Kabar Lelang Panas Bumi dari Gunung Lawu: Negara, Energi, dan Gunung yang Dikhianati
Negara sedang mengulangi kesalahan lama: menukar keseimbangan alam dengan kepentingan investasi.

Taufik Nurdin
Aktif berkegiatan bersama Gunung Institute dan Perintis Literasi
24 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Di setiap jengkal tubuh Nusantara, gunung bukan sekadar puncak bumi yang menjulang. Ia adalah poros kehidupan, tempat manusia menata waktu, menakar musim, dan menumbuhkan makna. Dari lereng-lerengnya mengalir air yang memberi hidup, dari keteduhannya lahir keyakinan akan keseimbangan antara manusia dan alam. Namun di zaman yang kian berpihak pada industri, gunung perlahan kehilangan kesuciannya. Ia dipandang bukan lagi sebagai pusat dunia, melainkan sumber daya yang bisa ditambang, diukur, dan dilelang.
Kini, perubahan itu nyata di depan mata. Gunung-gunung yang dahulu dijaga dengan doa, kemenyan, dan penghormatan kini dihadapkan pada mesin kebijakan yang menimbangnya dengan kalkulasi megawatt. Apa yang dulu dianggap sakral telah bergeser menjadi angka dalam proyek investasi.
Pada awal Oktober 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengumumkan bahwa pemerintah akan membuka lelang sepuluh wilayah pengelolaan panas bumi (WKP). Salah satu wilayah yang masuk peta survei itu adalah Jenawi, Karanganyar, di lereng Gunung Lawu. Dilansir dari Instagramnya @mongabay.id, Direktur Panas Bumi Ditjen ESDM, Yunus Saiful Haq, menyebut proyek ini menargetkan kapasitas 165 megawatt (MW). Namun, tak ada kejelasan tentang investor maupun nilai investasinya.
Kabar tentang rencana lelang itu terdengar dingin dan teknokratis, namun di balik angka dan istilah industri, ada sesuatu yang jauh lebih halus sedang terusik. Gunung Lawu, dengan hutan-hutannya yang berkabut dan kisah-kisah leluhur yang masih berbisik di setiap mata airnya, tiba-tiba masuk dalam peta survei dan dokumen tender. Di meja rapat kementerian, mungkin Lawu hanya tampak sebagai potensi energi, tetapi bagi mereka yang hidup di kakinya, gunung itu adalah ruang hidup dan penopang keseimbangan alam. Gunung Lawu, tempat bertemunya manusia dan semesta, kini sedang ditakar dalam megawatt dan dilelang dalam tender investasi.
Namun, di antara deru kebijakan dan bahasa teknis yang meminggirkan kesakralan, ada kegelisahan yang menghantui. Kegelisahan yang berakar pada pandangan lama tentang bagaimana manusia menempatkan diri di hadapan alam. Bagi masyarakat di lereng Lawu, kabar tentang “pengelolaan energi panas bumi” mungkin bukan hanya persoalan proyek, tetapi soal relasi yang terusik. Gunung yang dulu sebagai tempat yang “sakral”, kini menjadi target eksplorasi dan mungkin saja eksploitasi. Dari sinilah tampak betapa jauh cara pandang kita.
Baca Juga: Gunung Rinjani, Habis Viral Terbitlah Aral
Wastra Sunda Kuna: Jejak Doa dari Gunung, Hutan, dan Tangan Perempuan
Gunung Guntur, antara Warga yang Peduli dan Bebalnya Institusi
Gunung sebagai Puseur
Dalam pandangan masyarakat Jawa dan Sunda Kuna, gunung bukan sekadar puncak bumi. Ia adalah pusat dunia, tempat segala yang hidup mendapatkan arah dan keseimbangan. Gunung adalah tempat spiritual yang menyatukan manusia, leluhur, dan alam semesta. Ketika negara menempatkan gunung sebagai komoditas energi, ia telah menggeser gunung dari posisi sakral menuju ranah eksploitasi. Etika lama yang menghormati gunung sebagai ibu bumi digantikan oleh logika industri yang melihatnya sebagai sumber daya ekonomi.
Namun, ketika nilai-nilai lama itu perlahan tersisih oleh narasi pembangunan dan kemajuan, pandangan terhadap gunung pun berubah. Ia tak lagi dilihat sebagai poros spiritual yang menjaga keseimbangan jagat, melainkan sebagai lahan potensial yang bisa ditakar dan ditambang. Pergeseran ini bukan hanya soal cara pandang terhadap alam, tetapi juga soal hilangnya etika kosmologis yang selama berabad-abad menuntun manusia Nusantara dalam memperlakukan lingkungannya. Di titik inilah, warisan kearifan seperti yang hidup dalam ajaran masyarakat Sunda menemukan relevansinya kembali. Sebab dalam sistem nilai mereka, gunung, hutan, dan air bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari tatanan hidup yang harus dijaga dengan kesadaran moral.
Patanjala: Sebagai Etika Lingkungan yang Mapan
Dalam ajaran masyarakat Sunda, Patanjala bukan sekadar konsep, melainkan sistem etika lingkungan yang mapan. Ia menata hubungan manusia dengan alam berdasarkan keseimbangan, bukan dominasi. Dalam praktiknya, Patanjala mengenal konsep Leuweung Larangan (hutan larangan yang tak boleh diganggu), Tutupan atau Titipan (wilayah yang dijaga sebagai amanah), dan Baladahan (wilayah yang boleh diolah dengan penuh tanggung jawab). Patanjala bukan hanya mengatur bagaimana manusia menjaga hutan dan tanahnya, tetapi juga bagaimana ia menempatkan diri dalam ruang dan waktu kehidupan. Dalam pandangan ini, alam tidak hanya dilihat sebagai ruang fisik, melainkan juga ruang makna, tempat manusia menunaikan perannya sebagai bagian dari keteraturan kosmos. Karena itu, ajaran Patanjala mengenal tiga tatanan utama: Tata Wilayah, Tata Wayah, dan Tata Lampah. Tata Wilayah mengatur ruang hidup, Tata Wayah mengatur waktu, sedangkan Tata Lampah mengatur laku atau tindakan: bagaimana manusia harus bersikap, bekerja, dan berinteraksi dengan sesama makhluk. Ketiganya menjadikan Patanjala sebagai sistem kehidupan yang berlapis ruang, waktu, dan tindakan yang saling terhubung dan menumbuhkan harmoni. Dari sinilah, kita dapat melihat bahwa Patanjala berdiri di atas dasar etika yang bukan hanya ekologis, melainkan juga sosial dan spiritual. Pembagian ini menunjukkan betapa masyarakat Sunda memiliki sistem konservasi yang terukur jauh sebelum istilah environmental ethics dikenal dunia modern.
Konsep Patanjala tercatat dalam Naskah Amanat Galunggung, atau Kropak 632, manuskrip abad ke-13 hingga ke-15 yang ditulis pada daun lontar dan nipah dengan aksara Sunda Kuna. Naskah ini bahkan lebih tua dari Sanghyang Siksakandang Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M). Amanat Galunggung bukan sekadar teks, melainkan warisan etika ekologi: nasihat Raja Rakyan Darmasiksa kepada anaknya tentang hidup selaras dengan alam. Dalam naskah itu tersirat kesadaran bahwa menjaga air, tanah, dan gunung adalah menjaga diri sendiri. Patanjala, dengan demikian, adalah etika lingkungan yang telah hidup berabad-abad sebelum konsep modern tentang konservasi lahir.
Kini, nilai-nilai itu tak lagi memiliki tempat dalam kebijakan publik. Negara memilih mendengar suara investor ketimbang suara gunung. Di berbagai daerah, eksploitasi panas bumi kerap berujung pada rusaknya ekosistem dan sumber air.
Kritik terhadap Sistem
Kritik terhadap proyek Lawu bukanlah bentuk penolakan mentah terhadap pembangunan. Pembangunan tetap penting, tetapi tidak boleh menyingkirkan nilai-nilai budaya lokal, mengabaikan dampak ekologis, dan mencabut akar spiritual masyarakat terhadap gunung. Ketika kesakralan gunung hilang, hilang pula rasa peduli terhadapnya. Maka, yang tersisa hanyalah tubuh bumi yang digerogoti tanpa rasa bersalah.
Kritik terhadap proyek panas bumi di Lawu dan sekitarnya, sejatinya membuka ruang bagi refleksi yang lebih dalam: bahwa krisis yang kita hadapi bukan hanya soal kebijakan energi, melainkan krisis cara pandang terhadap alam. Di titik inilah, pembangunan kerap kehilangan nalarnya, ia menjadi sekadar urusan teknis dan ekonomi, bukan lagi bagian dari laku hidup yang berakar pada kearifan bumi. Maka, untuk memahami apa yang hilang dari cara kita memandang alam hari ini, kita perlu menengok kembali sumber-sumber kebijaksanaan lama yang pernah hidup di tanah ini.
Di tengah krisis ekologis global, ajaran seperti Patanjala menjadi cermin bahwa masyarakat Nusantara punya peradaban ekologis yang maju. Patanjala menempatkan manusia sebagai bagian dari alam, bukan penguasa atasnya. Etika ini menolak eksploitasi tanpa keseimbangan, dan menuntut tanggung jawab spiritual atas setiap tindakan terhadap alam. Dalam Amanat Galunggung tertulis, “Alam teu meunang dilebur, cai teu meunang diruksak; lamun rusak, rusak diri sorangan.” (Alam tak boleh dihancurkan, air tak boleh dirusak; karena jika rusak, manusialah yang binasa.) Ini bukan hanya nasihat moral, melainkan peringatan ekologis yang relevan saat negara membuka jalan bagi lelang demi energi yang belum tentu bersih.
Alam yang dahulu disapa dengan doa dan rasa hormat, kini dipandang semata sebagai sumber daya. Ketika spiritualitas ekologis digantikan oleh logika investasi, batas antara kebutuhan dan keserakahan menjadi kabur. Di sinilah pertaruhan terbesar kita: apakah masih ada ruang bagi kearifan lama untuk berbicara dalam bahasa kebijakan modern? Sebab jika suara itu bungkam, maka keputusan seperti lelang panas bumi di Lawu bisa menjadi preseden berbahaya.
Preseden bagi Gunung-gunung Lain
Lelang panas bumi di Lawu bisa menjadi preseden berbahaya. Jika gunung seperti Lawu dapat dieksploitasi atas nama pembangunan, maka gunung-gunung lain di Nusantara pun menunggu giliran. Gunung bukan sekadar bentang alam; ia adalah sumber pengetahuan, sistem kepercayaan, dan pusat keseimbangan. Mengabaikannya berarti mengkhianati warisan ekologis yang membentuk identitas bangsa ini.
Dalam tiap lapisan tanah dan kabut yang menyelimuti gunung-gunung, tersimpan ingatan panjang tentang cara manusia Nusantara memahami alam. Bila gunung kehilangan suaranya karena dieksploitasi dan diukur hanya dengan nilai ekonomi, maka sesungguhnya yang hilang bukan hanya lanskap, melainkan kebudayaan bangsa ini.
Mungkin Lawu sedang menguji manusia masa kini, apakah kita masih mampu mendengar bisikan lembut alam yang menuntun kebijaksanaan, atau telah sepenuhnya tuli oleh gemuruh mesin dan ambisi pembangunan. Refleksi ini menuntut kita untuk bertanya kembali: kemajuan seperti apa yang layak disebut pembangunan, bila ia meniadakan kesucian dan keseimbangan yang menjadi dasar kehidupan itu sendiri?
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

