• Kolom
  • CERITA GURU: Lembur Membatik

CERITA GURU: Lembur Membatik

Lomba membatik untuk anak digelar serentak di Hari Batik. Anak-anak hanya mewarnai, sisanya, guru yang membereskan hingga menjadi kain batik.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Gambar sebagian hasil membatik karya anak-anak di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung. (Foto: Laila Nursaliha)

8 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Pukul 18.30 WIB, kami masih berjongkok di depan kompor, mengaduk kain-kain batik dalam panci air mendidih. Di luar, hari sudah gelap dan dingin. Anak-anak yang baru selesai salat di masjid menemani kami sambil menunggu kain-kain meresap.

Sekitar bulan Agustus, kami sudah diberitahu akan ada lomba membatik sebagai program turunan dari pusat. Berarti lomba ini berskala nasional, namun kami diminta untuk melakukannya secara serentak. Beberapa pekan sebelumnya, barulah kami tahu tentang tanggal yang akan dilaksanakan yaitu pada Hari Batik, tanggal 2 Oktober 2025. Di sana sudah dijelaskan mengenai teknis lomba, di mana anak hanya mewarnai saja. Sisa prosesnya diserahkan kepada guru.

Tidak seperti yang saya bayangkan, guru-guru bisa belajar membatik beberapa hari sebelumnya. Pada kenyataannya, guru baru melakukan technical meeting satu hari sebelum pelaksanaan. Meskipun kedengarannya mudah, tapi kami tidak memiliki cukup waktu untuk mengestimasi mengenai teknis pelaksanaannya. Mengingat lomba ini dilaksanakan di sekolah masing-masing, namun wajib hadir via aplikasi rapat daring.

Baca Juga: CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak
CERITA GURU: Rencana Mengajar seperti Persiapan Memasak, Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis
CERITA GURU: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak

Berjibaku Guru di Balik Lapangan 

Sejujurnya, ini adalah pengalaman pertama kami membatik secara tradisional dengan lilin. Kami hanya mengandalkan tutorial yang sebelumnya diadakan melalui technical meeting sebelum lomba. Tak tahu apa yang akan terjadi ketika membatik. Saya hanya mengandalkan ingatan dari berbagai macam gambaran membatik.

Lomba yang dilakukan memang membatik. Namun, yang dilakukan anak hanya mewarnai. Sisanya gurunya yang membereskan. Mengeringkan kain selama berjam-jam, melapisi dengan cairan kental yang lengket di tangan, lalu merebus semuanya seperti sedang memasak di hajatan.

Ketiga proses terakhir, sesuai dengan instruksi dari pusat adalah tugas orang dewasa. Inilah yang kami lakukan untuk mengentaskan karya anak agar bisa disajikan dengan baik hingga menjadi kain batik.

Perasaanku tak enak, tampaknya langit tidak berpihak pada kami. Sejak pukul 11.00 WIB, awan hitam sudah bergelayut di selatan gedung TK. Penanda sebentar lagi akan hujan. Namun, terik matahari masih bisa mengeringkan tahap pertama.

Seusai anak pulang sekolah dan kainnya kering, kami lapisi dengan waterglass. Tak beberapa lama kemudian datanglah angin kencang dan turunlah rintik-rintik hujan dan berubah menjadi hujan deras.

“Duh, kalau begini. Kapan keringnya?” ujar para guru.

Kami berpikir untuk menyiasati cara lain untuk mengeringkan kain. Ummi Aan mulai menyalakan kipas angin dan menata di depannya. Berharap bisa mempercepat pengeringan kain. Sambil menunggu, para guru menyelesaikan rancangan pembelajaran dan beberapa tugas untuk PPG.

Sampai pukul 14.50 WIB, kain batik tak kunjung kering. Sebagian besar masih basah.

“Kalau begini terus, kira-kira kapan selesainya?” saya dan rekan-rekan bertanya-tanya. Jika proses ini tidak kering, maka akan mengganggu proses pencelupan atau warnanya akan pudar.

Ummi Rufaidlah meminta bantuan kepada orang tua murid Untuk meminjam alat pengering rambut. Alhamdulillah, ada orang tua yang dekat rumahnya dengan sekolah yang memiliki alat pengering rambut itu.

Kami melakukan percobaan dengan pengering rambut itu. Dari mulai dikeringkan sisi per sisi. Namun juga kembali mengembun. Kemudian dicoba menjadi dua sisi. Satu sisi dengan pengering rambut, satu lagi dengan kipas Angin. Diharapkan angin dari dua sisi bisa mempercepat pengeringan.

Prosesnya tak secepat yang kami harapkan tapi lebih cepat. Tapi kami harus membolak-balik secara manual kain-kain yang ada. Cukup membuat tangan pegal, kaki kesemutan, dan merenung jauh tentang apa yang sedang kami lakukan di hari ini.

“Demi apa kita lembur melakukan ini ya?” Ummi Rufa malah memberikan pertanyaan pemantik yang mau tak mau perlu kami jawab. Saya tidak tahu demi apa. Yang pasti ini menyelesaikan tugas saja. Agar besok bisa dikumpulkan dan dinilai di tingkat kecamatan. Satu lagi yang perlu kami yakini adalah semua akan ada hikmahnya.

Proses yang Dilewatkan Anak 

Gelap lebih cepat datang dari biasanya. Air yang sudah kami siapkan di atas kompor, sudah mendidih sempurna. Kami putuskan untuk mencelup karya anak yang masih belum kering sempurna. Satu persatu kain, kami masukkan ke dalam wadah rebusan air. Warna airnya mulai pekat dan gelap. Sambil penasaran, apa yang akan terjadi dengan kain yang sudah diwarnai itu.

Beberapa menit kemudian, Warna-warna yang tertutup waterglass mulai menunjukkan aslinya.. Biru, merah, kuning menjadi semakin jelas warnanya. Sambil mengaduk sesekali, saya membatin, “Sayang sekali anak-anak tak melihat proses ini.”

Warna-warna itu mulai mekar di antara pusaran air mendidih diiringi letupan-letupan panas air yang juga bernafas dari dasar panas api. Saking seringnya, ia seperti hendak melalap kami dalam pusarannya. Seperti kawah gunung berapi versi mini. Cukup berbahaya di hadapan tubuh-tubuh yang mulai mengeluh kelelahan.  

Uapnya panas mengepul bersama proses yang berbahaya. Hanya saja, bagian ini yang merupakan puncak dari proses membatik secara tradisional. Warna itu mulai memeluk dan mengikat serat-serat yang dihinggapinya dan membentuk satu bagian solid yang indah. Namun, anak-anak tidak hadir di sini. Alangkah lebih baik apabila mereka melihat langsung dan mengalaminya. Visualisasi keindahan warnanya tak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Pikiran saya mencoba memahami apa maksud dari penggagas lomba ini. Prosesnya tak dialami anak secara keseluruhan. Lomba untuk anak, keringat untuk guru. Sebetulnya apa yang hendak dicapai dari pelaksanaan lomba ini?

Lagi-lagi, pertanyaan itu tertahan oleh waktu yang menunjukkan bahwa kain sudah cukup untuk diangkat dan dibersihkan di air mengalir. Sisa-sisa lilin dan waterglass terasa begitu licin. Berkali-kali kami membersihkannya dan meninggalkan sisa-sisa warna mengalir dalam air.

Air bekas rebusan kain, kami buang di saluran air. Ketika dituang, warnanya semakin gelap ditelan malam. Saya pun baru teringat: “Oh iya! Ini kan sebetulnya limbah,” tapi malah dibuang begitu saja. Dan tak ingat bahwa yang kita pakai adalah bahan kimia yang tak tahu apakah berbahaya atau tidak untuk lingkungan. Tanpa berpikir panjang dan mulai merencanakan pulang, kami jemur di dalam kelas. Berharap besok sudah kering.

Keesokan harinya, batik hasil karya anak bisa kami kumpulkan untuk proses penjurian di tingkat kecamatan. Sebelum berangkat, anak-anak berdoa semoga karya mereka menjadi pemenang dalam kontes ini. Adelia optimis bahwa kain batik buatannya adalah yang terbaik. Ya, dia sangat membanggakan dirinya sudah melukis di atas kain. Kepercayaan diri dan celotehnya menenangkan saya. Lalu kami tertawa sambil mengingati pengering rambut siapa yang kami pinjam dan perlu dicek apakah sudah dikembalikan atau belum.

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//