• Kolom
  • CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas

CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas

Sekolah menerima Rapor Pendidikan seperti menerima rapor dari guru yang tak berkomunikasi. Rapor Pendidikan perlu pembenahan agar bisa berbunyi di ruang pendidikan.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi guru. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

22 Oktober 2025


BandungBergerak.id – Bagi guru-guru yang mengelola administrasi Bantuan Operasional Satuan Pendidikan, akan sulit menemui waktu-waktu senggang menjelang akhir tahun. Apalagi tiga tahun sebelumnya, ketika kurikulum anyar brojol lagi. Semua hampir selalu ada kegiatannya. Terutama kegiatan yang berkaitan dengan model ujian yang paling anyar. Waktu itu sedang sosialisasi Asesmen Nasional dan Survei Lingkungan Belajar.

Seperti biasa, sekolah-sekolah harus mengikuti alur ini, kalau mau bantuan operasional cair. Entah seberapa tidak logisnya aturan itu, sekolah-sekolah hanya perlu mengikuti tanpa banyak protes. Khusus di tahun tersebut, kami diundang untuk bimbingan teknis tentang Perencanaan Berbasis Data. “Materi yang bagus” pikirku. Sehingga para perencana sekolah ini memiliki sedikit gambaran tentang perencanaan berbasis data.

Sekitar tiga tahun sebelumnya, Rapor Pendidikan belum muncul, kami hanya baru mengisi-isi saja. Sambil membuka beragam situs tentang PAUD, Paudpedia, dan mengikuti instruksi agar bisa mengunggah berkas di sana. Tentu saja, pelatihan itu tidak ideal. Dari pagi hingga matahari bersiap terbenam, kami terjebak dalam ruangan PKG kecamatan yang mungkin berkapasitas 40 orang tapi harus berdesakan dua kali lipatnya. Hal itu belum dihitung dengan tingkat efektivitasnya yang memerlukan keahlian teknologi yang cukup tinggi. Sedangkan masih banyak guru yang meraba dalam memakai perangkat komputer.

Perencanaan Berbasis Data (PBD). Materi yang disampaikan hari itu lengkap dengan teknis tentang bagaimana cara mengunduh PBD di situs resmi PAUD milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar bisa diisi, kemudian diunggah kembali sebagai syarat sekolah bisa mengajukan bantuan operasional.

Materi yang bagus ini sayang sekali apabila dilewatkan oleh pengelola sekolah. Materi itu seharusnya bukan hanya untuk syarat dana operasional cair, namun juga sebagai awalan perubahan tentang bagaimana kita membuat program dan meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah.

Baca Juga: CERITA GURU: Lembur Membatik
CERITA GURU: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak
CERITA GURU: Menggali Ibrah di Museum Konferensi Asia Afrika

Survei Lingkungan Belajar, Sudah Jadi Apa?

Sudah tiga tahun berturut turut, kami melakukan pengisian Survei Lingkungan Belajar. Semuanya terjadwal di sekitar bulan September–Oktober setiap tahunnya. Dengan adanya Survei Lingkungan Belajar, maka sekolah perlu mengalokasikan waktu khusus untuk mengisi poin-poin yang dilakukan oleh evaluasi dan setelah keluar hasilnya, akan membaca dan membahas hasil survei yang berupa rapor pendidikan.

Survei Lingkungan Belajar dan Asesmen Nasional bermula sebagai pengganti dari Ujian Nasional. Biasanya, Ujian Nasional digunakan sebagai penentu lulus atau tidaknya peserta didik dari jenjang tertentu. Sedangkan, program ini berfungsi sebagai evaluasi pendidikan nasional yang menitikberatkan kepada kualitas lingkungan belajar sekolah untuk anak-anak. Bukan hanya sebagai penentu kelulusan peserta didik.

Tidak seperti Ujian Nasional yang selesai hanya dengan peserta didik menjawab soal-soal yang diberikan. Survei Lingkungan Belajar juga diikuti oleh-guru di lingkungan sekolah dan melibatkan berbagai data yang diambil dari data yang telah diunggah sekolah secara berkelanjutan melalui aplikasi Dapodik. Soal yang dijawab guru pun lebih banyak dari soal Ujian Nasional yang biasanya berjumlah 40 soal. Untuk guru PAUD, ada sekitar 160-an soal yang harus diisi dalam rentang waktu satu bulan. Cukup menambah beban administrasi guru. Namun, kegiatan ini boleh didanai oleh dana bantuan operasional sekolah.

Meskipun Survei Lingkungan Belajar sudah mempertaruhkan waktu, biaya dan tenaga, namun sekolah masih saja banyak yang belum tergugah rasa penasarannya tentang capaian sekolahnya. Hal ini terlihat dari Rapor Pendidikan yang diunduh oleh kepala sekolah. Terlambatnya pengunduhan dan pemanfaatan ini juga menjadi salah satu indikator bahwa hasil Survei Lingkungan Belajar memiliki kemungkinan untuk tidak digunakan sebagai acuan data dalam perencanaan sekolah.

Hingga tahun ini, belum ada pengecekan tentang apa dan bagaimana pemanfaatan hasil Survei Lingkungan Belajar ini diterapkan dalam satuan pendidikan. Selain dari rekomendasi dan saran-saran dari pemangku kebijakan, apakah hasil survei itu ditindaklanjuti dengan program konkret? Mungkin hal ini bisa terlihat dari program-program yang digulirkan oleh dana bantuan operasional yang diajukan oleh sekolah. Selama ini, data tidak dikomunikasikan kembali ke sekolah secara bermakna. Juga tak ada pembimbingan khusus tentang bagaimana meningkatkan kualitas sekolah secara bermakna.

Selama ini ketika menerima Rapor Pendidikan seperti menerima rapor dari guru yang tak berkomunikasi. Meskipun sekolah memiliki nilai sendiri dalam beberapa aspek, sekolah hanya melihat nilainya saja. Cukup baik, kurang dari rerata nasional atau dari rerata daerah. Kemudian, setelah menerima rapor tersebut, sekolah hanya menerima nilai begitu saja. Jarang ada sebuah pembahasan yang dalam dan kaya tentang Rapor Pendidikan ini. 

Yang Hilang : Pembimbingan dan Akuntabilitas

Tidak ada bermaksud merendahkan sekolah dan guru. Namun, fenomena Rapor Pendidikan ini kurang digali untuk improvement. Kebijakan yang terbilang masih baru, menjadikan hasil Rapor Pendidikan ini menjadi sesuatu hal yang belum bisa dimaksimalkan dengan baik dan benar tanpa adanya pembiasaan yang berarti. 

Jiga monyet ngagugulung kalapa.” Kurang lebih ungkapan itu yang cocok menggambarkan mengenai kondisi Rapor Pendidikan ketika diserahkan ke sekolah.

Kalapanya ada, namun monyét tidak bisa melakukan apa-apa terhadap kelapa. Alias tidak memiliki pengetahuan untuk memanfaatkan kelapa tersebut. Begitu pun adanya sekolah dengan Rapor Pendidikan.

Poin-poin dalam Rapor Pendidikan masih terlampau banyak. Pembacaan dan interpretasi yang terbatas juga menjadikan hasil rapor dipahami secara dangkal dan minim eksplorasi. Idealnya, jika Survei Lingkungan Belajar ditujukan sesuai dengan fungsinya, hasilnya akan menjadi dasar atau fondasi dalam pengambilan keputusan yang ada di level nasional, daerah, hingga keputusan di dalam kelas.

Faktanya, hingga saat ini belum ada pengawasan dan pembinaan yang baik mengenai Rapor Pendidikan. Kecuali dengan webinar-webinar yang dilakukan secara serentak dan nasional. Padahal, sekolah dan guru perlu dikontekstualisasikan tentang apa dan di mana ia mengajar dan bertugas.

Program rencana kegiatan sekolah tentang penggunaan dana operasional yang seharusnya mengutip dan memanfaatkan data dari Survei Lingkungan Belajar juga tak kunjung ada mekanisme evaluasi dari tingkat dinas. Lagu lama, dinas hanya perlu nilai rapor yang baik tanpa perlu bersusah-susah membina sekolah di bawahnya.

Seharusnya, jika Rapor Pendidikan ini dijadikan acuan, perlu ada forum khusus antara sekolah–Dinas–Kementerian Pendidikan yang bersama-sama membangun dan memfasilitasi ke berbagai sekolah. Mengingat, tidak banyak tenaga ahli pendidikan, kurikulum, atau perancang pembelajaran yang ada di sekolah. Tidak ada indikator konkret yang membuktikan bahwa sekolah tersebut sudah menyertakan tingkat lanjut Rapor Pendidikan sebagai acuannya. Tidak ada juga semacam reward bagi sekolah-sekolah yang berusaha melakukan improvement mengenai peningkatan lingkungan belajar di sekolah.

Seharusnya, jika sesuai dengan tujuan awal, masing-masing daerah dan khususnya sekolah dan guru dapat melakukan evaluasi diri terkait menjadikan lingkungan belajar lebih baik. Jika tidak, Rapor Pendidikan tak ubahnya sistem evaluasi sebelumnya yang tak menjadi motor penggerak bagi perbaikan sekolah.

Selain itu, untuk memaksimalkan Rapor Pendidikan yang akan digunakan oleh Perencanaan Berbasis Data adalah perlunya literasi data dari guru-guru. Tanpa literasi data yang memadai, guru dan kepala sekolah kesulitan mengubah angka-angka di rapor menjadi program konkret. Inilah pendampingan yang dibutuhkan sekolah untuk melakukan peningkatan kualitas. Bukan hanya sekedar webinar yang dilakukan oleh kelas besar.

Sebagai sarana evaluasi dan peningkatan kualitas pembelajaran, Rapor Pendidikan perlu pembenahan agar bisa berbunyi di ruang pendidikan. Tanpa tindak lanjut, pembimbingan, dan akuntabilitas Rapor Pendidikan hanya akan menjadi kertas dokumen saja. Tak membuat makna bahkan tak membuat perubahan banyak dengan usaha yang telah diluangkan oleh para guru dan peserta didik selama ini. 

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//