CERITA GURU: Menggali Ibrah di Museum Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika menjadi pengingat untuk merasa percaya diri sebab sejarah bukan milik negara adidaya, tapi juga semua rakyat yang mengalami penindasan.

Yogi Esa Sukma Nugraha
Sehari-hari mengajar di SMA, sesekali menulis kolom
17 Oktober 2025
BandungBergerak.id – Sebanyak tiga puluh siswa SMA mulai menghampiri pelataran Museum Asia Afrika pada siang, hari Jumat 10 Oktober 2025. Suasana sekitar begitu ramai. Maklum, kawasan ini memang menjadi spot favorit untuk para pelancong berfoto dan melepas penat.
Cuaca mendung menyelimuti kota. Beberapa pengunjung Museum Asia Afrika yang diduga berasal dari negara lain juga hadir di lokasi. Mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Mandarin. Mengundang decak kagum sekaligus bingung di benak siswa yang berasal dari SMA Bina Dharma 2 Bandung.
"Ini pengalaman pertama aku. Menyenangkan. Sebelumnya belum pernah. Cuma ke Museum Geologi," kata Aal Novia, seorang siswa yang hendak berkunjung.
Sedangkan di seberang pintu Museum, belasan ibu-ibu berkumpul. Sebagian duduk-duduk, sebagian lagi tampak sibuk menjajakan dagangan. Sebagian mengambil berbagai gaya untuk berfoto bersama. Kemudian tiba rombongan keluarga, entah dari mana, menghangatkan suasana.
Mereka melambaikan tangannya. Menyapa, dadah-dadah kepada siapa-siapa yang ada di hadapannya. Beberapa remaja merespons dengan lambaian serupa. Diiringi gelak tawa.
Setengah dua siang, pintu masuk museum Asia Afrika mulai dibuka. Dua orang penjaga keamanan menjalankan tugasnya. Bertanggung jawab memastikan semua pengunjung mendapat pelayanan maksimal, sehingga seluruhnya bisa masuk dengan aman dan nyaman sesuai prosedur.
Saya bilang saya yang mengajak mereka. Selaku guru sejarahnya. Namun berkat batik yang saya kenakan, mungkin petugas mengira saya seorang pengunjung yang berbeda rombongan dengan belasan siswa SMA itu. Setelah menyelesaikan perkara administrasi saya segera mengajak semuanya masuk.
Beberapa waktu kemudian, pegawai museum menjelaskan berbagai kisah di balik berlangsungnya Konferensi Asia Afrika. Kira-kira ada puluhan orang, perempuan dan laki-laki, dewasa dan sekaligus anak-anak SMA yang datang bersama saya dalam balutan seragamnya yang khas, mengikuti langkah pemandu dan mendengarkan sejumlah paparan yang ia sampaikan. Meski lokasinya tidak begitu luas, tetap saja tempat bernuansa edukatif ini lebih dari cukup untuk dibilang memikat.
"Ayo buat dua barisan," begitu yang disampaikan pemandu Museum Asia Afrika.
Ia seorang pria. Kira-kira berusia 30-an. Menunjukkan pemahaman cukup mendalam ihwal apa-apa yang terjadi sesaat Konferensi dimulai. Seiring berjalannya waktu rombongan sampai di ruang audiovisual, diajak menyaksikan film dokumenter tentang jalannya Konferensi Asia Afrika.
Beberapa siswa tampak terkesima saat pemandu museum memberi penjelasan soal apa yang diputar di ruang audiovisual. Saya melihat beberapa siswa mulai berbisik. Sebagian bertanya, berupaya mencerna informasi tentang Konferensi Asia Afrika.
Melihat antusiasme mereka, saya merasa momen ini istimewa, dan teringat kalau Konferensi Asia Afrika berdampak pada sejarah dunia. Kami seolah diseret menelusuri kisah yang memesona, yang berpengaruh pada kehidupan, terutama, bagi yang mengalami pahit getirnya kolonialisme dan penjajahan.
Baca Juga: CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak
CERITA GURU: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak
CERITA GURU: Lembur Membatik
Sejarah singkat Konferensi Asia Afrika
Betapa pentingnya Konferensi Asia Afrika. Ia lahir dari semangat solidaritas antarnegara yang baru saja lepas dari belenggu kolonial. Jurgen Dinkel, peneliti yang fokus mengulas tentang Gerakan Non-Blok (GNB), mencatat bahwa Majalah Time sempat menyerukan pembacanya untuk menghafal nama-nama peserta konferensi:
Zhou Enlai, U Nu, Jawaharlal Nehru, Charles Malik, Pham Van Dong, Prince Wan Waithayakon, Carlos Romulo, Fatin Rustu Zorlu, Mohammed Ali, Gamal Abdel Nasser.
Konon dampak KAA bahkan bisa mempengaruhi legitimasi para politisi, pemerintahan, dan politik. Jurgen Dinkel mengemukakan bahwa pergulatan simbolik dalam konferensi tersebut dimainkan di hadapan mata dunia, dan memiliki konsekuensi yang nyata. Menurutnya: "Bandung menjadi sebegitu penting karena mengubah para pejuang kebebasan dan gerakan antikolonial yang turut serta menjadi negarawan dan perwakilan negara-negara yang baru merdeka."
Semuanya bermula pada akhir Perang Dunia II. Kala itu banyak bangsa di Asia dan Afrika mulai menggaungkan kemerdekaan. Indonesia, selaku tuan rumah, turut memainkan peran krusial. Jika merujuk penjelasan Wildan Sena Utama dalam buku Konferensi Asia Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (2017, hlm. 216), sebetulnya akar-akar konferensi ini dapat dilacak sejak awal abad 20.
Kala itu proyek imperialisme Eropa mulai ditentang jaringan internasionalis, antikolonialis, dan antiimperialis. Kemunculan mereka ini dimungkinkan oleh "globalisasi perdana" pada akhir abad 19. Ditandai dengan perkembangan teknologi, yang memudahkan orang berbeda ras, negara, benua, untuk bertemu, berbagi ilmu, dan bertukar pengalaman masing-masing.
Namun ide konferensi Asia-Afrika baru tercetus pertama kali di Konferensi Kolombo pada 1954. Para tokoh seperti misalnya Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dari Indonesia, bersama rekan-rekan dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan Ceylon (sekarang Sri Lanka) sepakat untuk menggelar pertemuan besar-besaran. Bertukar pendapat, dan membicarakan soal-soal yang menjadi kepentingan bersama.
Pada tanggal 18–24 April 1955, Konferensi Asia Afrika digelar di Gedung Merdeka, Bandung. Sebanyak dua puluh sembilan negara dari Asia dan Afrika hadir mewakili lebih dari setengah penduduk dunia saat itu. Presiden Sukarno membuka acara dengan pidato yang memikat, menyerukan persatuan melawan kolonialisme dan imperialisme, dengan judul "Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru". Delegasi konferensi kemudian berdiskusi tentang isu-isu mendesak: perdamaian dunia, hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri, kerja sama ekonomi, sosial, juga budaya.
Hasilnya tercantum dalam Piagam Dasasila Bandung. Berbuah sepuluh prinsip dasar yang diusung: menghormati HAM, kedaulatan wilayah, kesetaraan ras, non-intervensi, penyelesaian sengketa secara damai, dan lain-lain. Konferensi Asia Afrika juga menjadi alas bagi Gerakan Non-Blok yang lahir kemudian di Beograd pada 1961.
Kala itu Perang Dingin sedang berkecamuk. Blok Barat dan Blok Timur saling sikut. Berebut pengaruh sejumlah negara, termasuk dari Asia Afrika yang kelak memilih jalan tengah, tak mau diatur begitu saja dalam permainan kekuatan adidaya. Mereka enggan lagi dijajah; berupaya menginisiasi pertemuan untuk menjalin hubungan satu sama lain.
Relevansi hingga Kini
Konferensi Asia Afrika sungguh relevan. Jika melihat argumen Wildan Sena Utama (hlm. 216), bahkan Konferensi Asia Afrika bukan hanya mewarisi institusional. Namun edukasional dan normatif. Hingga hari ini, 70 tahun kemudian, pengaruh Konferensi Asia Afrika masih bergaung di tengah dunia yang semakin pelik.
"KAA [Konferensi Asia Afrika] Bandung juga tercatat menggerakkan banyak inisiatif-inisiatif 'kultural' lainnya," katanya, dalam satu wawancara.
Dari perspektif negara lain misalnya; China, yang kala itu diwakili Zhou Enlai. Dalam buku Potret Intelektual Revolusioner yang ditulis Han Suyin, ia menekankan prinsip hidup berdampingan. Atau bahasa yang digunakan saat itu: koeksistensi.
Zhou datang ke Bandung dengan penuh rintangan. Pesawatnya meledak di udara. Jatuh ke laut. Namun ia bersiasat. Memilih tidak berada di pesawat itu. Nasib baik masih berpihak padanya. Belakangan semua disinyalir karena ulah CIA.
Di Konferensi Asia Afrika, Zhou mengambil panggung. Menurut Wildan (hlm. 214), ia menunjukkan perpaduan keterampilan diplomatik dan kharisma personal. Sikap damai dan kesediaannya bernegosiasi turut menjembatani jarak antara pandangan radikal dan konservatif di kalangan peserta.
Zhou lalu mengusung "lima prinsip damai": saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah, tidak melakukan agresi, tidak mencampuri urusan dalam negeri atau intervensi, kesetaraan dan saling menguntungkan, dan hidup berdampingan secara damai.
Kelak ini pula yang menjadi landasan beleid luar negeri China. Ironisnya, situasi semacam ini masih kita hadapi: konflik, perang dagang, ketegangan geopolitik, atau pandemi kemarin yang membuat kita sadar betapa pentingnya manusia untuk merangkul satu sama lain.
Ada lagi yang penting. Itu adalah pengaruhnya bagi gerakan kemerdekaan negara-negara Afrika. Paling tidak ada 25 negara di Afrika yang merdeka sepanjang tahun 1957 hingga 1962. Ghana misalnya. Ketika di bawah Kwame Nkrumah dan Aljazair pasca pergolakan melawan imperialisme Prancis.
Banyak dari pejuang pembebasan Afrika yang meraih momentumnya dari euforia Konferensi Asia Afrika. Kelak krisis Suez mempercepat proses itu. Bagi umat manusia seluruh dunia, Konferensi Asia Afrika memberi petunjuk penting untuk berani bicara soal penjajahan. Palestina misalnya.
Yang menjadi soal, Gerakan Non-Blok kerap dianggap gagal menyelesaikan konflik internal. Misalnya, seperti menahan konflik India-Pakistan 1965 atau invasi Irak ke Kuwait 1990. Di era kiwari, melihat ketegangan yang terjadi di beberapa titik: serangan terhadap Iran dan genosida di Gaza, Dasasila Bandung mungkin dirasa utopia. Namun, prinsip pokoknya tetap relevan sebagai pengingat untuk mendamprat ketidakadilan.
Ia bisa jadi panduan untuk rekonstruksi tatanan dunia yang lebih layak. Sebuah landmark melawan imperialisme global, jika meminjam istilah yang dipakai para ahli. Ia tetap menjadi sumber inspirasi. Tidak hanya bagi gerakan yang state-centered dan elitis, tetapi juga yang people-centered dan egaliter. Konferensi Asia Afrika menjadi pengingat untuk merasa percaya diri sebab sejarah bukan milik negara adidaya, tapi juga semua rakyat yang mengalami penindasan.
*
Setelah kunjungan selesai, kami berkumpul di pelataran museum. Beberapa siswa terlihat masih asyik mendiskusikan apa yang tadi mereka alami. "Pak makasih banyak,” kata seorang di antaranya, beberapa dari mereka juga mengatakan hal serupa. Saya senang mereka antusias pada pengetahuan mengenai Konferensi Asia Afrika, peristiwa memukau.
Sebab Konferensi Asia Afrika juga memberi kita pelajaran bahwa harapan bisa lahir dari penderitaan. Dari masa lalu yang kelam. Dari sana masa depan lebih gemilang timbul. Dan kunjungan ini menunjukkan kalau sejarah bisa membuka mata siswa SMA. Menjadi ibrah bagi mereka: mempelajari HAM, peka terhadap isu lingkungan, dan diplomasi.
Di era digital, para pelajar ini mungkin bisa memperkuat gaung perdamaian melalui media sosial atau bergabung dalam forum global. Menelaah spirit Konferensi Asia Afrika untuk dunia yang lebih setara. Menjadi bagian dari perubahan, bergandengan tangan, sebagaimana pejuang pemikir yang hadir di Bandung kala itu.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru