CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #17: Jejak 215 Tahun Bandung dalam Lembaran Koran Lawas
Pameran Milestone Kota Bandung 215 di Museum Kota Bandung menyajikan koleksi surat kabar dan majalah di masa kolonial hingga era kemerdekaan yang mewarnai Bandung.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
25 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Setiap kota menyimpan jejak yang tidak hanya tersimpan di setiap bangunannya, tetapi juga di lembaran surat kabar. Di lembar koran yang warnanya sudah menguning, tersimpan denyut kehidupan berita, iklan, opini, dan mimpi warga yang hidup di zamannya. Bandung pun demikian. Kota ini tidak hanya dibangun dari jalan-jalan dan taman-taman yang indah, tetapi juga dari kalimat-kalimat yang pernah dicetak di atas kertas koran. Melalui tulisan-tulisan itulah, Bandung belajar mengenali dirinya, menulis sejarahnya, dan menyalakan ingatan kolektif warganya.
Pada perayaan Hari Jadi Kota Bandung ke-215, pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Arsip dan Perpustakaan (Disarpus) menggelar pameran bertajuk “Milestone Kota Bandung 215” di Museum Kota Bandung, Jalan Aceh No. 47, pada 21–31 Oktober 2025. Namun ini bukan sekadar pameran. Milestone Kota Bandung 215 merupakan upaya menelusuri denyut panjang kehidupan kota, dari masa kolonial hingga masa kini melalui arsip, foto, artefak, surat kabar, dan kisah warganya. Pameran ini menghadirkan Bandung sebagai ruang hidup yang tumbuh bersama sejarahnya, bukan sekadar tempat yang dihuni.
Partisipasi publik menjadi napas utama kegiatan ini. Warga, kolektor, dan komunitas sejarah diundang untuk menyumbang potongan cerita mereka. Sebab sejarah Bandung sejatinya tak hanya tersimpan di gedung arsip atau museum, tetapi juga di ingatan kolektif warganya, di foto keluarga, surat lama, dan lembaran koran yang disimpan dengan penuh kasih di laci rumah.

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #14: Kisah Harian Berita Nasional, Koran Perjuangan dari Yogyakarta
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #15: Melihat Kembali Poster Film di Surat Kabar GALA Bandung Tahun 1970-an
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #16: Jejak Surat Kabar Sunda, Senjata Pena Bernama Kudjang
Surat Kabar Bandung Tempo Doeloe dalam Kenangan
Aroma kertas dan tinta cetak dari surat kabar siap diedarkan seolah membawa kenangan. Jejaknya menyebar di di kios tua dekat Alun-alun Kota Bandung, di emper toko Jalan Braga, hamparan loper koran di Cikapundung, atau di warung kopi Pasar Baru, saat itu lembaran surat kabar seakan menjadi jendela dunia. Orang membaca berita sambil menyeruput kopi hitam, menandai halaman dengan lipatan kecil, lalu memperbincangkannya sepanjang hari.
Surat kabar bukan sekadar bacaan. Ia adalah ruang hidup , tempat ide, perdebatan, dan harapan bertemu.
Bandung pernah memiliki banyak surat kabar: Sipatahoenan, Pikiran Ra’jat, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Mandala, Gala, Giwangkara, hingga Kudjang.
Masing-masing menjadi saksi bagi zamannya, menulis tentang perjuangan dan pembangunan, tentang kehidupan sehari-hari dan pergulatan intelektual di kota yang selalu haus akan ilmu dan gagasan.
Kini sebagian besar koran itu hanya tersisa di arsip dan ingatan. Namun setiap kali membuka halaman-halaman tua yang menguning, seakan terdengar kembali gema Bandung masa silam, denting mesin cetak di Balubur, seruan loper di jalan yang basah oleh embun pagi, dan percakapan hangat di warung kopi yang tak pernah sepi.
Di situlah, surat kabar menjadi saksi dan kenangan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini.

Bau kertas tua menyeruak begitu pengunjung melangkah masuk ke ruang pamer. Di balik kaca bening, lembaran koran dan majalah lawas terbentang rapi, kronik bisu dari masa silam yang kembali berbicara. Surat kabar dan majalah lawas yang dipajang seakan menampilkan perjalanan panjang sejarah pers di Bandung lewat artefak media cetak.
Dalam pameran ini, pengunjung dapat menikmati beragam dokumen, foto, dan kisah perjalanan Kota Bandung, mulai dari masa kolonial dan era kemerdekaan, hingga Bandung masa kini sebagai kota kreatif dan bersejarah yang terus berkembang.
Menariknya, sejumlah artefak dan koleksi istimewa dipinjamkan oleh tokoh dan komunitas Bandung. Seperti dari keluarga musisi legendaris Harry Roesly, komedian Mang Ibing, sastrawan Ajip Rosidi, Padepokan Seni Jugala, serta komunitas Persib, Wanadri, Aves, dan Damas.
Penulis juga ikut meramaikan pameran dengan menampilkan koleksi surat kabar dan majalah lawas yang berkaitan dengan perjalanan sejarah Kota Bandung. Koleksi Penulis yang disimpan di Subang di bawa di pameran itu. Di antara Lembaran Minggu Pikiran Ra’jat, Bandung Pos, Pikiran Rakyat, Mandala, Gala, majalah musik legendaris Aktuil, serta majalah berbahasa Sunda Mangle terbitan tahun 1960-an.

Pada pameran, terpajang beragam surat kabar yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat pada masa kolonial, revolusi, hingga era kemerdekaan. Kurator menata setiap benda cetak dengan alur naratif yang memudahkan pengunjung “membaca sejarah” secara kronologis. Panel penjelasan mengulas peran media dalam berbagai peristiwa penting dari masa pergerakan nasional, revolusi kemerdekaan, hingga pembentukan opini publik di era Orde Baru.
Ada Medan Prijaji yang diterbitkan oleh RM Tirto Adhi Soerjo yang terbit sejak 21 Maret 1907 dari masa Hindia Belanda dan Genta Istri yang diterbitkan oleh Paguyuban Pasundan tahun 1931 dari masa perjuangan, hingga Harian Umum Bandung Pos, Mandala dan Gala yang mewarnai dekade 1960–1970-an.
Ada juga Majalah Mangle dengan ilustrasi para mojang Priangan yang cantik dan Aktuil sebagai majalah hiburan populer masa itu, menandai era baru jurnalisme Indonesia. Setiap sampul menjadi potret gaya hidup dan selera estetika dari masanya yakni warna, tipografi, bahkan pose model di halaman depan menceritakan perubahan selera publik dari dekade ke dekade.
Selain menampilkan koleksi fisik, pameran ini juga menghadirkan versi digital dari surat kabar dan majalah langka. Pengunjung dapat menelusuri arsip lewat layar interaktif, membuka halaman, membaca berita, atau memperbesar foto-foto lama yang kini terasa sangat berharga. Dokumentasi arsip surat kabar lama seperti itulah yang kini dihidupkan kembali dalam Milestone Kota Bandung 215.
Pameran ini bukan sekadar menatap ke belakang. Ia adalah undangan untuk menulis bab baru sejarah Bandung dengan menghormati setiap jejak yang telah membentuknya, dan meneguhkan keyakinan bahwa setiap kenangan adalah bagian dari masa depan kota ini.
Surat kabar mungkin tak lagi menjadi pusat perhatian di era layar sentuh, tetapi nilai yang dikandungnya tetap abadi. Semangat mencatat, berbagi, dan memahami zaman. Melalui pameran ini, Bandung seolah berbicara kepada dirinya sendiri, bahwa ingatan tak boleh hilang, bahwa masa lalu bukan beban, melainkan sumber makna.
Di setiap lembar koran yang rapuh, tersimpan jiwa kota yang terus hidup. Bandung yang menulis, Bandung yang mengingat, Bandung yang tak berhenti bercerita.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

