• Cerita
  • Cerita Barista Paruh Waktu Mahasiswa Bandung, Mandi Keringat Demi Tambahan Uang Kuliah

Cerita Barista Paruh Waktu Mahasiswa Bandung, Mandi Keringat Demi Tambahan Uang Kuliah

Beberapa kedai kopi di Bandung merekrut mahasiswa untuk bekerja paruh waktu sebagai barista. Malam bekerja, siang kuliah. Kapan istirahat dan tidur?

Ilustrasi. Jalan Braga, salah satu tempat di Bandung yang memiliki kedai-kedai kopi, 11 Desember 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Redaksi3 Februari 2024


BandungBergerak.id - Bandung lautan kedai kopi atawa kafe. Mau berdiskusi atau sekedar nongkrong, tinggal pilih. Bagi mahasiswa yang butuh tambahan uang kuliah, kedai-kedai kopi adalah peluang kerja. Mereka bisa bekerja paruh waktu sebagai barista, walau ada kenyataan pahit bahwa upah buruh-buruh paruh waktu tak seharum biji-biji kopi yang digiling.

“Nggak pernah nyangka sih sebelumnya, untuk beban kerja seberat itu upahnya sangat-sangat nggak sesuai,” begitulah curhatan seorang mahasiswi yang menceritakan kenyataan pahit sebagai barista di salah satu kedai kopi di Bandung. Pengakuan ini bertolak belakang dengan pandangan orang-orang yang menilai barista sebagai pekerjaan elite, keren, dan digandrungi orang-orang muda.

Sarah, demikian nama samaran mahasiswi sekaligus sang barista, awalnya memilih bekerja paruh waktu agar waktu luangnya bisa digunakan untuk menambah-nambah uang di tempat rantau. Namun, satu hal yang tak pernah disangka oleh Sarah adalah rasa pahit yang harus dihadapinya tak hanya berasal dari biji-biji kopi yang menjadi temannya bekerja, melainkan dari beban kerja berlebih dengan upah tak seberapa.

“Di tempatku, awalnya kirain kerjanya cuma bagian jadi barista dan sekitarnya aja, kayak kasir misalnya,” ujar Sarah.

Nyatanya selain mengerjakan tugas sebagai barista, Sarah diwajibkan melakukan pekerjaan pelayanan, kasir, bikin kue. Maka, ia pun harus menguasai cara membikin makanan ringan, sementara makanan berat ditangani oleh bagian dapur. Bahkan, segala kebersihan toko dari luar, dalam, hingga dapur, dan seluruh peralatan memasak harus dikerjakan oleh barista.

Alasan ia harus mengerjakan tumpukan pekerjaan karena jumlah karyawan kedai sangat terbatas. “Kalau shift pagi, masuk cuma satu orang. Semua persiapan dan bersih-bersih, harus dikerjain sendiri. Belum lagi ngelayanin customer,” ucap Sarah.

Sarah sudah akrab dengan beban kerja berlebihan di luar porsi yang semestinya. Tenaganya sudah biasa terkuras. Namun ia hanya menerima upah sekitar 700 ribu rupiah per bulan. Sementara, bagi pekerja penuh waktu di kedai yang sama, menerima upah sekitar 1,5 juta rupiah per bulan.

“Menurutku, untuk beban kerja yang berat banget seperti itu, sama sekali bukan upah yang layak dan sesuai, sih,” ujarnya.

Beban kerja berlebih dan upah yang tidak sepadan juga turut dialami Rio Maryanto, mahasiswa semester 8 yang kini lebih memilih fokus dalam kesibukannya bermain band. Rio pernah terjun ke dalam dunia barista dan bekerja full time saat ia masih berada di Subang. Ia juga pernah menjadi pekerja paruh waktu di salah satu kafe di daerah Cigadung, Bandung selama kurang lebih enam bulan.

Menurut Rio, kerja penuh maupun paruh waktu di kedai kopi sama-sama memiliki beban berlebih. Tiada perbedaan yang berarti. Hal yang membedakan hanyalah di waktu bekerja, ketika pekerja full time harus masuk kurang lebih seminggu, pekerja paruh waktu hanya masuk dua hari dalam seminggu.

“Nah ini, kalau perihal jobdesc. Di selama saya kerja di coffee shop, di manapun. Si jobdesc-nya tuh, menurut saya pribadi kurang jelas. Enggak ada SOP yang jelas lah,” ungkap Rio.

Saat bekerja paruh waktu di Cigadung, Rio mengalami pengalaman serupa dengan Sarah, mengerjakan tugas-tugas barista, pelayan, kasir, dapur, hingga berbelanja stok kebutuhan kafe. Terkadang ia pun harus menghitung rekap uang setiap closingan.

Di kafe tersebut, kata Rio, semua pekerjanya merupakan pekerja paruh waktu yang digaji 50 ribu rupiah per hari dan hanya masuk dua hari dalam seminggu. Kira-kira dalam sebulan mereka hanya mendapat upah sekitar 400 ribu rupiah. Rio bahkan pernah mengalami telat gajian beberapa kali. Ini pengalaman yang dirasakannya paling getir.

“Kita sempat, uang gaji kita gak tepat waktu. Beberapa kalilah itu. Saya segini masih beruntung paling cuma telat paling lama seminggulah, kalau teman saya sempat dua bulan gak digaji,” tuturnya.

Adapun mahasisiswi lainnya yang juga buruh paruh waktu di kedai kopi, Icha (nama disamarkan) mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan Sarah dan Rio. Ia bahkan merasakan bagaimana lingkungan kerja di kedai kopi kerap toxic, tekanan dari pegawai senior dan atasan kepada mahasiswa paruh waktu sangat tinggi.

Icha bercerita, pendapatnya di tempat kerja tak pernah didengar atau dihiraukan. Atasannya selalu bekerja dengan sikap yang mengintimidasi mahasiswa paruh waktu. Beban kerja yang tak sesuai dengan upah yang diterima menjadi kepahitan berikutnya yang dirasakannya.

“Setahuku, teman aku yang kerja di sesama kedai kopi bisa dibayar sekitar 15-20 ribu (rupiah) per jam. Ternyata, di sini cuma dapat bayaran sejumlah 60 ribu (rupiah) per harinya,” lanjutnya.

Sebenarnya, pada awalnya Icha merasa cukup menikmati pekerjaan di kedai kopi. Sebagai mahasiswa, ia merasa pendapatan yang ia terima sudah bisa mencukupi kebutuhannya. Seiring berjalannya waktu, Icha mulai lelah. Benaknya mulai mengeluh bahwa beban kerja yang ditanggung tak sepadan dengan upah yang ia dapatkan.

“Aku baru sadar kalau aku nggak punya waktu lagi buat hal lain, bahkan kuliahku sendiri. Bener-bener harus langsung pulang beres kuliah. Capeknya tuh capek banget, sementara upahnya ya segitu-segitu aja,” keluhnya.

Tak hanya Sarah dan Icha, pengalaman serupa dialami pekerja paruh waktu lainnya, Dinda (nama disamarkan). Mahasiswa semester 5 di salah satu universitas di Bandung ini bekerja di salah satu kafe yang tak jauh dari tempatnya menimba ilmu. Alasan Dinda bekerja untuk melakukan untuk mengisi waktu luang dan ingin mencari penghasilan tambahan. Sebagai mahasiswa desain, ia membutuhkan uang kuliah tambahan.

Sejak awal Dinda antusias bekerja paruh waktu. Dia telah mencoba melamar di beberapa tempat, namun faktor jarak dan pertimbangan lain membuatnya menarik diri dari beberapa opsi lowongan kerja.

Ia kemudian mengikuti serangkaian proses seleksi di kafe tempatnya bekerja saat ini, meliputi wawancara dan tes praktis, dan akhirnya sejak September 2023 ia mulai bekerja. Ia ditugaskan di shift 2 dengan jam kerja dimulai dari jam setengah 7 malam hingga jam 2 pagi. Dinda harus bekerja keras untuk menyesuaikan diri dengan jam kerja malam ini.

“Nah, jadi sampai kosan (pulang) tuh udah jam 3 kurang lebih. Sampai kosan jam 3, bersih-bersih, setengah 4 baru tidur, terus paginya harus kelas (kuliah) lagi,” jelas mahasiswi jurusan desain interior ini.

Di kafe tempat Dinda bekerja, harga secangkir kopi berkisar 18.000 hingga 22.000 rupiah. Dinda mendapat upah sebesar 50.000 rupiah tiap shiftnya. Empat bulan pertama, Dinda mengaku sangat menikmati pekerjaannya. Ia mendapatkan banyak kenalan baru, ditambah dengan lingkungan pekerjaan yang positif membuatnya semakin betah.

Seiring perjalanan waktu, Dinda dipercayai untuk bekerja paruh waktu di shift 1 dengan jam kerja siang ke sore. Bagi Dinda, waktu istirahat bejekerja di shift 1 lebih baik dibandingkan shift 2.

Dinda bercerita, upah yang ia dapat dari kerja paruh waktu dapat mencukupi untuk menutupi kebutuhan kuliah. Ia tidak pernah meminta tambahan dana kepada orang tuanya sejak bekerja.

Dinda memilih melihat pekerjaannya dari sisi positif, yakni mendapatkan pengalaman baru dan memberikan kebebasan finansial dan kemandirian yang sebelumnya belum pernah ia rasakan. Baginya pekerjaan ini bukan hanya menghasilkan uang tambahan melainkan membantunya untuk tumbuh di dunia kerja.

Baca Juga: Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi
Menelisik Perkembangan Budaya Pop Melalui Penampilan Barista Necis di Bandung
Cerita Tiga Barista Difabel Netra

Petani memanen buah kopi di salah satu perkebunan di Jawa Barat, 2023. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Petani memanen buah kopi di salah satu perkebunan di Jawa Barat, 2023. (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Antara Kesejahteraan dan Citra Barista

Orang-orang muda dan kedai kopi saat ini seolah dua hal yang tak terpisahkan. Menjamurnya kedai kopi dengan berbagai macam gaya juga buah dari tingginya minat orang muda terhadap kedai kopi. Pekerjaan di kedai kopi, menjadi barista, cukup digandrungi atau bahkan diidamkan oleh sebagian orang muda.

Sementara, isu kesejahteraan bagi buruh kedai kopi tak pernah mendapat tempat untuk dibicarakan atau diperhatikan secara serius. Padahal, tak jarang kedai-kedai kopi kelas atas menggetok tarif mahal dalam menjual kopinya.

Menurut Icha, banyak sekali orang muda yang memang ingin bekerja di kedai kopi. Barista dicitrakan sebagai profesi menarik. Pandangan sosial pada barista yang terlalu tinggi di kalangan orang muda menutupi kelemahan mendasar yang menyangkut kesejahteraan, yakni upah murah.

“Kita mau protes gaji yang kecil pun, orang udah terlanjur menormalisasi itu. Banyak banget anak muda yang mau jadi barista, jadi kita sulit buat protes. Kalau nggak terima, keluar aja, pasti kedai gampang dapet gantinya,” tutup Icha.

Di sisi lain, profesi barista memang tidak bisa lepas dari citra. Masalahnya, citra dan kesejahteraan tidak selalu berbanding lurus, seperti disinggung dalam skripsi Fakhri Ramadhan dari prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (2017) berjudul “Makna Kerja Bagi Barista”.

“Beberapa barista yang penulis temui menganggap pekerjaan barista lebih dari sekedar bekerja, ada dedikasi dan passion dalam pelaksanaannya,” tulis Fakhri, diakses Sabtu, 3 Februari 2024.

Mengenai kesejahteraan, menurut Fakhri rata-rata gaji barista penuh waktu mengacu pada besaran UMK daerah setempat, walaupun ada juga barista yang digaji di bawah UMK. Beberapa barista paruh waktu yang ditemui Fakhri juga mendapatkan upah beragam, ada yang tinggi ada yang rendah.

Di kalangan barista ada pandangan bahwa kerja penyajian kopi ini bagian dari profesi jasa, bukan produk. Penghasilan yang lebih besar umumnya juga menuntut kompetensi barista yang lebih tinggi. Di negeri ini tidak ada standar khusus dalam menentukan upah bagi profesi jasa.

“Beberapa barista sadar bahwa di Indonesia sendiri, tenaga kerja di bidang jasa memang terkadang kurang dihargai. Menariknya dari profesi barista adalah, para barista umumnya menganggap profesinya bergerak dibidang jasa, bukan produk. Barista dinilai lebih dari sekedar menyajikan produk bagi pelanggan, tapi juga menyajikan jasa yang dianggap sebagai teman dari konsumennya,” papar Fakhri.

*Liputan tentang Cerita Barista ini dikerjakan reporter BandungBergerak.id Fitri Amanda. Ridho Danu Prasetyo, dan Salma Nur Fauziyah

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//