• Kolom
  • CERITA GURU: Menerbitkan Buku

CERITA GURU: Menerbitkan Buku

Topik bahasan antologi esai dalam buku ini cukup beragam, mulai dari pandangan kritis di era digital hingga momen persahabatan. Khas anak-anak remaja.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom

Sampul buku Resah di Persimpangan yang ditulis oleh Razif, Aisha, Alifa, Alwan, dan Syafiq. (Foto: Yogi Esa Sukma Nugraha)

29 Oktober 2025


BandungBergerak – Masih ada tongkat estafet yang bisa dioper. Saya suka perumpamaan ini. Ia punya arti yang saya kira sesuai dengan harapan mengenai tumbuh kembangnya aktivitas baca tulis di sekolah tempat saya mengajar.

Suatu kali, saya menemani siswa-siswi menulis, dan hamdalah, mereka memendam antusiasme yang cukup besar. Karenanya saya meyakini bahwa kelak mereka, kelima anak yang punya minat literasi, membuat karya tulis yang bisa memantik kesadaran banyak orang seusianya. Terbukti di waktu kemudian.

Momen itu tiba. Anak-anak yang kini mengemban status alumn  SMA Bina Dharma 2 Bandung. menerbitkan sebuah antologi esai bertajuk Resah di Persimpangan: Refleksi Generasi Muda (2025). Tebalnya sekitar 120 halaman, berisi 11 esai. 

Kelima remaja penulis itu adalah Siti Nuralifa Azizah (Alifa), Syafiq Mugheny Aulawi (Syafiq), Alwan, Razif Alphar Mustofa (Razif), dan Aisha Nurul Azkiya (Aisha). Mereka membuat semua guru yang mengajarnya merasa bangga. Kali ini saya hendak mengulas singkat karya mereka yang lahir dalam jangka yang tidak singkat. 

Baca Juga: CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas
CERITA GURU: Menggali Ibrah di Museum Konferensi Asia Afrika

Keresahan Remaja

Awalnya sederhana. Kala itu siswa bernama Razif mengajak berdiskusi. Ia bertanya mengenai penulisan esai. Saya bilang kalau ia perlu mengajak teman-temannya yang lain, yang cakap menulis. Sesudah berbulan-bulan, dan setelah melakukan serentetan diskusi panjang, jadilah itu barang. Sebuah buku yang berisi kumpulan esai, yang menggali berbagai isu aktual.

Esai-esai dalam buku ini cukup beragam. Ia juga menceritakan berbagai hal: mulai dari pandangan kritis di era digital hingga momen persahabatan. Yang menarik, setiap tulisan dalam buku menunjukkan kecenderungan pikiran para penulisnya. Bisa dibilang buku ini juga hadir untuk mengajak pembaca melihat dunia dari kacamata anak-anak muda kiwari. 

Tulisan Razif misalnya. Dalam esai mengenai pikiran positif, ia memberi seruan emosi. Bahwa kita "memang tidak harus selalu kuat," katanya. "Tapi harus tetap hidup." Dalam esai lain, soal Tom and Jerry, Razif mampu menilik dengan ciamik. Betapa kisah sederhana memendam unsur-unsur filosofis. 

Saya berharap usaha reflektifnya mengupas Tom and Jerry bisa lebih diperkaya dengan teori budaya populer untuk menghindari kesan terlalu spekulatif. Namun saya juga merasa bahwa itu hanya perkara waktu saja, sebab ia sedang menekuni studi Sastra Inggris. 

Razif menyumbang banyak tulisan di antologi ini. Sungguh energik. Ia juga punya minat membahas persoalan manusia modern, khususnya yang dipicu ChatGPT. Dengan cerdik ia mampu memadukan pengalaman personal dengan perspektif psikologis dan sosial, ditopang penjelasan ilmiah yang membuat tulisannya masuk akal. Bahkan ia juga jeli mendamprat keterbatasan AI: bahwa teknologi seharusnya tidak sampai merusak relasi manusia.

Selain itu, Razif juga menulis tentang hasil pembacaannya terhadap novel populer berjudul Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Lagi-lagi ia berhasil menangkap esensi novel sebagai wujud sejarah kelam. Ia membuat seruan untuk kita selaku pembaca agar mengedepankan HAM. 

"Justice, what a pretty word," begitulah Razif mengawali tulisannya, yang didapat dari sebuah gim dengan tema keadilan yang begitu sentral dalam novel tersebut. Ia mengkaji novel ini dengan seksama. Menyoroti perspektif Biru Laut dan Asmara Jati yang terhubung dengan gerakan rakyat dan betapa dahsyat dampak kehilangan bagi keluarga mereka.  

Selain esai-esai yang dituliskan Razif, buku Resah di Persimpangan: Refleksi Generasi Muda menghadirkan cerita-cerita lain yang tak kalah memikat. Triple Harmony yang ditulis oleh Alifa, misalnya, menyodorkan semacam refleksi tentang persahabatan. Di sana sang remaja perempuan bercerita tentang dua teman sekolahnya, siswi yang kebetulan saya kenali juga: Abdia Adzom dan Shokisa.  

Uniknya esai ini ditulis dengan penuh kejujuran dan kehangatan yang mampu menjangkau pembaca dari berbagai kalangan. Alifa menyajikan catatan retrospektif dengan informasi mendalam tentang bagaimana hubungan manusia, penerimaan diri, dan nilai kebersamaan. Bagi mereka yang pernah merasakan hangatnya pertemanan, tulisan ini bisa jadi pengingat betapa pentingnya memiliki sahabat yang peduli.

Tulisan Alifa yang lainnya tak kalah hangat. Dalam esai berjudul Cerita, Luka, dan Harapan, ia mampu menulis kisah yang menyentuh tentang fenomena fatherless. Alifa menangkap pengalaman manusia, atau lebih tepatnya, dirinya. Soal bagaimana faktor internal —kehilangan, kerentanan, dan ketahanan— begitu memberi pengaruh pada pertumbuhan remaja di berbagai budaya dan konteks sosial. Dengan nuansa dan pesan inspiratif, esai ini memiliki daya tarik.

Isu yang digali Alifa mengingatkan kita pada studi intensif McLanahan, The Future of Children (2013), yang menjelaskan bahwa pengalaman kehilangan figur ayah dapat memengaruhi perkembangan psikologis remaja. Dan konon, penulisan reflektif seperti yang dilakukan Alifa dapat menjadi mekanisme koping yang efektif.

Jika Alifa menyajikan kisah tentang persahabatan dan kehilangan, Aisha menunjukkan hasil pengamatan tentang fenomena aktual: brain rot. Pemilihan kata Otak yang Layu cukup memberi bukti bahwa ia merupakan remaja yang berpikiran kritis. Esai yang ditulisnya sungguh relevan. Disajikan dengan analisis yang jitu. Solusi yang ditawarkannya pun cukup masuk akal. 

Jangan lupakan Alwan. Ia membuat esai apik.  Sebuah karya menggugah untuk pembaca seusianya. Ia mengemukakan keresahan diri yang, jika meminjam istilah yang digunakannya, "relate, pak." Alwan juga menjelaskan betapa pentingnya bertanya, dan mengapa begitu relevan dengan isu berpikir holistik di era digital.  

Terakhir, ada tulisan Syafiq. Ia menulis esai dengan tema perbedaan perspektif. Tawarannya layak diperhatikan. Dimulai dengan kisah harian, dipadukan dengan wacana sosiologis yang memantik diskusi.  

Syafi menggunakan teori Weber, utamanya konsep Verstehen, untuk memperkuat pendapatnya. Konsep Verstehen Weber ini diterapkan dengan baik. Seperti halnya Razif, ia cukup membuat tulisannya enak dibaca. Saya menduga kalau pendekatan dalam tulisannya ini didapat Syafiq dari mata kuliah Pengantar Sosiologi, mengingat kiprah ia sekarang yang sedang berkutat dengan studi Pendidikan Sejarah.

Ada lagi tulisan Syafiq yang lain, yang juga enak dibaca. Ia membuat catatan mengenai kesan pada guru-guru selama belajar di SMA. Ini semacam biografi kolektif yang ditulis dengan penuh rasa tanggung jawab dan peduli. Pada akhirnya, melalui antologi esai ini, Alifa, Syafiq, Alwan, Aisha, Razif, mengajak para pembaca untuk merefleksikan masa kini dan masa depan. 

Menelisik Kehidupan Lebih Baik

Studi Snow dan Biancarosa (2003) menunjukkan bahwa literasi remaja mampu memperkuat kemampuan berpikir analitis. Ia juga penting untuk memperkuat empati. Bukan suatu kebetulan apabila esai-esai dalam buku Resah di Persimpangan: Refleksi Generasi Muda ini sesuai dengan temuan tersebut. Ia mampu menghubungkan pengalaman personal dengan isu sosial, mengandung cerita emosional, serta memuat persahabatan dan hidup sehari-hari. 

Ada kekurangan tentu saja, selayaknya karya apapun yang dibuat manusia. Kritik konstruktif dari pembaca lainnya saya kira akan sangat membantu para penulis untuk berkembang menjadi jauh lebih baik. Dan memberi ruang pengembangan karya mereka. 

Saya pun merasa antologi esai ini penting. Ia menolak anggapan bahwa generasi mereka terjebak dalam kerangka yang disebut Herbert Marcuse sebagai one dimensional man. Berbagai gagasan di buku ini, dari mulai ulasan terhadap dampak teknologi hingga catatan personal para penulisnya, seolah mengajak diskusi pada generasi di atas mereka: mengundang pembaca merenungkan realitas aktual, mengamati fenomena mutakhir anak muda yang agaknya sulit dikerjakan orang dewasa mengingat keterbatasan waktu. Buku ini pun menjadi pengingat bagi para pendidik dan publik luas untuk mendukung potensi kreatif, mendorong inisiatif serupa di sekolah-sekolah masing-masing, dan membuka ruang untuk menggugah kesadaran. 

Singkatnya, buku ini berkontribusi untuk menjembatani dialog antargenerasi. Saya sangat berharap ia mampu mendorong para remaja lainnya untuk terlibat dalam aktivitas menulis dan membaca. Menjadi tongkat estafet yang bisa dioper kepada angkatan setelahnya. 

 

 

***

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//