menggembosi Kebebasan Pers
Pengeroyokan Jurnalis Kompas dan Teror Bangkai Tikus ke Redaksi Tempo Menambah Suram Kebebasan Pers di Indonesia
Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus Menyerang Jurnalis Tempo, Peringatan Keras Bahwa Kebebasan Pers di Indonesia Berada di Tepi Jurang
Tren Penurunan Indeks Kebebasan Pers
Diawali dengan pertemuan di Hambalang, Prabowo mengundang beberapa pimpinan media mainstream dalam sebuah pertemuan eksklusif. Pertemuan yang dilangsungkan tanggal 22 Februari berlangsung selama 6 jam dan Istana menyebutkan bahwa pertemuan ini sebagai bentuk silaturahmi pemerintah dengan media. Tercatat hampir semua media massa turut menghadiri pertemuan tersebut, seperti Katadata, TVRI, Antara, Detik, hingga Kompas, dan hanya Tempo yang diketahui tidak menghadiri pertemuan tersebut. Akan tetapi, pertemuan yang berlangsung sesaat setelah demonstrasi #IndonesiaGelap, pertemuan ini mengundang kecurigaan besar akan upaya kooptasi terhadap independensi media. Hendri Satrio mengkritik pemerintah gagal membangun komunikasi publik yang konstruktif dan media dijadikan sebagai “corong komunikasi” dalam menyampaikan agenda pemerintah tanpa sedikit pun membenahi kesalahan mereka.
Preseden selanjutnya ialah teror kepada media Tempo, di mana per tanggal 21 Maret dan 22 Maret kantor berita Tempo berturut-turut didatangi oleh dua paket misterius yang berisikan “kepala babi” dan “enam bangkai tikus”. Paket misterius ini dilempar sehubungan dengan liputan jurnalis Tempo yang membongkar skenario revisi UU TNI kepada publik dan bila dilihat dari pola yang ada, “teror” dalam bentuk bangkai hewan menyiratkan pesan ancaman kepada jurnalis Bocor Alus yang kritis terhadap kekuasaan. Kejadian ini seketika mengulang teror terhadap Suara Indonesia pada tahun 1983, ketika liputan investigasi terhadap Petrus (Penembak Misterius) dibalas dengan teror pengiriman “kepala manusia” kepada Peter Rohi sebagai bentuk intimidasi terhadap jurnalis disana.
Bila berkaca dari dua fenomena di atas, penurunan indeks kebebasan pers berlangsung semakin kencang pada awal pemerintahan Prabowo. Dekadensi tersebut berlangsung melalui dua taktik yang dilakukan oleh institusi negara dalam mendiskreditkan independensi media. Pertama, kooptasi media mainstream dalam lingkaran kekuasaan. Di seluruh dunia, kooptasi atau penyerapan media massa oleh kekuasaan selalu dimanfaatkan untuk menjadi aparatus propaganda yang efektif. Akan tetapi, kooptasi ini juga berkelindan dengan iklim media yang oligopolistik (dikuasai beberapa pihak dominan), yang pada gilirannya mengencangkan konvergensi dari kooptasi tersebut. Tapsell (2017) dalam bukunya Media Power in Indonesia menggambarkan bagaimana kepemilikan media mainstream seperti CNN Indonesia dan Republika oleh taipan bisnis membuat kerja-kerja redaksi sudah di setting untuk memenuhi pangsa pasar, seperti pemberitaan kasus viral hingga infotainment. Apabila para taipan ini masuk ke dunia politik, maka agenda media akan disetir untuk mendapatkan engagement dan profit lebih besar dari siapa yang mereka dukung. Alhasil, tidak mengherankan apabila pemberitaan dari satu media yang mendukung kekuasaan condong akan menyajikan pemberitaan yang ultra-positif kepada Istana.
Delegitimasi Media?
Di era Prabowo, upaya seperti ini diulang kembali dengan pertemuan media di Istana. Tentu hal ini ditujukan supaya media tidak lagi bersikap kritis terhadap manuver Prabowo. Tidak heran ketika demonstrasi #TolakUU TNI tidak menjadi headline media arus utama dan mereka lantas mengalihkan pemberitaannya pada isu-isu yang tidak krusial, yang kemudian diterjemahkan sebagai pengalihan isu terhadap apa yang seharusnya didengar oleh publik. Kedua ialah media delegitimization. Delegitimasi diartikan sebagai upaya sistematis dari instansi negara untuk menurunkan performa dan kredibilitas media independen di hadapan publik. Sebelum teror “kepala babi”, jurnalis independen (termasuk Tempo) sudah menghadapi berbagai tekanan dari segala arah. Dimulai dari kekerasan terhadap Nurhadi, doxing kepada jurnalis AJI (Aliansi Jurnalis Independen) atas liputan #IndonesiaGelap, hingga penyerangan kantor Tempo dengan molotov, serangan terhadap media independen semakin marak dalam lima tahun terakhir dan semuanya tidak pernah dibereskan oleh aparat kepolisian. Malahan, intimidasi ini terkesan “sengaja” dibiarkan oleh kepolisian untuk membuka serangan-serangan yang lebih intensif dalam membungkam kekritisan para jurnalis. Itu artinya, aparatur koersif negara diperalat sebagai “senjata” untuk menjatuhkan harga diri media yang kritis terhadap rezim melalui kekerasan fisik maupun psikis.
Delegitimasi media saat ini juga berpotensi mengulang peristiwa kelam terhadap kebebasan pers di zaman Orde Baru. Pembredelan Tempo, Editor, dan Detik pada 21 Juni 1994 seharusnya sudah cukup menjadi “memori kelam” dari pembredelan media massa oleh rezim otoriter yang terusik dengan laporan “kebusukan” di dalamnya. Namun dengan adanya manuver untuk merevisi UU Polri dan Kejaksaan, ada kekhawatiran bahwa aparat negara yang semakin bersifat superbody dapat melakukan tindakan serupa demi menjaga stabilitas nasional, apalagi dengan kewenangannya yang semakin besar tanpa pengawasan yang super ketat terhadap dua lembaga ini. Akhir kata, kebebasan pers hari ini mendapat ancaman serius dengan berbagai kasus yang terjadi dan lemahnya komitmen pemerintah dalam mencegah semua preseden tersebut membuat indeks demokrasi, khususnya kebebasan pers, semakin merosot tajam hari ini.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pers Indonesia