• Narasi
  • Koesroyo dan Teman Netra: Mereka yang Kerap Terlupakan

Koesroyo dan Teman Netra: Mereka yang Kerap Terlupakan

Perayaan Koesroyo: Last Man Standing di Bandung adalah apresiasi bagi sosok Koesroyo dan teman-teman netra yang kerap terlupakan.

Samuel Krisna Surya Hanggara

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Suasana di bioskop Paskal 23 saat pemtuaran film Koesroyo: Last Man Standing yang diikuti teman netra di Bandung. (Foto: Samuel Krisna Surya Hanggara)

26 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Ada aktivitas janggal yang terjadi di Paskal 23 pada akhir pekan, Sabtu, 18 Oktober 2025.  Banyak rombongan berbaju biru yang saling memegang pundak teman di depannya berjalan masuk menuju bioskop. Rombongan ini unik. Ada yang membawa tongkat. Ada juga yang menggunakan kacamata hitam. Setiap rombongan dipimpin oleh seseorang yang dari mulutnya sering menyampaikan arahan, "Awas tangga... Kiri, kiri... Kanan, kanan..."

Ya, akhir pekan itu merupakan waktu yang istimewa di mana teman-teman netra dari Wyata Guna berkesempatan untuk menikmati sebuah film di salah satu bioskop di Paskal 23.

Janggal, bukan? Secara sepintas, film dan teman-teman netra merupakan dua hal yang tidak mungkin di satukan. Akan tetapi, kegiatan ini benar-benar sungguh terlaksana. Kerja sama ciamik antara tim BuahTangan, Voluntrip by KitaBisa, dan juga tim Koesroyo memungkinkan kemustahilan ini tercipta dengan cara Bioskop Bisik. Konsep Bioskop Bisik membuat teman-teman netra dapat turut serta menikmati film dengan bantuan teman lihat yang membisikkan setiap adegan yang ada dalam layar. Bisikan-bisikan ini membuat teman-teman netra tidak hanya sekadar mendengarkan dialog film saja, tetapi juga mendapatkan gambaran dan juga situasi yang ada dalam setiap momen di film tersebut. Situasi ini membuat ruangan bioskop menjadi hangat dan penuh cinta.

Baca Juga: Layar Kelas Dua Menghadirkan Ruang Alternatif Pemutaran Film di Bandung
Nonton Film dan Diskusi Locked Voice di Perpustakaan Bunga di Tembok, Kelas Pekerja Menembus Jalanan Terjal Membentuk Serikat
Pemutaran Film Turang di Dome Fikom Unpad, Muncul Setelah Tenggelam di Masa Orde Baru

Merayakan Koesroyo bersama Teman Netra

Film yang diputar pun sangat spesial, Koesroyo: Last Man Standing. Ketika mendengar nama sosok ini, banyak teman-teman netra dan juga pendamping yang mengernyitkan dahi dan berusaha menebak-nebak siapa sosok Koesroyo ini sampai-sampai dijadikan film dokumenter. Namun, selang beberapa menit film berjalan, banyak orang, baik itu teman-teman netra maupun teman-teman bisik, mulai tersenyum karena mengetahui bahwa ternyata Koesroyo adalah sosok legenda musik Koes Plus dan Koes Bersaudara yang karyanya sangat fenomenal. Senyuman ini muncul karena akhirnya mereka mengetahui sosok di balik lagu Kolam Susu, Mengapa, Bujangan, Kapan-kapan, Why Do You Love Me?, hingga Kemesraan.

Tak berhenti sampai di situ, senyuman ini hadir bersamaan juga dengan memori yang muncul ke permukaan. Setelah film selesai, banyak teman-teman netra yang memberikan kesan dan pesan yang kurang lebih senada. Lagu-lagu Koes Plus mengingatkan mereka dengan pengalaman masa lalu saat pertama kali mendengarkan musik-musik Koes Plus. Banyak yang teringat akan orang tua mereka yang gemar mendengarkan atau bahkan membawakan lagu-lagu Koes Plus pada saat teman-teman netra dan teman-teman bisik masih kecil. Bagi teman-teman netra yang memberikan kesaksian, film ini tidak hanya membuat sosok Koesroyo semakin dikenal, tetapi juga membawa memori tersendiri akan pengalaman mendengarkan lagu-lagu Koes Plus.

Koesroyo: Last Man Standing sebenarnya bukan hanya film tentang musik saja. Film ini berusaha memperlihatkan berbagai macam dinamika dan perjuangan yang harus dilalui oleh sosok Koesroyo dan saudara-saudaranya dalam menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Ternyata, di balik karya yang luar biasa, ada perjuangan dan juga pengorbanan yang luar biasa juga. Momen kehilangan orang tercinta dan juga perjuangan melawan politisasi musik menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup dan karya Koesroyo. Dalam setiap momen sulit itu, keluarga menjadi tempat yang selalu memberikan air segar untuk Koesroyo kembali berkarya.

Teman netra sedang menunggu pemutaran film Koesroyo: Last Man Standing di bioskop Paskal 23 di Bandung. (Foto: Samuel Krisna Surya Hanggara)
Teman netra sedang menunggu pemutaran film Koesroyo: Last Man Standing di bioskop Paskal 23 di Bandung. (Foto: Samuel Krisna Surya Hanggara)

Surat Cinta dari Teman Netra

Bagi teman-teman netra, nilai perjuangan di tengah situasi yang tidak mudah merupakan hal yang sangat penting dari film ini. Kesaksian ini terungkap dalam kegiatan menulis Surat Cinta untuk Koesroyo. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara yang dilaksanakan oleh tim BuahTangan, Voluntrip by KitaBisa, dan tim Koesroyo. Setelah pemutaran film selesai, seluruh peserta kegiatan berangkat menuju Wyata Guna dan di sana kegiatan dilanjutkan dengan aktivitas menulis Surat Cinta untuk Koesroyo.

Dengan bantuan tim BuahTangan dan Voluntrip by KitaBisa, teman-teman Wyata Guna menuliskan nilai-nilai inspiratif yang dapat diperoleh dari sosok Koesroyo. Beberapa teman-teman netra yang memberikan kesaksian mengamini bahwa Koesroyo adalah sosok legenda yang inspiratif. Perjuangan beliau menghadapi berbagai macam situasi yang tidak mudah, mulai dari kehilangan sosok istri tercinta, dituduh penjahat negara, dipenjara dan dibuang ke suatu pulau, tidak membuat sosok Koesroyo menjadi lemah. Sebaliknya, pengalaman benturan-benturan ini justru membentuk ketangguhan dalam diri sosok Koesroyo dan dalam ketangguhan itulah tercipta banyak karya yang sangat indah.

Peserta Perayaan Koesroyo: Last Man Standing yang diikuti teman netra di Bandung. (Foto: Samuel Krisna Surya Hanggara)
Peserta Perayaan Koesroyo: Last Man Standing yang diikuti teman netra di Bandung. (Foto: Samuel Krisna Surya Hanggara)

Mereka yang Kerap Terlupakan

Kesedihan bukanlah tujuan dari perayaan Koesroyo: Last Man Standing bersama teman-teman netra. Perayaan ini justru berusaha memperlihatkan kepada semakin banyak orang bahwa ada sosok-sosok yang tanpa sadar masih terlupakan di dunia ini. Koesroyo dengan segala karyanya yang bisa dibilang menjadi pelopor perkembangan musik di Indonesia kurang begitu dikenal dan juga dihargai di masa tuanya. Sari Yok Koeswoyo, anak dari Koesroyo, dalam salah satu adegan menyampaikan bahwa seluruh karya indah Koeswoyo hanya dihargai dengan selembar kertas penghargaan saja. Itulah salah satu alasan mengapa film dokumenter ini dibuat, yakni untuk memperkenalkan Koesroyo sosok di balik band legenda Koes Plus.

Pilihan untuk melibatkan teman-teman netra tentu bukan tanpa alasan. Tanpa sadar, teman-teman netra kerap terlupakan dalam kehidupan bermasyarakat. Teman-teman netra sering kali hanya ditempatkan sebagai objek kesedihan semata. Padahal, teman-teman netra merupakan sosok manusia utuh yang juga memiliki mimpi dan harapan tersendiri dalam hidupnya. Mimpi dan harapannya terkadang tampak sederhana. Ada yang mimpi dan harapannya adalah memperoleh akses yang sepenuhnya setara, secara khusus dalam hal fasilitas jalur pejalan kaki yang aman. Ada juga yang memiliki mimpi dan harapan mendapatkan kesempatan profesi atau kerja yang tidak diskriminatif. Lebih banyak lagi, mereka yang bermimpi dan berharap diperlakukan layaknya pribadi yang setara tanpa stigma atau diskriminasi.

Sekali lagi, perayaan Koesroyo bersama teman-teman netra yang terlaksana di Bandung bukanlah ajang memperlihatkan kesedihan. Perayaan ini adalah apresiasi bagi sosok Koesroyo dan teman-teman netra yang kerap terlupakan. Perayaan ini sekaligus juga usaha untuk membuat Koesroyo dan teman-teman netra tidak lagi terlupakan.

Tabik!

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//