Brain Rot, Algoritma Media Sosial, dan Sistem Ekonomi Kapitalistik
Sebelum turun langsung melalui algoritma, kapitalisme sudah sejak lama mencoba masuk ke rumah-rumah warga untuk mengontrol perilaku masyarakat.

Fikri Arigi
Pegiat Kreatif Media Digital. Bisa dihubungi melalui [email protected]
11 Juli 2025
BandungBergerak.id – “Kakek-nenek ngasuh incu / Ayah-ibunya bekerja / Pergi pagi, pulang maghrib / Untuk beli Rocket Chicken”
Pada penggalan syair lagu “Pabrik” milik paduan suara Mother Bank ini, sang incu atau cucu tampaknya masih punya sisa keberuntungan karena kehadiran kakek-nenek yang mengasuhnya. Bagi anak lain di skenario lain di mana kedua orang tuanya sama bekerja, boleh jadi ia hanya diasuh algoritma. Di mana hari-hari ini ia disesaki konten receh dan dangkal.
Konten di media sosial yang kini cenderung berdurasi singkat, jadi sarana hiburan mainstream yang lazim dikonsumsi sehari-hari. Seiring dengan meledaknya popularitas Tik-Tok medio 2018-2019, pelan tapi pasti perilaku masyarakat ikut bergeser, dari yang awalnya anteng mengonsumsi film berdurasi panjang, turun ke puluhan menit, dan akhirnya mentok di video puluhan detik.
Pola konsumsi konten receh, dangkal, lagi singkat bisa memengaruhi kemampuan fokus dalam durasi panjang. Pengguna media sosial cenderung mencari hiburan dan informasi instan dalam video berdurasi pendek yang dipenuhi punchline, ketimbang video dengan informasi detail namun berdurasi panjang.
Pembiaran terhadap pola konsumsi ini kemungkinan besar akan berdampak pada gangguan konsentrasi, memori, kemampuan pemecahan masalah, dan pengendalian diri. Gejala-gejala tersebut populer dengan sebutan Brain Rot yang berarti penurunan fungsi kognitif.
Pakar berpendapat dampak lain yang mungkin terjadi adalah cedera cara pikir berupa kemalasan berpikir dalam (deep thought). Brain rot dapat menjangkiti segala usia dan lapisan ekonomi tanpa terkecuali, meski demikian menurut survei Kompas (2025) generasi Z dan generasi Alfa adalah kelompok paling terdampak. Dampaknya bagi kelas menengah ke bawah lebih parah lagi, dikarenakan rendahnya tingkat literasi digital, dan minimnya alternatif hiburan.
Selain dua faktor tersebut, penting untuk menyertakan fakta bahwa mayoritas kelas menengah ke bawah datang dari kelas pekerja. Maka faktor-faktor eksternal seperti tekanan pekerjaan dalam sistem ekonomi kapitalistik, jadi hal yang harus dipertimbangkan sebagai pemengaruh pola asuh.
Bagi mereka yang lebih dari separuh usianya dipenuhi tuntutan kerja, punya waktu mengasuh saja sudah jadi barang mewah.
Baca Juga: Menggoda Pemilih Muda
Dari Parit Milisi Jerman ke Dago Elos
Palestina dan Netizen yang Nirempati dalam Bermedsos
Matinya Pikiran Kritis
Senyampang itu, informasi kini bertransformasi jadi barang murah. Informasi yang berseliweran seolah tanpa batas, dianggap dapat mendongkrak pengetahuan dan intelektualitas. Anggapan ini tak sepenuhnya salah, namun dalam praktiknya informasi yang ada sering kali tidak punya bobot. Lebih parah lagi informasi sumir dan tidak terverifikasi lebih mendominasi. Terpapar secara berlebihan oleh informasi semacam ini, dapat berujung pada mandeknya kemampuan seseorang berpikir kritis,
Neraca ekonomi para pengembang platform media sosial tidak digerakkan oleh pertumbuhan kualitas masyarakat. Hal itu membuat pikiran yang sederhana, serta cenderung mudah diprediksi, dinilai akan lebih menguntungkan secara ekonomi. Sebaliknya pikiran yang gemar bertanya, dan meragukan segala sesuatu yang ditemui, akan membuat tugas para pengembang lebih sulit dalam membentuk algoritma.
Algoritma dibentuk dari pengalaman pengguna media sosial. Setiap mata (views), atau klik dari pengguna akan ada jejak yang ditinggalkan. Data-data ini diterjemahkan sebagai data perilaku, yang sebagiannya digunakan untuk diaplikasikan kepada produk mereka guna memperbaiki layanan. Lalu ada pula data lainnya yang disebut sebagai behavioral surplus, diumpankan pada mesin yang berfungsi untuk mengolah prediksi (Zuboff, 2019).
Prediksi hasil olahan yang terus dicerna pengguna dalam jangka waktu tertentu, pada akhirnya akan membentuk selera. Setelah selera terbentuk pengembang lebih mudah untuk mempertahankan durasi penggunaan platform mereka. Semakin betah seseorang di dalam platform artinya semakin banyak pengguna aktif. Besarnya jumlah pengguna aktif menjadi daya tarik bagi pengiklan. Skema bisnis data pengguna aktif ini merupakan komoditas terbesar bagi pengembang.
Pada banyak kasus, seseorang yang terlarut dalam prediksi-prediksi algoritma akan terperangkap dalam echo chamber. Ruang yang mengisolasi dirinya dari gagasan atau opini yang kontradiktif dengan yang ia yakini. Kombinasi echo chamber dan brain rot lantas menjadi lahan gembur bagi disinformasi. Gagasan yang minim tantangan, ditambah dengan lemahnya fungsi otak dalam memilah informasi, sangat efektif dalam mengaburkan fakta dan menumbuhkan hoaks.
Anak yang tumbuh bersama algoritma, bukan hanya mengonsumsi konten, lebih dari itu selera dan opininya dipanen dalam bentuk data. Pencatatan perilaku sedini mungkin akan semakin memperkaya data pengalaman pengguna yang dimiliki pengembang. Bagi sistem ekonomi kapitalistik yang juga diadopsi oleh platform-platform digital, individu tidak lagi dipandang sebagai konsumen semata, namun juga produsen data (Platform Capitalism, 2023).
Pola Asuh Sebagai Alat Kontrol
Sebelum turun langsung mengasuh melalui algoritma, kapitalisme sudah sejak lama mencoba masuk ke rumah-rumah warga untuk mengontrol perilaku masyarakat. Salah satu upayanya dengan mendikte cara orang tua dalam mendidik anak. Kapitalisme menganggap cara masyarakat merawat dan mendidik anak tidak efektif, karena terlalu banyak melibatkan kasih sayang dalam prosesnya. Cinta di mata ekonomi pemodal, diposisikan hanya sebagai rintangan bagi profit.
Pada awal 1900-an beriringan dengan merebaknya revolusi industri, John Broadus Watson seorang psikolog yang mempopulerkan teori behaviorism, menulis Psychological Care of Infant & Child (1928). Pada buku tersebut John menjelaskan perilaku-perilaku anak dan memberikan semacam petuah tentang bagaimana cara mengontrolnya. The Dangers of Too Much Mother Love adalah salah judul bab di dalam buku setebal 159 halaman ini. Pada bab itu John menjelaskan bagaimana afeksi berlebih terhadap anak itu berbahaya, dan tidak memiliki dampak bagi ekonomi.
Bagi sistem kapitalistik ayah dan ibu yang fokus bekerja adalah sekrup yang bisa mendatangkan untung. Karena itu penting untuk memastikan para pekerja mendapatkan tidur yang cukup (meski di waktu yang sempit, lepas bekerja), daripada harus mencurahkan perhatiannya pada anak yang menangis di malam hari.
Untuk alasan yang sama pula, Luther Emmet Holt, seorang dokter anak, penulis buku The Care and Feeding of Children (1894), menganjurkan orang tua untuk segera mengajarkan anak untuk tidur sendiri di malam hari sedini mungkin. John dalam bukunya mengapresiasi Luther sebagai tokoh yang mendorong “modernisasi” pola asuh para orang tua.
Apa yang dilakukan John dan Luther merupakan contoh klasik dari gabungan kekuatan pemodal, yang mencari legitimasi berkedok sains. Contoh terakhir tidak bersifat eksklusif, bisa disesuaikan dengan karakteristik masyarakat dan nilai-nilai yang diampu. Modal bisa cair mencari pembenaran lewat jalur lain; agama, opini publik, hukum, hingga koersi.
Seabad pasca buku-buku itu terbit, pemilik modal tak berhenti mencari cara paling efektif dalam mendatangkan laba. Laju revolusi industri tidak berhenti, sampai hari ini konon masyarakat sudah sampai di versi 4.0 era digital. Bahkan di era revolusi industri perkembangan datang di kecepatan yang luar biasa. Ditambah kehadiran artificial intelligence (AI) membuat efisiensi meningkat berkali lipat.
Dalam logika kapitalisme melatih AI dengan biaya ratusan juta dolar, dengan konsumsi energi di taraf yang destruktif bagi lingkungan dinilai lebih rasional, ketimbang mendirikan lebih banyak daycare gratis, atau minimal bersubsidi. Galibnya di tengah ekonomi kapitalistik ini, bagi para pekerja brain rot bukan hanya dampak, tapi syarat menghindari “efisiensi”.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB