• Cerita
  • Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi

Upah Buruh-buruh Kafe di Bandung Sepahit Biji Kopi

Bandung menjadi tempat menjamurnya coffee shop, kafe, alias kedai kopi. Buruh-buruh kafe di kota ini menerima upah murah dan beban kerja berat.

Seorang buruh kedai kafe berprofesi barista di salah satu kedai kopi di Bandung. (Foto: Andi Rafli Alim Rimba Sose/BandungBergerak)

Penulis Andi Rafli Alim Rimba Sose26 Januari 2024


BandungBergerak.id - Coffee shop, kafe, alias kedai kopi pada dasarnya tempat yang menyediakan minuman dan makanan yang mengandung kopi. Namun, dewasa ini coffee shop juga telah menjadi pilihan bagi orang-orang untuk melakukan berbagai kegiatan, mulai dari nongkrong, mengerjakan tugas, bekerja, atau sekadar menghabiskan waktu sendirian.

Tren coffee shop mulai terjadi di Indonesia. Bandung, sebagai ibu kota Jawa Barat tidak terlewat untuk meramaikan tren ini. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan pencarian mengenai coffee shop di daerah Bandung. Data pencarian di Google Trend dengan kata kunci “Coffe Shop” menunjukkan tempat ini selalu banyak dicari.

Peningkatan ini tentu merupakan kabar yang menggembirakan. Selain semakin banyaknya tempat orang-orang dapat berkumpul. Coffee shop juga dapat mendorong kemajuan ekonomi. Mulai dari penyerepan pekerja di bidang food and beverage, kedai kopi juga dapat meningkatkan penawaran dan permintaan bagi petani kopi.

Sayangnya, tren mengenai peningkatan minat masyarakat terhadap kafe tidak sesuai dengan peningkatan kesejahteraan kerja para buruhnya. Pekerja dari cofee shop-cofee shop ini sering kali dibayar dengan upah minim dengan beban kerja berat.

Sejumlah kafe di kawasan Jalan Braga terpantau sepi dampak dari penutupan Jalan Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 22 Juni 2021. Pembeli hanya diperbolehkan pesan online atau take away. (Foto: Prima Mulia)
Sejumlah kafe di kawasan Jalan Braga terpantau sepi dampak dari penutupan Jalan Asia Afrika di Bandung, Jawa Barat, 22 Juni 2021. Pembeli hanya diperbolehkan pesan online atau take away. (Foto: Prima Mulia)

Dilema Upah Murah dan Beban Kerja Berlebih

Upah murah (underpaid) terjadi ketika seseorang diberi upah yang tidak sesuai dengan hak atau apa yang telah mereka kerjakan sebagai buruh. Upah murah seharusnya tidak terjadi di dunia kerja. Beban kerja berlebih (overwork) merupakan kondisi di mana seseorang bekerja melebihi berlebihi kapasitasnya, tidak sesuai dengan porsinya.

Satria, salah satu pegawai penuh (full time) kafe di daerah Kota Bandung menerima gaji sebesar 1,3 - 1,5 juta rupiah per bulan. Angka ini bahkan tidak mencapai setengah dari UMK Kota Bandung 2024 sebesar 4.209.309 rupiah.

Dengan gaji murah itu, Satria memiliki jam kerja yang sama seperti buruh full time umumnya, yaitu 8 jam. Di sisi lain, Satria juga diharuskan untuk mengerjakan pekerjaan yang berada di luar kewajibannya. “Selain menjadi barista, saya juga menjadi admin sosial media,” ujar Satria.

Upah minim dan pekerjaan di luar porsi (jobdesk) juga dialami Rahma yang part-time di salah satu kafe di Kota Bandung. Sebagai pekerja paruh waktu, Rahma mendapatkan upah 1.750.000 rupiah per bulan. Akan tetapi, Rahma memiliki beban kerja berlebih pekerja penuh waktu.

Workload yang diberikan setara dengan workload full time, (perbedaan) kesepakatan (full time dan) part time cuma karena (perbedaan) jam masuk kerja WFO tiga kali sehari. Workload selama kerja juga along the time ditambah. Keluar dari obrolan (kesepakatan) waktu pertama masuk,” kata Rahma, Minggu, 22 Januari 2024.

Upah yang diterima Rahma juga tidak sesuai dengan apa yang telah dia kerjakan. Terlebih mengenai permasalahan pekerjaan yang di luar kesepakatan dan bagaimana beban kerja yang dia miliki.

Pekerja kafe lainnya, Api juga memiliki permasalahan yang sama. Ia mengerjakan beban kerja tinggi, kendati bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Api bekerja selama 8 jam sehari, dengan hari kerja sebanyak 5-6 hari per minggu.

Akan tetapi, beban kerja yang tinggi tidak sesuai dengan upah yang ia dapatkan. Ia hanya diberikan upah sebesar 1,5 juta-1,8 juta per rupiah per bulan. Ia pernah membicarakan permasalahan ini dengan pemiliki coffee shop, sayangnya tidak menemukan titik temu.

“Dengan beban kerja yang ada, gaji yang diterima (tidak) worth,” ujar Api.

Nasib agak “mending” dialami Eki, buruh coffee shop yang diupah 2.100.000 rupiah per bulan. Dibanding buruh lainnya, Eki tidak dimintai untuk melakukan pekerjaan lainnya di luar kesepakatan awal, yaitu barista. Namun nilai upah tersebut tetap masih jauh di bawah UMK Kota Bandung.

Ga ada, sih. Semua yang dituturkan di awal (kontrak) semuanya berjalan sesuai (dengan kontrak),” kata Eki.

Saat ditanyai mengapa para buruh di coffee shop mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan UMK yang sudah ditetapkan, Eki dan Satria sepakat akan satu hal, yaitu coffee shop merupakan perusahaan yang memiliki pendapatan tidak stabil, sehingga masih berat untuk membayar pekerja sesuai dengan UMK.

Baca Juga: Mahasiswa Unpar Hadirkan Kafe ala Barista Djalanan
Menelisik Perkembangan Budaya Pop Melalui Penampilan Barista Necis di Bandung
Malam di Kedai Kopi John Ferdus

Sejumlah kafe di kawasan Braga saat PPKM terlihat sepi dan hanya boleh melayani pesanan online atau take away, Bandung, 22 Juni 2021. (Foto:  Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Sejumlah kafe di kawasan Braga saat PPKM terlihat sepi dan hanya boleh melayani pesanan online atau take away, Bandung, 22 Juni 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dilema UMKM dan Buruh yang Terlibat

Ketika buruh-buruh kedai kopi di Banung terjerat upah murah dan beban kerja berlebih, industri kuliner justru tumbuh subur. Data dari Kementrian Perindustrian menyatakan, tahun 2022 industri kuliner mengalami peningkatan sebesar 3,57 persen jika dibandingkan tahun 2021, seperti disampaikan Muhammad Rafie Januar Pratama dan Farah Oktafani dari Prodi Administrasi Bisnis dan Fakultas Komunikasi dan Bisnis Universitas Telkom Bandung dalam jurnal berjudul “Pengaruh Kualitas Produk dan Harga terhadap Kepuasan Pelanggan Kafe Roemah Kentang 1908 Bandung“.  

Muhammad dan Farah juga memaparkan opendata.jabarprov.go.id tahun 2021 yang menunjukkan, industri bisnis kafe di Kota Bandung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2017 jumlah kafe di Kota Bandung hanya ada 20 kafe, pada tahun berikutnya jumlah kafe di Bandung meningkat pesat dengan jumlah 41 kafe. “Dengan persentasi kenaikan sebesar 105 persen,” tulis kedua peneliti, diakses, Jumat, 26 Januari 2024.

Kedua peneliti juga mencatat, pada tahun 2020 meskipun terjadi pandemi Covid-19 jumlah kafe di Kota Bandung tetap mengalami peningkatan walaupun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya, dengan kenaikan sebesar 110 persen atau menjadi sebanyak 105 kafe yang tersebar di seluruh penjuru Kota Bandung.

“Pertumbuhan kafe di Kota Bandung ini juga didukung oleh perkembangan industri pariwisata yang semakin berkembang. Banyak wisatawan yang datang ke kota ini untuk menikmati suasana kafe yang unik dan menarik, serta menikmati kuliner khas Bandung,” kata kedua peneliti.

Sebagai lini usaha, kedai-kedai kafe di Kota Bandung tentu terikat regulasi, termasuk soal sistem pengupahan. Regulasi menyatakan bahwa perusahaan yang tidak termasuk dalam Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) memiliki kewajiban untuk membayar pekerja sesuai dengan peraturan mengenai upah minimum yang ada. Sebaliknya, badan usaha yang tidak termasuk dalam UMKM memiliki kewajiban untuk membayar pekerja minimal sesuai dengan peraturan mengenai upah minimum yang ada di daerahnya, tanpa alasan apa pun.

Aktivis buruh Roy Jinto mengatakan hal yang serupa. “Pada prinsipnya, setiap pekerja yang mempunyai hubungan kerja berhak atas perlindungan ketenangan. Dalam UU Cipta Kerja emang ada perbedaan (antara) pekerja yang berasal dari usaha mikro dan kecil upahnya (boleh) di bawah upah minimum berdasarkan kesepakatan?” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) ini.

Roy menegaskan, jika tempat kerja bukan usaha mikro dan kecil, maka mereka wajib untuk memberikan upah minimal sesuai dengan peraturan upah minimum yang ada. “Kalau tempat kerjanya (termasuk) dalam ketegori usaha kecil dan mikro maka tidak salah, tapi jika di luar itu (tetap) salah, walaupun telah disepakati,” tambahnya.

Peraturan ini menjadi dua mata pisau, di satu sisi dapat mendorong kemajuan bagi pembuat usaha, dan di satu sisi lain dapat membuat pekerja memiliki upah yang jauh dari kata sejahtera.

Dika, salah satu pemilik kafe yang termasuk dalam UMKM juga mendapati kesulitan dalam menjalankan operasional dari coffee shop yang dia miliki.

Profit-nya naik turun, belum stabil. Makannya masih ada keresahan (apakah profit) menutup operasional apa engga,” kata Dika, Rabu, 24 Januari 2024.

Dengan pendapatan yang masih naik turun, terkadang keuntungan dari coffee shop yang Dika miliki tidak menutup biaya operasional. Apabila dalam sebulan pendapatannya kurang dari biaya operasional, maka sebagai pemilik dia harus menalangi kekurangan supaya coffee shop-nya dapat tetap beroperasi.

*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan Andi Rafli Alim Rimba Sose atau artikel-artikel lain tentang Kedai Kopi Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//