Wastra Sunda Kuna: Jejak Doa dari Gunung, Hutan, dan Tangan Perempuan
Membaca wastra Sunda Kuna sama artinya dengan membaca jejak ekologis dan spiritual masyarakat masa lampau.

Taufik Nurdin
Aktif berkegiatan bersama Gunung Institute dan Perintis Literasi
23 Agustus 2025
BandungBergerak.id – “Dari puncak gunung yang menurunkan air, hutan yang memberi warna, hingga tangan perempuan yang merangkai benang menjadi doa, wastra Sunda kuna adalah cerita tentang keseimbangan manusia dan alam.”
Wastra, kain atau tekstil tradisional bukan sekadar penutup tubuh. Ia adalah penanda status sosial, simbol kosmologis, media spiritual, dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sunda. Naskah-naskah Sunda Kuna seperti Bujangga Manik, Carita Parahyangan, hingga Saṅ Hyaṅ Siksa Kandaṅ Karesian merekam detail yang kaya tentang jenis kain, teknik produksi, warna, hingga makna mistis di balik aktivitas menenun.
Dalam perspektif antropologi budaya, wastra Sunda Kuna tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tubuh, melainkan sebagai medium simbolik yang memuat identitas sosial, pandangan kosmologis, dan nilai spiritual. Ia adalah dokumen hidup yang menyatukan pengetahuan ekologis, estetika, dan spiritualitas.
Naskah-naskah Sunda Kuna seperti Bujangga Manik (BM), Carita Parahyangan (CP), dan San Hyan Siksa Kandan Karesian (SSKK) mencatat secara detail tipologi kain, teknik produksi, warna, serta aturan penggunaannya. Di dalamnya, kita menemukan bahwa kain bukanlah sekadar hiasan, tetapi penanda nilai: warna dan motifnya bisa mencerminkan kosmologi mandala, pola pikir tentang keteraturan alam, serta hierarki sosial yang mengatur siapa boleh mengenakan motif tertentu dan siapa yang tidak. Para rohaniawan, misalnya, memiliki aturan cara berpakaian yang jelas, dari jenis kain hingga cara memakainya yang melambangkan laku tapa dan keterhubungan mereka dengan tatanan spiritual.
Seperti dalam San Hyan Siksa Kandan Karesian (1518), busana menjadi bagian dari etiket rohaniawan:
“... ulah maké lawon hideung, ulah maké sinjang awor warna, kudu bodas minangka tanda kasucian...”
Terjemahan: "... jangan memakai kain hitam, jangan memakai sinjang bercampur warna, harus putih sebagai tanda kesucian..." (SSKK, Pupuh 12, Danasasmita, 1984).
Jika merujuk pada naskah di atas, wastra hadir sebagai tanda kehormatan, medium pertukaran, hingga simbol status spiritual yang membentuk jembatan antara dunia material dan dimensi sakral.
Baca Juga: Sentuhan Anak-anak Difabel di Batik Dama Kara
Jejak Luhur Batik Indonesia, dari Tradisi Hingga Warisan Budaya Bandung
Mengenal Tradisi Batik Dingin di Kami Kamu Coffee
Gunung sebagai Puseur Buana dan Sumber Inspirasi
Gunung, dalam kosmologi Sunda Kuna, adalah pusat dunia (puseur buana), tempat bersemayamnya para leluhur dan sumber kehidupan. Gunung menyediakan air untuk mencuci benang, tanah untuk menumbuhkan serat dan pewarna alami, serta hutan yang memberi bahan-bahan pengikat warna. Tidak jarang motif kain memuat bentuk gunung yang distilir, melambangkan hubungan vertikal antara manusia, alam, dan San Hyan Tunggal (Esa).
Dalam Bujangga Manik, pendakian gunung adalah perjalanan menuju sumber kesucian. Kain yang dibawa atau dikenakan menjadi simbol status spiritual, sama halnya dengan gunung yang menjadi simbol penghubung dunia bawah dan dunia atas. Hubungan gunung sebagai puseur buana dan kain sebagai simbol spiritual tidak hanya hadir dalam wujud motif atau perjalanan suci seperti yang terekam dalam Bujangga Manik, tetapi juga meresap ke dalam kisah-kisah lisan dan mitos penenunan yang berkembang di masyarakat Sunda Kuna. Nilai kosmologis gunung berkelindan dengan dunia sakral para penenun, di mana benang, warna, dan alat tenun bukan sekadar bahan dan perkakas, melainkan medium yang menghubungkan manusia dengan kekuatan luhur. Di sinilah, sebagaimana dalam kisah-kisah suci, hadir unsur laku spiritual dari doa yang dilafalkan, hingga mantra yang dijaga turun-temurun yang menempatkan aktivitas menenun sejajar dengan ritual suci itu sendiri. Salah satunya termanifestasi dalam Kawih Paneyekan (Nyanyian Bertenun), sebuah puisi Sunda Kuna yang ditulis sekitar abad ke-17 (Gunawan, 2017).
Dalam Kawih Paneyekan, gambaran tentang menenun memantulkan harmoni antara alam, gunung, dan perempuan. Gunung, yang dalam kosmologi Sunda Kuna dipandang sebagai puseur buana (pusat dunia) menjadi sumber air yang menyucikan benang dan tanah yang menumbuhkan serat serta pewarna alami. Dari rahim gunung, kehidupan mengalir, lalu sampai di tangan perempuan penenun yang dengan sabar mengubahnya menjadi wastra penuh makna.
Tangan Perempuan dan Laku Spiritual
Mitos penciptaan dalam kawih ini juga feminin: Dewi San Hyan Sri yang dalam kosmologi agraris adalah dewi padi dan kehidupan, memimpin para dewi turun ke bumi, membawa keterampilan menenun sebagai bagian dari “mengisi dunia” yang sebelumnya kosong. Setiap bagian alat tenun diasosiasikan dengan dewi tertentu, seperti Naga Wiru yang menempati hapit (kayu di pangkuan penenun) atau Cita Putih yang bersemayam di kain putih. Tangan perempuan menjadi simpul yang menghubungkan semua unsur tersebut. Aktivitas memintal, memintir, dan menenun bukan sekadar pekerjaan domestik, melainkan laku spiritual. Repetisi gerak tangan dan irama tarikan benang menciptakan kesadaran yang terpusat, serupa meditasi.
Di balik kilau warna dan kerumitan motif, wastra menyimpan pesan ekologis yang lintas zaman: bahwa keberlanjutan budaya dan keberlanjutan alam adalah dua sisi dari lembaran kain yang sama. Seperti air dari puncak gunung, warna dari hutan, dan benang di tangan perempuan, kebudayaan akan terus hidup selama hubungan manusia dan alam terjalin dalam harmoni. Wastra Sunda Kuna, pada akhirnya, adalah doa yang dijahit menjadi rupa, warisan yang mengajarkan bahwa menjaga alam sama artinya dengan menjaga jiwa kebudayaan itu sendiri.
Membaca wastra Sunda Kuna sama artinya dengan membaca jejak ekologis dan spiritual masyarakat masa lampau. Naskah-naskah Sunda Kuna tidak hanya merekam teknik menenun dan aturan berpakaian, melainkan juga menegaskan etika yang menempatkan gunung, hutan, dan air sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga. Di tengah krisis lingkungan dan budaya hari ini, pesan itu semakin terasa mendesak. Jika dahulu warna kain lahir dari hutan yang lestari, maka kini pewarna sintetis kerap menggantikan jejak alam; jika dahulu benang ditenun dalam kesadaran spiritual, maka kini ia sering diproduksi dalam logika pasar. Mengingat kembali wastra Sunda Kuna berarti mengingat bahwa kelestarian budaya tidak bisa dipisahkan dari kelestarian alam. Wastra bukan hanya pusaka masa lalu, melainkan juga pengingat masa depan: tanpa alam yang terjaga, doa dalam sehelai kain akan kehilangan suaranya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB