• Berita
  • Barista di Bandung, Realitas Profesi Kekinian yang tak Selalu Manis

Barista di Bandung, Realitas Profesi Kekinian yang tak Selalu Manis

Kafe tumbuh pesat, minat kerja meningkat, tapi keseimbangan hidup barista justru tertinggal. Data pengangguran mengungkap sisi lain industri kuliner di Bandung.

Ilustrasi. Jalan Braga, salah satu tempat di Bandung yang memiliki kedai-kedai kopi, 11 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana24 Oktober 2025


BandungBergerakMenjamurnya kafe, restoran, dan rumah makan di Kota Bandung mendorong meningkatnya minat masyarakat terhadap profesi barista ataupun pekerja kafe. Pekerjaan ini kini menjadi pilihan populer, terutama di kalangan anak muda lulusan SMA dan SMK. Namun, di balik aroma kopi yang menenangkan, kerja di kafe menyimpan tekanan berat: beban kerja tinggi, keseimbangan hidup yang rapuh, dan kompensasi yang belum memadai.

Baru-baru ini Pemerintah Kota Bandung berupaya menjawab fenomena itu dengan menyediakan pelatihan vokasi untuk menyiapkan tenaga kerja terampil di sektor kopi. Melalui Pelatihan Berbasis Kompetensi Kejuruan Barista Coffee hasil kerja sama Disnaker Kota Bandung dan LPK Karya Duta Bandung, sebanyak 60 peserta dilatih dan dinyatakan kompeten pada Oktober 2025. Program ini menjadi bagian dari strategi Pemkot untuk menekan angka pengangguran terbuka yang masih 7,4 persen dan menargetkan turun menjadi 6,4 persen pada tahun depan.

Namun, di luar upaya pelatihan tersebut, data dan riset menunjukkan tantangan profesi barista maupun para pekerja kafe jauh lebih kompleks daripada sekadar kemampuan menyeduh kopi atau memiliki sertifikat.

Ledakan Usaha Kuliner, Lapangan Kerja tak Bertambah Signifikan

Data Diskominfo Open Data Jawa Barat mencatat, pada tahun 2023 terdapat 17.574 usaha restoran, rumah makan, dan kafe di provinsi ini. Kota Bandung sendiri memiliki 1.020 unit, menempati urutan ketujuh setelah Bekasi, Karawang, dan Depok. Angka itu naik dari tahun 2022 yang hanya 649 unit, menunjukkan kebangkitan pesat sektor kuliner pascapandemi Covid-19.

Meski jumlah usaha bertumbuh, peningkatan serapan tenaga kerja belum seimbang. Open Data Jabar melaporkan bahwa pada tahun 2023, jumlah pencari kerja terdaftar di Kota Bandung mencapai 14.494 orang, sementara lowongan kerja yang tersedia hanya 13.013 posisi. Artinya, masih terjadi kesenjangan antara kebutuhan tenaga kerja dan kesempatan kerja yang tersedia (Open Data Jawa Barat (2023–2024)).

Kesenjangan itu juga diperparah oleh ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan dan kebutuhan industri. Sebagian besar pengangguran di Bandung berpendidikan SMA atau sederajat, mencapai 49 persen dari total pengangguran terbuka pada 2024 (Open Data Jawa Barat (2023–2024)).. Tren ini menggambarkan bahwa lulusan sekolah menengah menjadi kelompok paling rentan terserap ke pekerjaan dengan sistem shift panjang dan gaji rendah.

BandungBergerak pernah menurunkan liputan tentang para buruh paruh waktu di kedai-kedai kopi di Bandung. Rata-rata mereka mengeluhkan upah murah. 

“Nggak pernah nyangka sih sebelumnya, untuk beban kerja seberat itu upahnya sangat-sangat nggak sesuai,” begitulah curhatan seorang mahasiswi yang menceritakan kenyataan pahit sebagai barista di salah satu kedai kopi di Bandung.

Pengakuan ini bertolak belakang dengan pandangan orang-orang yang menilai barista sebagai pekerjaan keren dan digandrungi orang-orang muda.

Sarah, demikian nama samaran mahasiswi sekaligus sang barista, awalnya memilih bekerja paruh waktu agar waktu luangnya bisa digunakan untuk menambah-nambah uang di tempat rantau. Namun, satu hal yang tak pernah disangka oleh Sarah adalah beban kerja berlebih.

“Di tempatku, awalnya kirain kerjanya cuma bagian jadi barista dan sekitarnya aja, kayak kasir misalnya,” ujar Sarah.

Nyatanya selain mengerjakan tugas sebagai barista, Sarah diwajibkan melakukan pekerjaan pelayanan, kasir, bikin kue. Alasan ia harus mengerjakan tumpukan tugas karena jumlah karyawan kedai sangat terbatas.

Sarah hanya menerima upah sekitar 700 ribu rupiah per bulan. Sementara, bagi pekerja penuh waktu di kedai yang sama, menerima upah sekitar 1,5 juta rupiah per bulan.

Beban kerja berlebih dan upah yang tidak sepadan juga turut dialami Rio Maryanto, mahasiswa yang pernah terjun ke dalam dunia barista dan bekerja full time saat ia masih berada di Subang. Ia juga pernah menjadi pekerja paruh waktu di salah satu kafe di daerah Cigadung, Bandung selama kurang lebih enam bulan.

Menurut Rio, kerja penuh maupun paruh waktu di kedai kopi sama-sama memiliki beban berlebih. Tiada perbedaan yang berarti. Hal yang membedakan hanyalah di waktu bekerja, ketika pekerja full time harus masuk kurang lebih seminggu, pekerja paruh waktu hanya masuk dua hari dalam seminggu.

“Nah ini, kalau perihal jobdesc. Di selama saya kerja di coffee shop, di manapun. Si jobdesc-nya tuh, menurut saya pribadi kurang jelas. Enggak ada SOP yang jelaslah,” ungkap Rio.

Saat bekerja paruh waktu di Cigadung, Rio mengalami pengalaman serupa dengan Sarah, mengerjakan tugas-tugas barista, pelayan, kasir, dapur, hingga berbelanja stok kebutuhan kafe. Terkadang ia pun harus menghitung rekap uang setiap closingan.

Di kafe tersebut, kata Rio, semua pekerjanya merupakan pekerja paruh waktu yang digaji 50 ribu rupiah per hari dan hanya masuk dua hari dalam seminggu. Kira-kira dalam sebulan mereka hanya mendapat upah sekitar 400 ribu rupiah. Rio bahkan pernah mengalami telat gajian beberapa kali. Ini pengalaman yang dirasakannya paling getir.

Barista dan Dinamika Dunia Kerja Generasi Muda

Dalam praktiknya, pekerjaan barista sering kali dipandang sebagai profesi kreatif yang bergengsi di kalangan muda. Suasana kafe yang modern dan fleksibilitas kerja menjadi daya tarik tersendiri. Namun, riset menunjukkan bahwa kenyataannya tidak selalu seindah yang tampak.

Penelitian Gabriella Winda Syalomitha dari Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta (2024) berjudul “Pengaruh Beban Kerja, Kompensasi, dan Work Life Balance terhadap Kinerja Karyawan Generasi Milenial pada Coffee Shop di Kabupaten Sleman” menemukan bahwa beban kerja tinggi berdampak negatif terhadap kinerja karyawan coffee shop.

Sebaliknya, kompensasi dan work-life balance memiliki pengaruh positif terhadap performa mereka. Temuan ini memperlihatkan bahwa keseimbangan antara tuntutan kerja dan kualitas hidup menjadi faktor kunci dalam menjaga produktivitas.

Studi tersebut menunjukkan sebagian besar responden merupakan pekerja muda berusia 27–34 tahun dengan pendidikan terakhir SMA/SMK (52 persen) dan pendapatan bulanan di kisaran 1–2 juta rupiah (82 persen). Sebagian besar memiliki masa kerja singkat, antara enam bulan hingga satu tahun, yang menandakan tingginya perputaran tenaga kerja di sektor ini.

Mereka bekerja dengan sistem shift bergantian dari pagi hingga malam, termasuk pada hari libur dan akhir pekan. Kondisi ini sering kali menyebabkan kelelahan fisik dan mental, sekaligus mengurangi waktu istirahat serta kesempatan bersosialisasi di luar pekerjaan. Hal tersebut akhirnya berimbas pada penurunan motivasi dan kinerja.

“Ketidakseimbangan antara beban kerja, kompensasi, dan waktu pribadi menjadi faktor signifikan yang memengaruhi performa karyawan di coffee shop,” tulis Gabriella dalam kesimpulannya.

Pertumbuhan Ekonomi Kreatif di Bandung dan Beban Sosial Baru

Fenomena yang diteliti di Sleman tersebut mencerminkan situasi serupa di Bandung. Dengan jumlah 1.020 usaha kuliner aktif dan meningkatnya pelatihan barista, Kota Bandung tengah bergerak cepat menjadi pusat industri kopi di Jawa Barat. Namun, di sisi lain, angka pengangguran terbuka masih tinggi, mencapai 100.310 orang pada 2024, menandakan tantangan ketenagakerjaan belum sepenuhnya teratasi (Open Data Jawa Barat (2023–2024)).

Pekerjaan barista memang membuka peluang baru, tetapi kebanyakan berada di sektor informal dengan upah rendah dan jam kerja panjang. Generasi muda yang masuk ke industri ini dihadapkan pada dilema: di satu sisi, mereka ingin mengejar passion dan kemandirian; di sisi lain, mereka harus menghadapi realitas keras dunia kerja yang menuntut stamina dan kesabaran tinggi.

Masalah ini juga berkaitan dengan work-life balance, yang kini menjadi perhatian utama generasi muda. Jam kerja bergantian dan tekanan melayani pelanggan dengan berbagai karakter sering kali menimbulkan stres kerja. Padahal, menurut penelitian, keseimbangan hidup yang baik berperan besar dalam meningkatkan produktivitas dan kepuasan kerja.

Baca Juga: Menelisik Perkembangan Budaya Pop Melalui Penampilan Barista Necis di Bandung
Cerita Barista Paruh Waktu Mahasiswa Bandung, Mandi Keringat Demi Tambahan Uang Kuliah

Perlu Kebijakan yang Lebih Holistik

Program pelatihan vokasi barista dari Pemkot Bandung menjadi langkah positif untuk memperkuat kompetensi tenaga kerja muda. Namun, langkah ini perlu diiringi kebijakan yang lebih holistic, tidak hanya mencetak tenaga kerja baru, tetapi juga memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan profesi mereka.

Wakil Wali Kota Bandung Erwin dalam sambutan saat menutup pelatihan barista menegaskan bahwa pemerintah ingin melahirkan tenaga kerja kreatif yang mampu menjadi wirausahawan baru, bukan sekadar pekerja.

“Barista bukan hanya profesi, tetapi seni meracik pengalaman dan cerita melalui rasa. Kami ingin lulusan di sini bisa menjadi pelaku usaha yang sukses,” ujarnya, dalam keterangan resmi.

Namun, agar profesi barista benar-benar menjadi sumber kesejahteraan, diperlukan dukungan sistemik dari pemerintah, pengusaha, dan lembaga pendidikan. Pemerintah dapat memperluas akses pembiayaan mikro bagi pekerja muda yang ingin membuka kedai kopi sendiri. Sementara itu, pengusaha perlu memperhatikan keseimbangan kerja dan kompensasi agar industri kopi tidak hanya tumbuh secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial. 

Bandung memiliki potensi besar sebagai pusat ekonomi kreatif dan budaya kopi di Indonesia. Dengan basis orang muda yang kreatif dan tren konsumsi yang terus meningkat, sektor ini bisa menjadi lokomotif ekonomi baru. Namun, potensi tersebut hanya dapat terwujud jika kesejahteraan para pekerjanya juga meningkat. 

Pelatihan barista dan pertumbuhan kafe adalah awal yang penting, tetapi masa depan industri ini ditentukan oleh keseimbangan antara produktivitas dan kesejahteraan. Pada akhirnya, di balik setiap cangkir kopi yang disajikan, ada kerja keras, kreativitas, dan keseimbangan hidup yang patut dijaga.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//