• Berita
  • Layar Kelas Dua Menghadirkan Ruang Alternatif Pemutaran Film di Bandung

Layar Kelas Dua Menghadirkan Ruang Alternatif Pemutaran Film di Bandung

Layar Kelas Dua berarti layar alternatif, sebagai ruang yang merayakan ekosistem film di Bandung yang sedang tumbuh subur.

Acara Layar Kelas Dua di ruang audiovisual Bandung Creative Hub (BCH), Jalan Laswi, Minggu, 3 Agustus 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah12 Agustus 2025


BandungBergerak.idRuang-ruang pemutaran film alternatif terus bertumbuh di Kota Bandung. Ekosistem ini tidak hanya didorong oleh komunitas film yang masih aktif hingga kini, tetapi juga oleh banyaknya jurusan perfilman yang berkembang di kota ini.

Ekosistem tersebut terlihat dalam acara Layar Kelas Dua, yang digelar pada Minggu, 3 Agustus 2025, di ruang audiovisual Bandung Creative Hub (BCH), Jalan Laswi. Acara pemutaran film ini diinisiasi oleh rumah produksi Second Floor.

Tahun ini merupakan penyelenggaraan Layar Kelas Dua yang kedua. Mengusung tema “Bond” atau “Ikatan”, panitia menerima 182 film dan mengkurasi lima film terbaik untuk ditayangkan. Sebagian besar karya yang diputar merupakan film mahasiswa, dengan ragam genre dan gaya penceritaan yang beragam.

Layar Kelas Dua dimulai dengan memutar film animasi berdurasi 12 menit berjudul “Sparks” garapan Muhammad Geva Anargya Rachman dalam naungan Animastudio UPI, yang menceritakan persahabatan Fumiko dan Chima (boneka panda merahnya) serta impian Fumiko menjadi seniman.

Seiring perjalanan waktu persahabatan yang hangat itu memudar saat Fumiko berambisi masuk ke universitas impiannya. Di waktu yang bersamaan Fumiko mengalami kebuntuan inspirasi dalam berkarya. Animasi ini mencoba menampilkan kesulitan seorang seniman dalam menghadapi artblock.

Selanjutnya, film “Bind and Ties to Cut and to Cut” diputar. Film eksperimental berdurasi lima menit itu berhasil membahasakan sebuah hubungan manusia dan ‘ikatan’ mereka lewat gerak tubuh Moira di sebuah panggung teater.

Selain film animasi dan eksperimental, ada juga film bergenre komedi seperti “Ganti Lampu” menampilkan sebuah hubungan antara bapak dan anak yang berdebat tentang siapa yang harus mengganti lampu ruang tamu.

Tak kalah unik, film “Tears of Restless Soul” memadukan musikal dan horror/thriller dalam filmnya. Meski terdapat unsur musikal, film ini tetap sukses membawa rasa tak nyaman di setiap adegannya lewat visual-visual yang diberikan.

Layar Kelas Dua juga memutar film hasil produksi Second Floor teranyar yaitu “Doa Dosa Malam Kelam” atau disingkat DDMK. Film thriller ini bercerita tentang kepercayaan mengenai keberadaan alam baka.

Semua pemutaran itu ditutup dengan sesi diskusi seru oleh para sutradara film dan para penonton.

Bentuk Pemaknaan Suatu “Ikatan”

Sebagaimana dengan tema yang diangkat, “Bond”, setiap sineas yang hadir mempunyai sudut pandangnya masing-masing mengenai sebuah ‘ikatan’. Ikatan ini tidak harus berkaitan dengan sebuah hubungan antarmanusia ataupun terbatas dari segi percintaan atau hal lainnya.

Ikatan sendiri merupakan sebuah bentuk yang abstrak. Meski dalam satu sisi hal itu bisa digambarkan, contohnya seperti ketika seseorang berpegangan tangan. Namun, bagaimana ikatan-ikatan yang dibiarkan menjerat diri sendiri itu dapat digambarkan.

“Kita sebagai manusia itu selalu saja mengikat diri kita kepada hal-hal yang sebenarnya menjajah dan mengontrol setiap kisi dari kehidupan kita. Tapi kita sebagai manusia mau-mau aja gitu loh,” ungkap Ravi.

Penggambaran ikatan inilah yang ingin ditangkap dan ditampilkan oleh Revi dalam filmnya yang berjudul “Bind and Ties to Cut and to Cut”. Bagaimana membahasakan ikatan yang bersifat mendalam tersebut bisa disalurkan secara literal. Maka bentuk teatrikal atau seni performatif ini bisa menerjemahkannya melalui gerak-gerik tubuh.

Jauh dari hal itu, Revi memiliki pemaknaan mendalam mengenai sebuah ikatan yang ia tampilkan dalam filmnya yang bersifat eksperimental. Ia menganalogikannya dengan hubungan tanpa status (HTS). Hubungan ini tidak memiliki kejelasan dan tujuan yang jelas, tetapi tetap saja ada yang masih mau terjebak dengan HTS.

I think there is this fact of beauty gitu. Ada sebuah kecantikan yang sangat abnormal dan visceral ketika hubungan manusia dengan hubungan itu sendiri,” sambungnya dan menekankan bahwa hubungan ini tidak selalu tentang saja, tapi bisa hubungan dengan Tuhan.

Dalam sesi diskusi bersama sutradara film, Fauzan Musyafa, mencoba menangkap dinamika sebuah hubungan sepasang kekasih dalam filmnya “Tears of The Restless Soul”.

Kisah utamanya memang mengenai Fahri yang dihantui oleh rasa bersalahnya terhadap sang kekasih, Amira. Hubungan mereka terguncang saat mengetahui bahwa Amira hamil. Di tengah kebingungan itu, Fahri tidak sengaja mendorong Amira hingga perempuan itu tertabrak oleh bus yang melintas.

Lewat dinamika hubungan mereka, Fauzan sebenarnya ingin menegaskan bahwa terkadang manusia selalu menyepelekan apa yang mereka ucapkan, seperti Fahri yang meyakini bahwa apa pun yang terjadi ia pasti akan selalu ada untuk Amira. Namun saat semuanya kacau, Fahri malah ingin melarikan diri. 

“Jadi intinya film itu aku mau ngegambarin bentuk tanggung jawab dari penggambaran yang paling simpel, tapi sering kita abaikan,” ungkap Fauzan.

Baca Juga: NONTON FILM: Taruh Nyawa, Drama Seorang Perawat Merawat Ayahnya yang Dimensia
Nonton Film di Gang: Upaya Warga Braga Menghidupkan Gang Apandi

Acara Layar Kelas Dua di ruang audiovisual Bandung Creative Hub (BCH), Jalan Laswi, Minggu, 3 Agustus 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)
Acara Layar Kelas Dua di ruang audiovisual Bandung Creative Hub (BCH), Jalan Laswi, Minggu, 3 Agustus 2025. (Foto: Salma Nur Fauziyah/BandungBergerak)

Tentang Second Floor

Second Floor Production merupakan komunitas film independen di Bandung dan tidak berafiliasi dengan kampus yang menaungi mereka. Komunitas independen ini tercetus berkat sering ngumpul sehabis salat di lantai dua Masjid Al-Furqon, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung. Karena tempat diskusi mereka di lantai dua, nama Second Floor pun lahir.

Rams Farissy, 23 tahun, salah satu anggota komunitas mengatakan sudah dua belas orang yang bergabung dalam komunitas ini. Sejak mereka terbentuk di taun 2023, saat ini sudah ada empat film pendek yang mereka produksi; Ereup-Ereup (2023), Tepat Tiga Tahun (2024), Bla Bla Blank (2024), dan Doa Dosa Malam Kelam (2025). Satu lagi adalah sebuah musik video berjudul Kita Tak Bersama Lagi (2024) karya Naufal Satya yang dapat diakes di kanal YouTube.

Layar Kelas Dua adalah salah satu proyek yang mereka buat dan awalnya diniatkan sebagai ruang untuk menayangkan film hasil produksi mereka. Hal ini terwujud saat mereka berkolaborasi dengan komunitas Layar Kita.

“Karena antusiasmenya tinggi, kami berencana ingin bikin lagi. Waktu itu kesempatannya ada di Garut. Ada salah satu media yang ingin kolaborasi. Karena screening sebelumnya belum ada namanya, dibikinlah Layar Kelas Dua di tahun 2024,” cerita Rams.

Setelah acara pertama, produksi film terbaru mereka (Doa Dosa Malam Kelam), dan memasuki masa magang, mereka kembali berinisiatif untuk menyelenggarakan acara kedua. Kali ini mereka mencoba mengajak para sineas untuk bergabung dan menayangkan film mereka bersama.

Saat pembukaan penerimaan film, tanpa disangka banyak sekali pembuat film yang mengirimkan filmnya. Rams juga menekankan bahwa keberadaan Layar Kelas Dua sebagai wahana membagikan kesenangan lewat film-film yang ditayangkan. Di sisi lain, ia ingin acara ini sebagai ruang alternatif menonton film. 

“Layar Kelas Dua artinya itu layar alternatif dari kelas satu, yaitu bioskop komersial,” ujar pemuda yang saat ini tengah menjalani magang sebagai scriptwriter di Panasdalam Production House. “Kelas inilah ruangan kami untuk belajar dan bertumbuh bareng-bareng.”

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//